Dengan penuh semangat 45 Hein masuk ke dalam lobby kantor, sambil terus menyapa karyawan yang sedari tadi memperhatikannya. Namun matanya kembali dibuat menyipit, ketika melihat Dara yang sudah berada di depannya untuk absen.
'Dia tidak berlari-lari lagi?' batin Hein berjalan mendekati Dara. "Tidak olimpiade lagi?" tanya Hein tiba-tiba membuat Dara segera berbalik melihat sosok yang berbicara padanya.
"Hah? Anda bicara dengan siapa?" tanya Dara memastikan, ia menaikan bahu cuek lalu berjalan meninggalkan Hein.
"Tunggu ..." panggil Hein, ia segera menaruh jarinya di mesin absen secara terburu-buru demi bisa mengejar Dara.
"Silahkan coba lagi" suara dari mesin absen membuat Hein menggerutu kesal, ia berkali-kali menaruh ibu jarinya.
"Ahh ini kenapa sih?" gerutu Hein kesal karena telah kehilangan waktu untuk berbicara dengan Dara. "Ini gara-gara saya ngupil gitu?" gumamnya pelan, ia mengelap ibu jarinya pada celana bahan hitam yang tengah dipakai. Mencoba menempelkan sekali lagi pada mesin absen.
"Terima kasih"
"Ah ... akhirnya!!" Hein lega, namun siapa sangka Rara sedari tadi berada di sampingnya sambil tertawa. "Kamu dengar saya bicara?"
"Hahaha ... saya baru dengar jika ngupil mengunakan jempol, apa gak kegedean? Hahaha" ucap Rara terus tertawa.
Hein tersenyum, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Saya duluan ya ..." pamit Hein berjalan menuju lift dengan rasa malu.
Sesampainya di lantai tiga, beberapa pasang mata kini menatapnya. Hein berusaha sesantai mungkin memperkenalkan dirinya pada staf administrasi satu persatu.
"Wah, saingan baru saya nih" ceplos Julio, pria berkacamata tebal itu menjabat tangan Hein.
Hein tertawa, "Kita kompetitor" timpalnya terkekeh.
Ketika Hein tengah sibuk memperkenalkan dirinya pada seluruh karyawan lantai tiga, Dara yang kini malah kerepotan membawa beberapa file penjualan melirik sinis.
'Itu bocah SKSD banget? Emang saya sama dia pernah ketemu?' batin Dara sambil terus berjalan.
"Woy!" suara Firly mengagetkan Dara. "Ehh ciee, merhatiin Pak Hein gitu amat! Ganteng ya?" goda Firly menaik turunkan alisnya.
"Hust!! Dia bocah ... kenapa saya harus merhatiin dia?" bantah Dara menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian kembali berjalan.
"Ah ... Ibu Dara, bisa gak kalo saya aja yang jadi trainer Pak Hein?" pinta Firly mengikuti langkah kaki Dara.
"Diam! Sana kerja!! Input aja dulu yang bener, baru training anak orang" gumam Dara, namun Firly sama sekali tak berhenti mengekorinya hingga sampai di meja kerja Dara.
"Pagi Bu Dara" suara Hein mengalihkan situasi Dara dan Firly. "Ibu yang akan mentraining saya kan? Oh iya, hari ini Ibu tidak olimpiade lagi?" tanya Hein tersenyum lebar.
Firly mengerjap-ngerjapkan matanya melihat sosok Hein yang ada di hadapannya saat ini sedangkan Dara malah mengerenyitkan keningnya heran.
"Olimpiade? Tunggu, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Dara memastikan arti dari ucapan Hein barusan.
Hein tertawa sambil memamerkan deretan gigi besarnya yang begitu rapi. "Anda benar-benar lupa dengan saya?" tanya Hein, Dara mengangguk polos. "Saya orang yang ditabrak di depan meja resepsionis" terang Hein terus terkekeh. “Ini korbannya” ia memukul bokongnya seolah menunjukan dampak kecerobohan Dara.
Namun sungguh amat berbeda dengan ekspresi Dara saat ini, bola matanya memutar "Oh jadi kamu pria yang menghalangi jalan saya!! Kamu tau akibatnya? Uang makan saya dipotong" ucap Dara dengan bibir keriting.
