Adorable 5

1216 Kata
                Berkali-kali Dara mengerjap-ngerjapkan mata, pandangannya kini sudah tidak terlalu fokus menatap layar komputer yang berada dihadapannya. Angka-angka yang berada didalam kolom malah semakin membuat Dara pusing. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi putar, meregangkan kedua tangan yang sedari tadi tidak ia biarkan beristirahat.                Tiba-tiba secangkir kopi diletakan tepat disamping layar komputer, sontak membuat Dara menatap sosok yang kini malah tersenyum memamerkan gigi rapihnya. “Jangan bekerja terlalu keras” ucap Hein.                 Dara terdiam tanpa menjawab ucapan Hein barusan, alih-alih berterimakasih kini Dara bangkit dari kursi, melewati Hein yang masih menatapnya tanpa berkedip.                 ‘Anak itu kenapa terus mengganguku!’ batin Dara bergegas berjalan menuju kamar mandi.                 Dara mencuci wajahnya, mencoba menjernihkan kembali pikirannya. Ia menatap jam yang melingkar ditangannya. Waktu sudah menujukan pukul lima sore, seharusnya ia sudah pulang, namun apa daya laporan yang diminta Manager masih banyak yang harus direvisi.                 Setelah merasa sedikit fresh, Dara kembali menuju meja kerjanya. Terlihat beberapa kursi yang sudah ditinggalkan pemiliknya, ia menghela napas panjang lalu duduk sambil menatap kembali layar komputer dan mencoba bersahabat dengan angka-angka yang seolah tengah mengejeknya.                 ‘Cie kerja apa dikerjain’ seolah-olah itu yang tengah angka-angka itu katakan padanya.                 Disaat ia mulai mencari selisih angka penjualan, matanya terhenti pada cangkir kopi yang masih berada di meja kerjanya. Kemudian Dara melihat kursi milik Hein yang sudah kosong. Tanpa sadar kedua ujung bibirnya tertarik dan mulai meneguk kopi yang mulai digin.                 “Aish, senyum apa ini? Kenapa aku malah tersenyum saat meminum kopi buatannya? Ah, ini adalah senyuman rasa syukur. Tapi syukur untuk apa? Arg!! Sialan! Memikirkan ini malah mengurangi sisa otakku” gerutunya kesal pada diri sendiri. ***                 Suasana kantor hari ini begitu riuh, bayangkan saja beberapa staff administrasi terus meracau ketika melihat kesalahan penginputan data oleh salah seorang trainer baru dari Semarang.                 “Kalo satu salah, ya udah salah semuanya!” ucap Firly kalang kabut, mencari-cari faktur kemarin. “Nomor notanya berapa?” teriak Firly membuka lembar demi lembar kertas berwarna pink yang tersusun rapi di sebuah map.                 “Gimana? Udah ketemu belum selisihnya dimana? Aduh, ini gimana Pak Hengky minta dikumpulin sekarang setorannya” ucap Tasya bagian keuangan yang sengaja naik ke lantai tiga. “Aduh, Dara kemana sih? Giliran dibutuhin aja susah benget munculin diri!” gerutu Tasya melihat kesetiap sudut.                 Hein menatap seluruh karyawan yang berada di hadapannya kini sambil membawa segelas kopi ditangannya merasa heran. Ia menaruh kopi di atas meja kerjanya lalu mulai mencari tahu apa yang terjadi.                 “Kamu mencari apa?” tanya Hein pada Firly yang berada tak jauh dari posisinya.                 “Setoran hari kemarin minus hampir sepuluh juta! Pak Hengky mendadak minta uang setorannya coba! Aduh, mati kita semua!” cerita Firly tanpa memalingkan pandangan dari faktur yang terus ia buka.                 Hein terdiam sejenak, ia mulai berpikir saat ini. “Coba saya bantu, laporan penjualan bukan?” tanya Hein. Firly mengangguk. Kini Hein berjalan menuju meja Jojo, staf yang tengah mengikuti masa training di perusahaan ini. “Bisa saya pinjam sebentar?” tanya Hein.                 Jojo mengangguk, ia terlihat begitu ketakutan saat ini. Bagaimana tidak? Jika benar terjadi selisih, mau tidak mau ia harus mengganti rugi uang perusahaan yang hilang sebanyak sepuluh juta!!                 Mata Hein sibuk melihat laporan penjualan kemarin, tangannya terus memegang mouse yang ia scroll. “Firly, bisa saya lihat fakturnya?” pinta Hein, Firly mengangguk lalu berjalan mendekati Hein dan memperlihatkan faktur-faktur yang dibawanya.                 Hein tersenyum, jari-jari kini mulai menari-nari pada keyboard. “Selesai!” ucap Hein mengangkat kedua tangannya ke atas, ia bangkit lalu menepuk pundak Jojo yang masih berdiri disampingnya. “Tenang, kamu aman” bisik Hein.                 “Pak Hein?” tanya Firly kebingungan.                 “Dia hanya salah memasukan angka, sudah saya perbaiki. Bisa sekarang kamu kirimkan kembali emailnya ke bagian keuangan. Nominal uangnya sama dengan uang yang ada saat ini” jelas Hein kembali duduk di meja kerjanya.                 Tasya yang melihat kejadian ini menganga tak percaya, bagaimana bisa seorang karyawan baru seperti Hein bisa dengan begitu cepat mencari selisih dengan tumpukan faktur sebanyak itu. “Ini hebat! Posisi Dara terancam” gumam Tasya kembali turun ke lantai dua. “Kirim laporan itu sekarang!” teriak Tasya.                 Hein menatap meja di sampingnya yang terlihat kosong, meskipun sudah ada tas berwarna merah yang ditaruh di meja kerjanya. ‘Dimana dia?’ batin Hein. ***                 “Dasar buaya buntung! Playboy cap gado-gado! b*****h busuk!”                 Suara dari dalam kamar mandi begitu terdengar oleh telinga Hein, karena posisi kamar mandi yang bersebelahan. Hein yang penasaran mulai mendengarkan u*****n-u*****n yang diteriakan oleh wanita yang berada di kamar mandi sebelahnya hingga akhirnya terdengar suara isakan tangisan.                 Hein semakin dibuat semakin penasaran, ia seolah merasakan rasa sakit yang dialami wanita itu. Namun ternyata disaat Hein keluar dari dalam kamar mandi, secara bersamaan dengan terbukanya pintu kamar mandi disampingnya. Betapa kagetnya Hein melihat sosok Dara Maisy, senior galak yang nyatanya adalah wanita yang menangis terisak-isak barusan.                 Dengan wajah sembab yang masih basah, Dara berjalan tanpa menyadari jika Hein berada tak jauh darinya. Dari jauh Hein terus menatap Dara, ia semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada wanita yang begitu terlihat kuat seperti Dara bisa menangis terisak-isak.                 “Bu Dara dari mana saja? Barusan kita semua pada sibuk cari selisih penjualan” ucap Firly menyambut kedatangan Dara.                 Dara yang baru menempelkan bokongnya di bangku kembali bangkit dan menghampiri meja Jojo. “Bagaimana bisa selisih? Pasti kamu salah input!” ucap Dara merebut mouse yang tengah dipegang Jojo.                 “Semuanya sudah beres Bu, Pak Hein yang menyelesaikannya” timpal Firly terkekeh. “Wah ... ternyata selain tampan dia pintar sekali” puji Firly sambil terus terkekeh dan tersenyum membayangkan pesona Hein yang tumpah-tumpah.                 “Hais ... bikin orang panik aja!” gerutu Dara melepaskan mouse dan kembali ke meja kerjanya. Ia kembali mengerjakan tugas-tugasnya seolah tak ada yang terjadi padanya, lain dengan Hein yang kini menatap Dara tanpa berkedip.                 “Dia luar biasa!” gumam Hein semakin kagum pada seniornya ini. ***                 Hari ini Dara merasa begitu tenang, pasalnya Hein sama sekali tak mencoba mengganggunya. Jangankan mengganggu, menyapapun tidak sama sekali. Setidaknya Dara merasa hidupnya kembali normal tapi tidak dengan hatinya.                 “Dara, Anton mau nikah?” tanya Tasya saat mereka berada di pantry sambil menikmati secangkir kopi panas sebelum pulang kerja. Cuaca Kota Bandung akhir-akhir kurang begitu bersahabat, hujan selalu turun secara tiba-tiba. Contohnya hari ini, beberapa karyawan termasuk Dara memilih menunggu hujan reda dengan berkumpul di ruang pantry.                 Dara mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kartu undangan berwarna gold dan memperlihatkannya pada Tasya. “Dasar buaya! Bisa secepat ini dia nikah?” gerutu Tasya kesal.                 “Aku ingat betul kata-katanya yang bilang ‘Aku gak bisa hidup tanpamu’ cih, najis” ujar Tasya kesal. “Dia nikah sama siapa?” ia mulai membuka undangan dan membacanya dengan seksama. “Jangan bilang dia nikah sama cewek yang kepergok ada di kosannya?” kening Tasya mengkerut.                 Terlihat Dara yang mencoba menahan air matanya yang sudah terbendung di kedua kelopak matanya, berkali-kali ia mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha kuat meghadapi semuanya. “Iya” jawabnya singkat, meneguk kembali kopinya. “Aku harus datang” tambah Dara.                 “Serius?” tanya Tasya tak percaya.                 “Dia harus tau, kalo aku ini baik-baik saja. Aku mau minta tolong Julio untuk berpura-pura jadi pacar aku” jelas Dara mantap. Tasya tersenyum, menepuk-nepuk pundak Dara lembut. Mereka berdua tidak menyadari jika Hein sedari tadi mendengar semua pembicaraan mengenai Anton. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN