Episode sebelumnya.
"Kalau begitu... sampai jumpa besok."
Yian pulang dengan mengendarai sepedanya. Punggungnya kian menjauh meninggalkanku sendiri yang masih terpaku di depan pintu pagar rumah. Tapi dari sini aku bisa merasakan ada seseorang yang datang mendekatiku. Aku melirik waspada.
Dan saat aku berbalik...
Bibi Kim datang membawa sesuatu. Aku merasa lega setelah melihatnya. Kadang-kadang aku terlalu sensitive dengan area sekitarku. Itu membuatku berpikir, mengapa aku begitu waspada terhadap orang-orang? Seolah-olah ... akan ada sesuatu yang buruk jika aku tak waspada.
"Sora, ini yang kau minta dariku. Selama ini kau tidak pernah meminta apapun padaku. Aku senang kau melakukannya kali ini. Apa ada hal lain yang kau butuhkan?”
Bibi tersenyum bahagia saat dia menyerahkan sebuah amplop coklat dengan surat penerimaan sekolah di atasnya. Aku membuka amplop itu dengan antusias dan mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.
"Cukup, bibi. Terima kasih."
"Kenapa kau tiba-tiba ingin satu sekolah dengan Yoona?" tanya bibi setengah berbisik karena aku yang memintanya agar hal ini dirahasiakan dari Yona.
Setelah insiden hari itu, entah kenapa aku tidak bisa diam melihat Yoona terus berhadapan dengan para berandal itu. Apalagi, Yoona juga merahasiakan hal ini dari ibunya. Membuatku ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa sering kali aku melihat Yoona sama sekali tidak jera dengan apa yang sudah ia alami selama ini?
"Ehmm..aku merasa perlu punya masa depan. Dengan bersekolah, aku bisa memiliki ijazah dan juga teman. Seperti itulah, bi.”
Aku terpaksa berbohong untuk pertama kalinya di depan wanita baik ini. Mungkin ini jugalah alasan mengapa Yoona merahasiakan hal ini. dia mungkin tak mau membuat ibunya khawatir.
“Ya..baguslah! itu yang aku katakan setahun yang lalu. Lagi pula, ada Yian yang akan menjagamu.”
Aku mengeryitkan dahi, “Yian?”
Bibi mengedipkan matanya padaku, “Iya. Yian –“ kemudian beliau merapatkan kedua jari telunjuknya membentuk kedekatan hubungan. Aku tersenyum melihat pemikirannya tentang hubungan kami..
.***
Keesokan harinya..
“Salam kenal. Namaku Kim Sora.”
Aku selesai memperkenalkan diri di kelas 1-B. Beberapa siswa laki-laki sangat antusias melihatku sejak aku muncul di hadapan mereka. Namun tidak dengan para murid perempuan. Tatapan tajam mereka terus terarah padaku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Biasanya aku tidak pernah mengenakan rok pendek di atas lutut. Aku tidak tahu kenapa bibi memilihkan seragam yang sedikit lebih pendek dari tubuh tinggiku. Sehingga tentu saja, ini terlihat mencolok bagi siswa yang lain. Bibi memang suka sekali menggodaku. Ia selalu menginginkanku seperti para gadis pada umumnya. Bukan sebagai gadis sembrono dengan pakaian lusuh sambil duduk di dermaga. Aku masih ingat bagaimana reaksinya begitu aku mengenakan seragam sekolah hari ini. Tentu saja aku mengenakannya setelah Yoona pergi ke sekolah lebih dulu.
Bibi juga bilang padaku bahwa aku tidak terlihat seperti warga lokal. Wajahku bulat dengan mata cokelat khas Eropa, hanya saja aku tidak setinggi mereka. Kulitku juga sedikit eksotis. Mungkin ini karena aku sering bermain di laut. Atau..ini memang warna kulit asliku?
Entahlah…aku tidak tahu, mungkin saja aku terlahir berdarah campuran? Hari ini aku sengaja tidak mengikat rambutku karena jika kulakukan akan terlihat jelas ada tato kupu-kupu di tengkuk leherku. Dan sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, mengapa aku membuat tato sebesar itu.
Kumpulan para gadis yang tidak suka dengan kehadiranku tentu saja adalah Yoona. Sejak gadis itu melihatku masuk ke sekolah, ia sudah memintaku untuk keluar. Aku membalasnya dengan beralasan bahwa bibi yang memaksaku untuk masuk sekolah.
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
"Bibi ingin aku pergi ke sekolah—"
"Pembohong!"
Yoona menamparku dengan keras. Tidak ada rasa sakit sama sekali. Tapi tentu saja, tindakannya itu sudah kelewat batas.
"Apa tujuanmu? Apakah kamu ingin memata-mataiku?"
Aku pergi begitu saja, meninggalkannya yang masih dalam keadaan marah. Karena itu, dia terus menatapku, dengan dingin. Juga, tatapan beberapa gadis yang aku kenali saat kejadian di gang hari itu.
Pelajaran pertama selesai. Seorang gadis berbando polkadot mendekatiku dengan tatapannya yang tidak bersahabat. Dia segera menyeret tanganku untuk naik ke lantai paling atas gedung sekolah. Dan benar saja, mereka bermaksud menggertakku.
"Gadis pindahan, ikuti aku."
Aku mengangkat alisku bingung atas ajakan mereka. Tapi demi mencari informasi, aku masih mengikuti mereka bertiga sampai ke ujung koridor sekolah. Di antara mereka sudah ada yang mulai merogoh saku seragam sekolahku. Persis seperti apa yang dilakukan gadis nakal itu pada Yoona tempo hari. Aku masih mencoba untuk tenang. Mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka cari, meskipun jumlahnya tak sesuai dengan harapan mereka.
"Karena kamu murid baru, setidaknya kamu harus tahu siapa kami. Aku ketua geng 'Kirikuzen'. Setiap hari kamu harus membayar kami 30 dolar, agar kamu tidak mendapat masalah di sekolah ini," katanya, sambil menyeringai mencoba untuk menakutiku.
Aku mengambil kembali uangku dari tangannya dan berbisik padanya, "Di mana anggota kalian yang lain? Yang bernama Stella?"
"Kau! Berani memanggilnya begitu? Kenapa kau mengenalnya?"
Gadis itu melayangkan tangannya untuk menamparku, tapi dengan cepat aku menepisnya hingga dia hanya bisa terdiam sambil mendongak ke arahku. Suara histerisnya menarik perhatian kelompok lain.
Bingo!
Aku langsung menemukan apa yang kucari. Dia kini berjalan dengan angkuh ke arahku.
Nama gadis itu Stella. Nama yang kulihat di nametagnya malam itu. Dia sepertinya belum menyadari sosokku. Dengan arogan, dia mendatangi kami lalu mulai menarik kerah seragamku dengan kasar. Aku ikut menatapnya saat ia melayangkan tatapan sinisnya kepadaku.
"Kita pernah bertemu sebelumnya, iya kan?"
Stella terlihat seolah dia telah tertampar dengan keras olehku. Wajah kesalnya tak bisa disembunyikan lagi dan memilih menjambak rambutku kuat-kuat, yang disambut teriakan puas anggota gengnya.
"Kenapa kau bisa ada di sekolah ini? Apa kau mau mati? Ini adalah wilayahku."
Dia terdengar mengerang putus asa tetapi masih menjambak rambutku dengan semua kekuatan yang dia miliki. Hingga tarikan itu melemah saat pandangannya beralih pada tato kupu-kupu biru di leherku. Aku mendengus dan merapikan kembali rambutku yang berantakan. Seolah ada gejolak di dadaku, aku ingin membalasnya dengan setimpal, tapi melihatnya kembali membatu dengan mulut ternganga sambil menunjuk dengan takjub pada tato itu, membuatku menghentikan niatku untuk membalas perbuatannya.
"Siapa kau? Kenapa kau memiliki tato yang sama dengan ketua?"
Aku mengerutkan kening. Ternyata dia bukan ketuanya. Ya ampun, apa sekolah ini tempat berkumpulnya para mafia?
Aku menyeringai, "Benarkah? Apa kau sering memperlakukan adikku seperti ini?"
Stella menggeram dan ingin menerkamku lagi. Tapi kali ini aku menangkap tangannya naik ke atas kepalanya. Mendorong lalu membalikkan tubuhnya ke dinding seperti yang dia lakukan padaku. Anggota lainnya bersiap untuk menerkamku, tapi Stella berteriak untuk minggir.
"Aku tidak ingin membuat masalah denganmu. Aku hanya ingin memintamu untuk berhenti mengganggu adikku. Haruskah aku memohon pada ketuamu juga?"
"Yoona itu... dia ingin menjadi anggota kami. Meski sudah kukatakan padanya bahwa dia tidak layak, dia tetap bersikeras ingin bergabung."
"Untuk apa Yoona ingin bergabung denganmu?"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku yang disambut dengan senyum tipis di wajah Stella. Dia terang-terangan mengejekku.
"Aku tidak tahu. Tanya padanya!"
Aku memilih untuk tidak bertanya karena aku sudah tahu apa yang akan terjadi. "Lalu, di mana ketua yang kamu katakan memiliki tato yang sama sepertiku?"
"Kaulah yang menirunya; dia ada di atap. Kau ingin bertemu dengannya untuk memohon pengampunannya?"
Stella tertawa pelan sambil merapikan penampilannya untuk bersiap-siap mengantarku kepada ketuanya.
Aku dibawa seperti seorang tawanan. Beberapa siswa mulai mencibir dan melihatku mengikuti geng 'Kirikuzen' menuju atap sekolah. Aku menangkap sosok familiar menuruni tangga. Reaksinya sama seperti yang lain ketika dia melihatku berada di kelompok Stella. Aku sengaja mengalihkan pandangaku lalu mencoba melarikan diri dari barisan. Tapi terlambat, langkah kakinya yang panjang segera menangkapku dengan mudah.
"Sora? Kenapa kamu di sini?"
Yian bertanya sembari menatapku dengan tajam. Aku menatapnya sambil menyunggingkan senyuman yang aneh kepadanya.
.
.
BERSAMBUNG