Hein terbelalak melihat Dara, namun sedetik kemudian ia kembali terkekeh. "Astaga ... saya pikir Ibu mau meminta maaf" sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Pak Hein, kalo butuh apa-apa bisa ke meja saya ya, itu yang dekat jendela" potong Firly tersenyum lebar.
Hein hanya mengangguk sambil tersenyum dan Firly kembali menuju meja kerjanya.
"Kamu bisa duduk di samping saya, mulai hari ini saya akan menjelaskan sistem kerja kita" ucap Dara serius.
"Serius?" tanya Hein duduk.
"Serius" jawab Dara menunjuk laptop yang berada dihadapan Hein saat ini.
"Jangan serius-serius, temenan aja dulu ... kita kan baru kenal" jawab Hein seketika membuat Dara mencebikan bibirnya kesal.
'Dasar bocah!!' gumam Dara dalam hatinya.
***
Siang ini kantin kantor begitu penuh, berhubung mendekati tanggal tua dimana para karyawan sudah kehabisan uang untuk makan siang. Kini mereka lebih memilih untuk hemat dengan makan di kantin. Begitupun dengan yang Dara lakukan karena iapun salah satu korban akhir bulan sama seperti yang lain.
"Ibu Dara!!" panggil Tasya saat Dara keluar dari dalam lift.
"Gosip mengenai berondong baru itu sudah sampai di lantai dua" goda Tasya mengedipkan matanya. "Itu kamu yang training dia kan?"
"Anak itu yah!! Sumpah ganggu banget, berasa udah dua hari rasanya aku training dia" cerita Dara terus berjalan diikuti Tasya.
"Hahaha ... tapi aku lihat dia benar-benar imut sekali" Tasya mencubit kedua pipinya sendiri. "Umur dia berapa sih?" tanya Tasya ingin tahu.
"Entahlah, mungkin dia baru lulus kuliah ... apa aku harus tau umurnya berapa?" Dara balik bertanya sambil mendelik kesal.
Dara dan Tasya kini sudah duduk sambil menikmati makan siang mereka, sambil terus membicarakan hal-hal di luar pekerjaan. Kalianpun pasti tau jika wanita sudah berbincang, semua bisa dijadikan pembahasan. Mereka tidak akan pernah kehabisan topik pembahasan, jika memang harus mungkin isi konfresi meja bundarpun bisa dibahas hingga tuntas.
"Hahahaha ... sumpah ya, kemarin aku liat dia ngejar-ngejar damri tau gak?" cerita Dara terus tertawa.
Tasya ikut tertawa, namun tiba-tiba diam setelah melihat sosok pria yang kini duduk di samping Dara sambil membawa sepiring makanan.
"Makan sendiri itu gak enak, saya boleh bergabung disini?" tanya Hein sambil tersenyum lebar.
"Ya ampun!! Terlambat untuk meminta ijin, kamu sudah duduk di samping saya" ceplos Dara kembali memasukan sesendok nasi dengan capcay diatasnya.
Tasya menelan ludahnya, ia menatap Hein yang kini benar-benar ada di hadapannya. 'Benar apa kata orang-orang dia begitu imut' batinnya.
"Emh ... umur kamu berapa?" tanya Tasya tiba-tiba, membuat Hein menghentikan aktivitas mengunyahnya.
Tasya memang benar-benar tidak mampu menahan rasa ingin taunya, apalagi jika menyangkut sang topik utama di kantor.
Dara ikut diam, kini ia melirik dengan ujung mata pria yang berada di sampingnya ini. Hein menatap wajah wanita yang seolah tengah mensidangnya. "Kalian tebak saja" jawabnya begitu cuek.
"Ckckckck ... dasar bocah" gumam Dara pelan, sepertinya iapun kecewa dengan jawaban Hein barusan.
"Kenapa Bu?" tanya Hein yang mendengar gumaman Dara barusan.
"Tidak" jawab Dara singkat. Namun Hein hanya tersenyum melihat ekspresi Dara.
***
Bersambung ...