Apa yang membuat Scott ingin menemuinya? Dan mengapa dia menghubunginya bukannya Ken yang merupakan kliennya. Hanna terus memikirkannya sepanjang perjalanan menuju kantor Scott apalagi Diana tidak bisa menami dirinya karena dia harus pulang.
Hanna tidak tahu apa alasan Scott, tetapi dia harus menghormati permintaannya apalagi dia sudah mendapat ijin dari Ken untuk bertemu dengan lelaki yang merupakan teman sekaligus lawyernya.
“Selamat sore. Saya Hanna Maulidya dan sudah ada janji dengan Scott Wilard,” katanya begitu berada di depan meja sekretarisnya.
“Silahkan Nyonya. Tuan Wilard sudah menunggu Anda. Di dalam juga sudah ada Tuan Whittaker,” kata sekretarisnya Scott dengan mata menilai yang tidak di sukai oleh Hanna.
“Ken sudah di dalam, ada apa ini? Apakah Scott juga meminta Ken untuk datang?” Hanna mengabaikan semua lintasan pertanyaan yang ada di dalam kepalanya dengan berjalan menuju ruangan Scott.
Dengan ketukan pelan, Hanna langsung membuka pintu ruang kerja Scott setelah dia mendengar suara Scott yang menyuruhnya masuk.
Mata Hanna melirik Ken yang duduk bersandar di kursi yang ada di depan meja Scott. Sikapnya mencurigakan hingga Hanna harus memberi perhatian lebih padanya.
“Ada apa?” tanya Hanna pada kedua pria yang memandangnya dengan tatapan aneh.
“Bacalah. Aku tidak tahu Lenna sekarang memakai lawyer siapa, tetapi bukti kalau negara ingin mengetahui keseriusan kalian sebagai orang tua, patut di perhatikan,” beritahu Scott pada Hanna dengan memberikan selembar surat yang ada di depan Ken.
Hanna tidak perlu bertanya isi surat tersebut karena dia langsung membacanya dan matanya memandang tajam Ken sementara Scott hanya menahan senyum.
“Dan kapan tepatnya ada permintaan seperti dari negara dan tidak ada seorangpun yang mengatakannya padaku?” tanya Hanna tetapi lebih ditujukan pada Ken.
“Surat tersebut sudah dikirim seminggu sebelum pernikahan kalian. Ken sudah menyetujuinya. Mungkin dia lupa mengatakannya padamu,” beritahu Scott pada Hanna yang mulai mengalihkan perhatiannya pada Scott.
“Dan kenapa kau memintaku bertemu denganmu, bukankah yang sudah setuju itu Ken? Jadi kenapa kau harus memintaku bertemu denganmu?” suara Hanna yang tajam menarik perhatian kedua pria yang sebelumnya hanya duduk memperhatikan.
“Scott sudah bicara padaku, tapi aku ragu kau akan mempercayai ucapanku kalau aku yang harus mengatakannya. Jadi aku minta dia menghubungimu,” Ken buru-buru menjawab pertanyaan Hanna sebelum Scott menjawab dengan jujur.
“Dan kenapa kau baru mengatakannya sekarang suamiku? Kau tidak percaya dengan kemampuanmu?” tanya Hanna jengkel.
“Aku percaya dengan kemampuanku. Bukankah kau sudah mengakuinya?” goda Ken membuat wajah Hanna memerah.
“Urusanku sudah selesai. Kalau kalian mau bermesraan sebaiknya di rumah kalian saja. Atau kalian bisa melakukannya di rumah yang sudah diberikan negara pada kalian,” saran Scott yang mendapat teguran dari Ken melalui matanya.
“Mau pulang sekarang?” tanya Ken pada Hanna yang sejak tadi hanya diam.
“Hemm. Kami pulang dulu,” Hanna berpamitan pada Scott sementara Ken langsung menggandeng tangannya secara posesif.
Sepanjang perjalanan Hanna lebih banyak diam. Dia lebih sering menatap keluar daripada memandang Ken yang duduk di sampingnya. Mengemudi dengan tenang, sikap yang menipu karena di dalam hatinya Ken sedang menyusun kalimat agar Hanna tidak marah.
“Kenapa kau yakin kalau Scott yang bicara padaku, aku tidak akan marah?” suara Hanna akhirnya terdengar setelah cukup lama dia hanya berdiam diri saja.
“Bukan tidak akan marah, tetapi kalian adalah pengacara yang lebih paham dengan semua permintaan yang ada di dalam kasus yang belum selesai. Kalau aku yang bicara padamu, aku khawatir penjelasan dariku tidak akan cukup,” jawab Ken.
“Begitu, jadi kalau ada yang tidak kau mengerti sebaiknya kau serahkan pada orang lain saja untuk menjelaskan, begitu?”
Hanna tidak tahu apakah Ken adalah type lelaki yang tidak mudah minta maaf atau lelaki yang dengan mudah mengucapkan kata maaf sehingga kata maaf menjadi tidak penting lagi?
“Kita mau kemana?” tanya Hanna setelah Ken memilih jalan yang berbeda dari yang seharusnya.
“Melihat rumah yang akan menjadi tempat bulan madu kita,” jawab Ken melirik Hanna yang tiba-tiba cemberut.
“Gak lucu. Apa ini menuju pedesaan?” tanya Hanna lagi karena Ken terus mengemudi menuju arah ke arah Inggris bagian tengah.
“Benar. Kita akan bermalam di Birmingham,” sahut Ken membuat Hanna langsung duduk menghadap Ken yang masih tenang mengemudi.
“Aku sungguh tidak mengerti dirimu, Ken. Aku yakin kau bukan orang yang melakukan sesuatu dengan cara spontan, tapi yang kau lakukan hari ini benar-benar membuatku bertanya-tanya harus berapa lama aku belajar mengenal dirimu,” ujar Hanna sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku bukan lelaki yang harus kau pelajari, Hanna. Aku adalah lelaki yang mungkin bagi sebagian orang tidak masuk akal. Aku terkadang lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruang kerja sebelum pekerjaanku selesai dan aku juga lebih suka berada di daerah yang sunyi daripada tinggal di kota besar,” jawab Ken membuat Hanna tertawa.
“Dan kau pikir aku percaya? Kau adalah brandal ibukota yang selalu dikelilingi para wanita pengagummu. Mana mungkin kau bisa tahan hidup di pedesaan sementara para wanita cantik dan berkelas lebih banyak tinggal di kota besar,” kata Hanna menjelaskan setelah dia mendapat tatapan tajam dari Ken.
“Aku tidak memintamu percaya. Aku hanya ingin kau melihat siapa diriku yang sebenarnya. Aku memang sering menghabiskan waktu bersama dengan para wanita yang berbeda, tetapi hanya terjadi saat aku berada di kota,” jawab Ken semakin membuat Hanna bingung.
Siapa sebenarnya lelaki yang menjadi suaminya? Di satu sisi, Ken memang lebih banyak berada di dalam kamar yang lebih mirip dengan ruang kerja daripada kamar, dan dia sudah mengetahuinya.
Namun, mana mungkin julukan brandal ibukota melekat pada dirinya kalau memang Ken adalah lelaki yang lebih suka menyepi? Apakah Ken baru-baru ini saja lebih memilih hidup di desa daripada di kota? Atau karena pekerjaan yang mengharuskan dirinya berada di desa?
Hanna menghentikan berbagai pikirannya tentang siapa Ken yang sebenarnya dengan memilih menyandarkan punggungnya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, toh Ken juga tidak bicara lagi.
Hanna tidak tahu berapa lama mereka menempuh perjalanan, yang dia tahu adalah dia merasakan sentuhan di sepanjang garis bibirnya. Sentuhan yang begitu lembut, menyusuri dan menyentuh bibirnya hingga dia merasakan kalau bibirnya mendapatkan sentuhan yang berasal dari sepasang bibir yang mendesaknya hingga Hanna mengijinkan bibir itu menikmati bibirnya yang mulai merekah.
Suara keluhan dan tidak sabar perlahan memasuki kesadaran Hanna dan perlahan dia membuka matanya tepat pada saat Ken mengangkat kepalanya. Mata yang menggoda dan bibir yang membuat Hanna menahan napas.
Wajah Hanna merona dan dia yakin kalau warnanya sudah seperti kepiting rebus yang siap di makan. Bagaimana mungkin pada saat mulut Ken yang begitu dekat dengan mulutnya dia justru mengingat yang mereka lakukan tadi pagi?
Dan Ken…lelaki yang menjadi suaminya selama sebulan lebih sama sekali tidak memberinya dukungan. Dia justru bertindak menggodanya. Salah satunya dengan mencoba melepaskan seatbelt yang sebenarnya bisa dia lakukan sendiri.
Hanna tidak tahu apakah dia harus membusungkan daedanya atau membuatnya rata saat tangan Ken mencoba melepaskan seatbelt tersebut.
Kulit wajah yang memerah dengan tubuh yang tiba-tiba menjadi kaku adalah awal dari gerakan Hanna yang tidak berdaya. Dia seperti bukan dirinya lagi ketika Ken hanya menatapnya lalu membuka pintu mobil membuat Hanna lega. Setidaknya Ken tidak melakukan sesuatu yang membuatnya tidak berdaya. Dia tidak akan menerima dirinya diperlakukan dan di cumbu di tempat terbuka seolah-olah mereka adalah dua anak manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya.