BAB - TIGA

808 Kata
“Hari ini dagangan kita lari manis, Sora.”   Bibi Kim tampak semringah dengan lembaran uang yang ia pegang dan hitung sejak tadi. Karena tangannya yang cacat akibat terpotong karena mesin pemotong saat ia bekerja di pabrik dulu, bibi Kim tampak kesusahan untuk menggenggam uang tersebut. Tapi beliau pantang untuk dikasihani. Dengan usahanya sendiri, bibi Kim masih tetap bisa menghitung uang tersebut dengan jari kakinya.     “Iya bi –“ ucap Sora yang masih sibuk mengemas kotak penyimpanan ikan.   Sora sangat suka berada di dermaga. Di sini, ombaknya sangat kuat. Dan dia suka sekali memandangi laut sambil membayangkan bisa berlayar ke lautan. Tapi bibi Kim menentang keras keinginannya itu. Baginya, mana mungkin wanita bisa berlayar ke lautan sendirian.     “Ini –“ bibi Kim memberi Sora beberapan lembar dollar. Sora tertenun.     “Ini apa bi?”     “Daun! Tentu saja uang,” ucap bibi Kim gemas.     “Tapi gajiku kan masih minggu depan –“ Sora mengembalikannya ke meja. Bibi Kim mendorongnya lagi.     “Anggap saja bonus.”     Sora sungkan untuk menerimanya. Tapi karena ia merasa pantas dan harus menerimanya,maka uang itu akhirnya masuk  ke saku celananya. Bibi Kim tertawa melihat kepolosan Sora – anak sambungnya itu.     Upah seorang Sora tidaklah banyak. Tapi karena dirinya selalu menggunakan upahnya dengan sangat baik dan tertata dalam pembukuan – pengeluaran dan pemasukan – maka jelas sekali mengapa di usianya yang sekarang Sora sudah memiliki dua buku tabungan. Dan semua itu baru lima persennya saja ia gunakan untuk membli baju ataupun uang jajannya sehari-hari.     Berbeda dengan Yoona. Anak kandung dari bibi Kim itu selalu tampak kekurangan uang. Padahal bibi Kim selalu memberikan sisa uangnya untuk keperluan sang anak dan itu bahkan lebih daripada yang ia pinta. Tapi entah mengapa, Yoona selalu marah dan kesal bila dimintai penjelasan kemana uang itu pergi.     Pernah satu kali, Yoona iri saat melihat Sora mendapatkan uang dari pekerjaannya. Dengan perasaan kesal, gadis itu menghampiri ibunya lalu merampas tas kecil milik ibunya itu lalu mengambil semua uang tersebut. Perdebatan kecil antara keduanya pun tak terelakkan.     “Ibu memberikannya uang! Kenapa aku tidak?!” teriak Yoona sambil menunjuk ke arah Sora.     “Sora bekerja dengan ibu! Tentu saja ibu harus memberikannya upah!” bentak bibi Kim tak mau kalah.     Yoona menggeram. Selama ini ibunya memang menyuruhnya untuk membantu di dermaga. Tapi Yoona terlalu sibuk mengurus gengnya daripada menuruti perintah ibunya sendiri.     “Kau ini..kapan sih berubah menjadi lebih dewasa seperti Sora? Huh?” bibi Kim menimpali dengan memukul punggung gadis itu. Tak terima dipukul, Yoona mendorong ibunya hingga membuat perempuan yang melahirkannya itu terjatuh ke lantai. Dengan sigap, Sora membantu bibinya bangun.       “Anak kurang ajar! Kenapa sikapmu seperti ini Yoona! Berhenti mengikuti para berandal itu!”     Yoona terbelalak. Ia yakin tak pernah menceritakannya kepada ibunya, kecuali Sora yang pernah memergokinya beberapa kali. Dengan tatapan penuh kemarahan, Yoona langsung menghadiahkan umpatan dan makian kepada Sora. Menuduh  gadis itu telah membocorkan rahasianya.     Setelah kejadian itu, mereka sepakat untuk tak menampakkan uang di hadapan Yoona. Dan bibi Kim juga menyisakan sedikit uangnya di dalam dompet yang dia tahu benar anaknya suka mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya.     Sikap Yoona yang demikian bukan tanpa alasan. Sejak ayahnya selingkuh dan meninggalkan mereka, Yoona jadi marah dan melampiaskan kekesalannya kepada sang ibu karena mengusir ayahnya tersebut.   Baginya melihat ibu dan ayahnya berpisah adalah yang terburuk. Dia tak ingin itu terjadi tapi juga tak bisa membiarkan ayahnya terus menerus membohonginya. Hingga, Yoona berpikir untuk menjadi wanita kuat dan bergabung ke geng berandalan di sekolahnya.  Agar dia tak membiarkan siapapun menindasnya. Ironinya, bahkan sebelum bergabung, Yoona terus menerus menjadi objek penindasan mereka.       Sora dan bibi Kim bersiap meninggalkan dermaga. Sora membantu bibi Kim memasukkan semua barang-barang ke atas mobil pick up.Tak lama, muncul beberapa mobil sedan hitam yang melaju kencang menuju dermaga. Sora mengabaikannya dengan memilih masuk ke dalam pick up.     Di dalam mobil tersebut, tampak noname  di sana. Ia masih menatap lurus ke depan hingga melewatkan mobil pick up putih yang siap beranjak. Sekilas noname merasakan sesuatu. Namun ia memilih mengabaikan instingnya lalu mengarahkan anak buahnya untuk cepat sampai.     Begitu sampai, noname langsung keluar dari mobil sambil menunggu kapal kecil menghampirinya. Sebatang rokoknya terlihat tak habis namun ia memilih membuangnya lalu menginjaknya seperti sampah di atas sebuah batu. Sambil melihat ke arah laut, noname teringat dengan ucapan Jean saat bersamanya dulu.     “Aku ingin berlayar satu hari nanti.”     Noname tak mau berkomentar. Ia memilih menyunggingkan senyumanya sambil menonton matahari terbenam di barat. Dia bahkan Jean sendiri, tak bisa mewujudkan mimpi tersebut.  Tak lama, sebuah mobil sport ungu datang dengan kecepatan tinggi. Mereka lantas keluar sana lalu berlari menhampiri noname. Seorang wanita dan juga seorang pemuda memberikan hormat mereka bahkan sebelum noname berbalik ke araha mereka.   Salah satu dari mereka kemudian menyampaikan sesuatu yang membuat senyum noname kembali terukir setelah kematian Jean dua tahun lalu. Dengan jelas wanita itu mengatakan –   “Jean..masih hidup, ketua.”     bersambung  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN