BAB - EMPAT ( SORA POV )

1174 Kata
Namaku Sora. Itu nama yang Bibi Kim berikan padaku. Usia? Aku tidak tahu. Mungkin sekitar belasan tahun. Aktivitas yang sekarang kulakukan adalah membantu bibi berjualan di pelelangan ikan. Karena tubuhku tidak bisa merasakan sakit, aku sama sekali tidak merasa lelah saat bekerja walau sekeras apapun dan berapa lama pun aku menghabiskan waktuku untuk bekerja. Dan kelebihan lainnya adalah, aku juga dapat menahan dinginnya pagi hari di dermaga ikan bahkan ketika musim dingin sekalipun. Setiap luka bisa kuatasi sendiri tanpa rasa perih. Ini aneh sekali. Terkadang aku juga ingin tahu mengapa tubuhku seperti itu. Aku penasaran, namun aku tak ingat apapun. Setiap harinya, aku akan terbangun jam satu atau dua pagi. Pergi ke dermaga lalu membeli ikan para nelayan yang baru kembali berlayar. Sekitar jam sepuluh pagi kegiatanku itu selesai. Jika tak ada yang kulakukan atau ketika tak ada pekerjaan part time, biasanya aku akan pergi ke perpustakaan desa untuk membaca ataupun bersantai di sana. Aku tidak ingat siapa diriku sebenarnya. Jadi..selama dua tahun terakhir, aku selalu membaca koran berharap kerabatku akan mencariku di lama pencarian ataupun majalah cetak. Tapi..selama dua tahun itulah, kabar seperti itu tak pernah muncul di koran atau media apapun. Aku sedikit sedih. Tapi karena aku bisa menyambung hidup dengan orang-orang yang peduli padaku, semua itu bukan lagi menjadi hal yang menyedihkan. Mungkin inilah rencana Tuhan untukku agar aku tak perlu mengingat masa laluku. Atau Tuhan masih punya rencana lain untukku. Yoona? Yah, dia gadis yang sangat keras kepala. Entah apa yang terjadi padanya di sekolah. Setiap hari aku selalu melihat luka-luka di tubuhnya. Meskipun kecil, dia sebenarnya menderita karenanya. Apalagi, dia tidak pernah mengatakan apa-apa kepada ibunya apalagi kepadaku yang hanya saudara tiri yang tak pernah ia inginkan. Seperti kemarin saat aku membantunya, dia menolak. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membantunya. Tindakan para pembully itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus mencari tahu. Karena aku khawatir, Yoona akan semakin menderita.   Dan yah, hal tersembunyi lainnya dariku adalah, aku akan sangat menikmati berkelahi dan menghadapi semua lawan-lawanku. Secara tak sadar, aku bisa mengatasi mereka dengan sangat mudah. Aku seperti kerasukan sesuatu. Semua itu tak bisa kukendalikan. Tubuh ini bahkan bisa membaca semua pergerakan mereka. Yian bilang instingku juga kuat. Aku semakin penasaran siapa sebenarnya aku ini? Tapi sampai sekarang, aku masih belum menemukan jawabannya.   "Hai!" suara rendah itu –   "Yian?” Aku menoleh dan langsung bertemu dengan senyum lebar yang selalu terpancar dari pemuda jangkung yang juga seorang atlet taekwondo terbaik di kota ini. Rambut hitamnya tampak sudah dipotong pendek olehnya. Dan Yian semakin menawan karena ia terlihat segar setelah membasahi rambut barunya itu. Aku baru mengenalnya setahun yang lalu, dan dia selalu menemaniku di perpustakaan ini. Dia adalah pemuda yang baik dan perhatian. Aku senang berteman dengannya yang bisa menerimaku apa adanya. "Sudah makan siang?"   Yian menyeringai sambil membawakanku sekotak penuh ayam goreng yang aku pikir tidak akan bisa membuatku kenyang. Lidah perasaku juga ikut mati. Jadi sebanyak apapun aku makan, aku tidak akan pernah bisa merasa kenyang. "Belum. Apa kau membawa ini untukku?" Aku mencoba menghirup bau yang keluar dari kotak ayam goreng tersebut, tapi tetap saja, aku tidak bisa membayangkan enaknya seperti apa. "Cuma jajan aja, nggak akan cukup buat kamu," candanya sambil melirik buku yang sedang k****a. "Baca buku apa? sepertinya menarik.” "Aku belum selesai membacanya. Ini tentang pembunuh berdarah dingin dan sejenisnya." Yian mendekatkan wajahnya padaku, ingin melihat buku yang kupegang. Aku mengerjap saat mencium aroma lavender bercampur keringat dari tengkuknya. Bau yang akrab. Entah kenapa aku suka mencium bau dari tubuhnya. "Ada begitu banyak n****+ seperti ini akhir-akhir ini, apa kamu percaya ada pembunuh bayaran di dunia ini?" Aku kembali membetulkan posisi dudukku setelah beberapa saat yang lalu terbuai dengan aroma khasnya. Iya..aku juga menyebut Yian lavender boys. Karena dia memang memiliki aroma seperti bunga ungu itu.  "Menurutku..itu bisa saja ada di dunia ini.”   "Mungkinkah kamu seorang pembunuh bayaran? Karena kamu juga diam-diam pandai bertarung sepertiku?"   Yian terus mendekati wajahku. Jarak kami bahkan hanya beberapa inci saja. Jika dilihat sekarang pun, hidung kami bisa saja saling bersentuhan. Aku tidak tahu apa Yian sengaja melakukannya atau tidak. Tapi kubiarkan dia melakukannya sesuka hati. Entahlah..aku tidak bisa membalas perasaannya. Karena aku sudah terlanjur nyaman dengannya sebagai teman.   Yian satu sekolahan dengan Yoona. Tapi mereka berbeda kelas. Selain pintar, dia juga punya pesona yang membuat lawan jenisnya akan meleleh di tempat. Selalu menjadi trendsetter di sekolahnya apalagi karena prestasi yang dia miliki. Banyak gadis yang menyukainya, tapi anehnya dia malah menyukaiku. Meski telah kutolak perasaannya karena aku masih menyimpan begitu banyak masa lalu, Yian selalu berkata bahwa tidak akan pernah menyerah untuk menaklukan hatiku.   Sebagai teman, aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada dipikirannya. Dia selalu bilang, ini adalah karma untuknya karena telah menyakiti perasaan banyak gadis karena penolakannya. Tapi meskipun itu karma, dia tidak akan menyesalinya. Karena Yian merasa yakin bahwa aku adalah wanita yang dia cari.   Ada-ada saja. Dia bahkan baru akan menginjak usia delapan belas tahun! Masih terlalu dini bicara tentang cinta sejati. "Bisakah kamu mundur sedikit? Gadis-gadis itu terlihat cemburu." Yian tertawa rendah kemudian duduk di sebelahku sambil melirik para gadis yang memang memperhatikan kami sejak tadi. Aku menyesap kopiku lagi lalu melanjutkan bacaanku yang tertunda karena pemuda ini. "Apa kamu pernah cemburu padaku? Seperti gadis-gadis itu lakukan?” Aku menatapnya bingung, "Kenapa aku harus cemburu, Yian?” Mendengar jawabanku,Yian langsung mengerucutkan bibirnya. Mungkin kesal karena aku telah salah menjawab pertanyaannya. Apa dia berharap aku cemburu juga? "Lupakan saja." Yian merajuk. “Apa hari ini tidak ada latihan? Kenapa ke sini?” "Kamu berharap aku ada di sini untuk menemanimu atau tidak?" Karena aku tidak ingin dia cemberut lagi, jadi ku jawab bahwa aku ingin dia tetap di sini. Dan lihat bagaimana ekspresinya? Dia senang karena aku membutuhkan keberadaannya. Tidak ada percakapan lagi setelah itu dan hari sudah mulai siang. Aku memutuskan untuk pulang melewati gang dimana Yoona dibully oleh teman-temannya. Melihat luka di tanganku membuatku teringat apa yang dikatakan Yian di perpustakaan. Itu cukup membuatku kerepotan. Aku kembali penasaran dengan jati diriku yang sebenarnya beserta luka-luka mengerikan di tubuhku. Baru-baru ini Yian tahu bahwa aku memiliki Analgesia dan juga amnesia akut. Tapi dia tidak tahu tentang luka-luka mengerikan yang ada di tubuhku ini. "Mau kemana setelah ini?" tanya Yian, aneh.   “Tidur,” jawabku sekenanya. Yian malah menertawakan jawabanku.   “Yah..kamu memang butuh banyak tidur setelah semalaman bekerja,” tukasnya perhatian.   Baru saja aku hendak membuka pintu pagar,  Yoona datang sambil melirikku dan juga Yian bergantian. Tak lama, Yoona memasuki rumah dengan sedikit membanting pintu di hadapan kami. Yian hanya mengendikkan bahunya sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan Yoona yang ajaib. "Dia masih kasar padamu?" Kubalas pertanyaan Yian tadi dengan senyuman saja.  “Aku masuk dulu. Terima kasih untuk hari ini,” kataku tulus. Pemuda itu tampak menggaruk tengkuknya dan memilih untuk berbalik arah. "Kalau begitu... sampai jumpa besok." Yian pulang dengan mengendarai sepedanya. Punggungnya  kian menjauh meninggalkanku sendiri yang masih terpaku di depan pintu pagar rumah. Tapi dari sini aku bisa merasakan ada seseorang yang datang mendekatiku. Aku melirik waspada. Dan saat aku berbalik... . .   Bersambung 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN