BAB - SATU
"Pada akhirnya kau akan tetap mati di tangan mereka, Jean!"
Suara pria itu terdengar bergetar. Seorang pria tua jatuh berlutut ketakutan melihat siluet berjalan bak model sambil tengah mempersiapkan pistol semi-otomatisnya terisi peluru. Pria tua tersebut terpojok di mejanya, mengamati ruangan kebanggaannya kini gelap bertemankan mayat - mayat pengawal mahalnya.
Peluangnya untuk melarikan diri sangat mustahil. Siluet di hadapannya sama sekali tak memberikannya kesempatan.
"Dia akan mengkhianatimu dan akan segera membunuhmu!" ucapnya lagi yang sepenuhnya diabaikan oleh siluet berbahaya di depannya.
Keringat terus mengalir dari kepalanya yang licin. Siluet itu semakin mendekatinya, "Jean...tolong jangan bunuh aku!" pintanya semakin ketakutan. Pria tersebut bahkan menggosok telapak tangannya -- memohon seperti anak kecil.
Terdengar desis tawa dari siluet di depannya. Pria itu duduk tegang ketika mendapat tatapan 'iblis' yang haus akan darah itu mengarah kepadanya, "Bukan aku yang ingin membunuhmu, tapi dia. Memohonlah padanya, sehingga aku tidak perlu membunuhmu."
Tawa rendah Jean menghilang.
Dengan atau tanpa aba-aba, Jean menarik pelatuk pistol tepat ke kepala pria tua yang duduk lemas di sudut mejanya. Suara tembakan terakhir telah menggema. Jean membuang sarung tangan hitam ke kotak sampah lalu menuju lukisan yang disebaliknya terdapat peti besi. Jean menekan kata sandi lalu mengeluarkan sarung dompet hitam berisi berlian. Sebelum menutupnya, Jean mengambil foto dirinya dan Dia.
Jean tersenyum sinis lalu pergi tanpa melihat kembali ke pria tua yang mulai kehilangan kesadaran akibat tembakan yang diarahkan ke bahunya itu.
*
"Aku tahu ini akan terjadi. Jean mengkhianati kita!"
Pria brewok dengan mata sipit membelokkan mobilnya ke kiri mengikuti mobil sport hitam yang melaju kencang. Mereka sedikit kewalahan karena mobil sport itu semakin cepat dan sangat lincah menghindari tembakan yang terus-menerus mereka bidikkan ke arah Jean tersebut.
Jean tidak akan membiarkan dirinya tertangkap. Pembelotannya lah yang membuat dirinya dikejar oleh kedua rekannya.
"Sial! Jean tidak membunuh Tuan Kim; kenapa dia tidak menurut?"
Terdengar umpatan pria bermata satu di sebelahnya yang terus berpegangan erat sambil menyiapkan pistol untuk ia layangkan ke arah mobil sport. Merasa gagal, dari kursi penumpang pria tersebut menebarkan peluru panas ke ban mobil sport. Jean berhasil mengelak dengan terampil dengan membelokkan setirnya menanjak ke arah gunung. Pria bermata satu itu tidak menyerah. Hingga salah satu tembakannya mengenai ban mobil kanan Jean. Mobil sport meluncur tak terkendali. Beberapa kali harus beroutar hingg akhirnya Jean terpojok di antara kendaraan yang kini mengepung di belakangnya. Sialnya di depan ada jurang yang siap menampungnya terjun bebas.
"Keluarlah, Jean! Kau tidak akan bisa pergi! Kembalilah padanya!" tukas pria brewok sambil tetap mengarahkan senjata semi-otomatisnya ke mobil.
Di dalam, Jean mengambil boneka beruang dan menyelipkan sarung dompet ke dalamnya. Kemudian dari ponselnya Jean menekan angka Sembilan satu satu yang langsung tersambung dengan seseorang yang ada di sana. Sambil tetap membuat panggilan telepon, Jean menekan presneling lalu mobil mulai meluncur ke tebing. Para pria yang mengelilinginya terkejut ketika mereka melihat mobil Jean bergerak. Mereka tak bisa menyelematkan Jean melihat suramnya jurang hingga mobil yang terjatuh itu terpental dan berguling sebelum akhirnya masuk ke sungai.
"Astaga! Apa yang dia lakukan?"
“Panggil bantuan. Aku yakin dia tidak akan mati begitu mudah seperti ini,” kata pria bermata satu yang dipanggil Bill oleh rekannya. Sedangkan pria berjanggut yang sedang sibuk mencari bantuan itu bernama Sam.
Beberapa jam kemudian, mayat ditemukan dari dalam mobil sport hitam. Kerumunan mobil yang mengejar Jean menjauh dari tepi sungai tempat polisi sedang merapikan puing-puing dari mobil yang hampir hancur.
Sam dan Bill ragu-ragu memberi kabar tentang Jean. Meskipun tampaknya tidak mungkin, mereka mau tak mau harus mengkonfirmasikannya kepada seorang pria yang sedang duduk sendirian di ruangan yang minim penerangan tersebut.
Ia tampak menekan buku-buku jarinya sendiri. Karena gugup, iapun melihat foto dirinya bersama Jean ketika gadis itu masih sangat muda. Gambar tersebut adalah gambar yang sama dengan yang dilihat Jean di rumah mister Kim.
"Dia tak bisa terselamatkan, Sir," ujar Sam sedikit gemetaran.
Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibir hitamnya. Dengan sedikit menghela napas, pria misterius itu menekan ujung kursi dengan kukunya. Dari sudut matanya mengalir air mata yang membuatnya terpukul. Akan tetapi, tak ada yang menyadari hal tersebut karena pria tersebut lekas menutupinya sebisa mungkin dengan kacamata hitamnya. Ia tak mau, airmatanya akan dilihat oleh para anggotanya sebagai sebuah kelemahan.
Sementara itu, di aliran sungai. Tubuh seorang gadis mengapung mengikuti aliran sungai berbatu. Tubuhnya tersangkut dan napasnya naik turun. Dengan beberapa luka di wajah akibat benturan hebat, Jean memaksakan diri untuk berenang ke tepi. Tubuhnya mengigil. Ia hampir tak bisa menggerakkan kedua tangannya karena mengalami hipertemia. Sampai di tepi, Jean merebahkan tubuhnya. Membiarkan ia beristirahat sambil mendengarkan suara-suara dari dalam hutan. Jean tak bisa lagi menahan kantuknya. Dan iapun tertidur lelap hingga keesokan paginya seorang wanita berteriak histeris melihat tubuhnya yang lemah.
“Astaga! Apa kau masih hidup? Nak..apa yang terjadi padamu. Bangunlah!”
Jean ingin melakukannya. Tapi matanya tak kunjung ingin terbuka lebar. Tubuhnya terasa semakin kaku dan ngilu. Ia tak bisa apapun selain pasrah saat wanita setengah abad itu membawanya pergi keluar dari hutan.
Dua tahun kemudian
Seorang gadis bersurai hitam sepunggung tampak tengah mencengkram kuat-kuat leher korbannya. Dengan gigi taring yang sengaja dia tunjukkan, korbannya menciut di tempat. Bersama kedua rekannya, gadis yang berpenampilan seperti pemimpin berandalan itu memerintahkan yang lain untuk mengambil semua barang berharga yang ada di ransel seorang gadis yang ia ganggu. Dengan satu tepukan lembut di wajah, Yoona – sang korban – langsung duduk tak berdaya di gang sempit jalanan kota.
"Masih nekat untuk bergabung? Uang segini masih belum cukup! Dapatkan uang lebih banyak lagi bodoh!" umpat pemimpin komplotan itu sambil meludahkan bekas permen karetnya ke wajah Yoona.
Yoona menelan ludah lalu menegakkan wajahnya lagi – tertantang, "Ya! Aku akan mencari uang untuk bisa bergabung denganmu."
Pemimpin geng itu dengan ringan menampar pipi Yoona dengan senyum bahagia di wajahnya. Ia lantas menyambar beberapa dolar dari dompet Yoona lalu berjalan pergi. Namun baru beberapa langkah ia meninggalkan Yoona, sebuah tendangan tepat di punggung membuatnya terjatuh ke aspal yang keras. Kedua anggotanya terkejut lalu segera menoleh ke belakang, siap untuk membalas.
"Sora?" teriak Yoona yang juga kaget melihat aksi saudari tirinya itu.
"Jadi kalian gadis-gadis nakal yang selalu memerasnya?" teriak gadis bernama Sora yang menunjukkan wajah marahnya tersebut. Ia bersiap untuk kembali menghajar gadis-gadis berandalan tersebut.
Tak terima dahinya memar, gadis bertato dengan kelopak bunga di pergelangan tangannya segera bangkit mengeluarkan pisau kecil dari balik sakunya. Dengan cepat ia berhasil mendorong Sora ke tembok. Menguncinya dengan berat tubuhnya dan mengancamnya dengan belati seolah bersiap untuk mencungkil mata lawannya.
"Siapa kau?"
Suara itu dipenuhi dengan ambisi untuk mencabik-cabik lawannya. Tapi Sora tidak bergeming. Gadis itu malah menyunggingkan senyum sinis yang ditanggapi gadis nakal itu dengan nyali yang perlahan menciut. Tatapan tajam Sora tidaklah main-main. Tatapan tersebut malah balik membuat lawannya tak berkutik sampai gemetaran.
Sora menggenggam mata belati dengan seringai yang tidak kalah mengerikan. Gerakan tersebut amat cepat. Membuat gadis berandalan yang belum diketahui namanya itu hanya bisa terbelalak tak percaya, "Mau merasakan kematian? Menyingkirlah sekarang, atau kau akan mendapatkannya dalam lima detik."
.
.
BERSAMBUNG