Inilah Aku

1403 Kata
    Ken melangkah keluar begitu pintu mobil terbuka lalu berdiri menunggu Hanna dengan bersandar di depan mobil dengan kaki menyilang sementara kedua tangannya dia rentangkan di atas kap mobil. Menikmati angin sore yang menerpa wajahnya.     Melihat sikap Ken yang rileks membuat Hanna yang masih berada di dalam segera menyusulnya walaupun dia memerlukan waktu. Bukan waktu untuk merapikan diri tetapi juga berusaha mengatur napas, detak jantung dan juga menata hatinya yang semula kacau balau. Semua tidak ada yang normal setiap kali Ken memberikan kemesraan pada dirinya.     Yakin dengan keadaan dirinya yang sudah lebih tenang, Hanna keluar dari dalam mobil lalu mendekati Ken yang masih setia menunggunya.     “Rumah siapa?” Hanna menunjuk rumah yang berada di depan mereka.     Sebuah rumah pedesaan yang terlihat asri dengan pohon apel yang berada di sisi kiri halaman rumah tersebut dengan buahnya yang sangat lebat dan berwarna merah.     “Rumah masa kecilku,” jawab Ken tersenyum.     “Kau dulu tinggal di sini? Lalu rumah yang sekarang?”     “Rumah yang sekarang adalah rumah keluarga yang diwariskan secara turun temurun, sedangkah rumah yang ada di depan kita adalah rumah orang tuaku.”     “Aku sempat berpikir ketika masuk ke dalam rumah yang lebih mirip istana tersebut, apakah kalian pernah tinggal di rumah yang lebih kecil? Atau apakah kalian pernah merasakan semua kegiatan di dalam rumah dilakukan secara bersama-sama? Sekarang aku telah mendapatkan jawabannya. Kalian tidak berbeda dengan keluarga lainnya,” kata Hanna dengan suara bahagia.     “Kami sama seperti keluarga yang lainnya. Dan untukku sendiri, aku mempunyai rumah yang berada di dekat pantai walaupun aku sangat jarang mengunjunginya. Rumah yang dibangun begitu aku mulai bekerja dan menghasilkan uang. Semua tidak ada yang instan Hanna.”     “Aku tahu, tapi kau juga tidak bisa menutup mata kalau sebagian orang banyak yang memilih jalur instan,” jawab Hanna yang masih berdiri di samping Ken.     Hanna menoleh ke arah lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Apa tujuan Ken membawanya kesini dan mengatakan bahwa rumah besar bak istana adalah rumah keluarga dan bukannya rumah pribadinya? Apakah ada bedanya?     Sikap diam Hanna menarik perhatian Ken. Apakah Hanna kecewa karena dia tidak memiliki rumah besar yang lebih mirip istana? Apakah Hanna akan kembali tersenyum kalau dia mengatakan mereka juga mempunyai rumah mewah yang menjadi milik mereka sendiri dan bukan rumah warisan? Tidak. Ken tidak bisa mengatakannya sekarang sebelum dia bisa mengetahui apa yang ada di dalam hati Hanna.     “Kenapa? Kau kecewa karena rumah tersebut bukan milikku?”     Senyuman Hanna mengikuti tatapan matanya saat dia memilih berdiri di depan Ken sehingga mereka berdiri berhadapan.     “Apa yang kau rasakan pertama kali begitu masuk ke komplek perumahan tempat keluargaku tinggal?”     “Seperti masuk ke perumahan dimana tamu tidak bisa menyembunyikan identitasnya. Semua harus melalui penjagaan yang ketat dan bangga karena tidak semua orang bisa masuk ke sana,” jawab Ken setelah berpikir dengan alis yang hampir menyatu.     “Dan rumah tersebut hanya dapat kami tinggali selama ayahku masih aktif dan Kak Rizal bersedia tinggal di sana karena hanya Kak Rizal yang mengikuti jejak ayah. Bukankah sama saja? Bedanya rumah yang kau miliki adalah rumah warisan sementara rumah yang ditempati oleh keluargaku adalah rumah negara,” jawab Hanna dengan mata langsung tertuju ke mata Ken yang berwarna biru.     “Jadi dimana keluargamu tinggal setelah ayah tidak aktif lagi?” tanya Ken meraih tangan Hanna yang ada di depannya.     “Ayah sudah membangun rumah yang akan mereka tempati setelah pension. Rumah tempat kami, anak-anaknya akan pulang dan melepaskan semua kerinduan,” jawab Hanna dengan mata berbinar seolah dengan mengingat keluarganya selalu membuatnya merasa kangen.     “Apa kau rindu pada orang tuamu?”     “Aku adalah anak bungsu yang selalu mencoba mandiri, tetapi aku tidak mungkin bisa melepaskan semua perhatian dari mereka. Tentu saja aku sangat rindu pada orang tuaku. Tapi aku bisa melakukan video call dengan mereka,” jawab Hanna yang langsung diam setelah menyadari Ken menatapnya tajam.     Dengan gerakan pelan, Ken menarik sepasang tangan Hanna yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya sehingga tubuhnya langsung terdorong meninpa daeda Ken yang bidang.     “Jadi…tanpa menyertakan aku, kau selalu bicara dengan ayah dan ibu? Apa yang dikatakan oleh mereka kalau aku tidak pernah ada bersamamu?” suara Ken mendesis mengancam membuat Hanna tubuh Hanna bergetar.     “Aku minta maaf. Terus terang aku menghubungi mereka setelah makan siang. Aku janji kalau aku menghubungi mereka lagi, aku akan menunggumu,” kata Hanna sambil mendongak menatap wajah Ken.     Wajah Ken begitu tampan dan dia tidak pernah bosan untuk melihatnya lagi dan lagi. Hanna tahu kalau kulit wajahnya sudah seperti udang rebus saat dia menyadari kemungkinan terbesar yang akan terjadi setiap kali keadaan mereka seperti itu. Wajahnya seperti terpaku dan tidak bisa berpaling untuk melihat ke arah yang berbeda sampai suara Ken menyadarkan dirinya.     “Ayo kita masuk. Sudah cukup lama kita berada di luar,” ajak Ken menegakkan tubuhnya lalu menggandeng Hanna memasuki rumah yang dominan dengan bahan bangunan yang terbuat dari kayu.     “Jadi di sini biasanya kau bersembunyi. Siapa wanita yang pernah kau bawa ke sini?” tanya Hanna memandang sekeliling rumah.     “Hanya Carla yang membersihkan rumah ini. Wanita yang pernah datang bersama denganku hanya kau. Karena aku tidak mau privasiku terganggu dengan mereka yang tidak penting,” jawab Ken membuat alis Hanna naik.     “Jadi aku orang penting dalam hidupmu? Kau tidak terpaksa mengatakannya, kan?” tanya Hanna kembali berjalan menuju pintu samping lalu memilih duduk di salah satu kursi santai yang berada di beranda.     “Tentu saja. Kau mau minum apa? Alkohol atau sari buah?” tanya Ken dari dalam rumah.     “Sari buah saja,” jawab Hanna.     Hanna masih duduk santai lalu Ken datang dengan 2 buah gelas tinggi. Ken dengan minuman alcohol yang dia tidak tahu namanya dan Hanna dengan minuman sari buah yang warnanya tidak jauh beda dengan minuman yang ada di gelas Ken.     “Sari buah apa?” tanya Hanna sebelum dia mendekatkan bibirnya ke gelas untuk menyesap minumannya.     “Apel,” jawab Ken singkat.     Hanna menyesap sari apel yang ditambahkan dengan batu es membuat minuman tersebut terasa menyegarkan.     “Biasanya kau datang ke sini setiap hari apa? Akhir pekan atau….”     “Pada saat pekerjaanku membutuhkan konsentrasi penuh. Aku seringkali tidak bisa bekerja kalau suasana tidak mendukung,” jawab Ken menyusul Hanna dengan duduk di sampingnya, menggeser tubuh Hanna sementara masih ada kursi lain di beranda tersebut.     Di antara mereka tidak ada yang bersuara seolah-olah mereka berdua mencoba menikmati suasana hening yang timbul dari keadaan rumah yang sepi, hanya ada mereka berdua.     “Keadaan rumah seperti ini tidak pernah aku bayangkan bisa kau nikmati.”     Suara Hanna yang meragukan membuat Ken menunduk untuk melihat wajah Hanna.     “Kenapa? Apa yang kau bayangkan tentang diriku?”     “Hemm…janji tidak akan marah?”     “Entahlah. Mendengar suaramu sepertinya bayangan tentang diriku sepertinya kurang bagus,” jawab Ken mendesah.     Suara Ken yang mendesah diikuti gerakan merentangkan kedua tangannya membuat Hanna berada di dalam pelukannya. Sesuai dengan keinginan Ken saat dia melakukannya hingga senyum puas terlihat di bibirnya.     “Kau adalah seorang lelaki yang dingin, tetapi dari sikapmu itu justru membuat banyak wanita tertarik padamu. Aku tidak pernah tahu siapa keluargamu, aku hanya heran apa yang sudah membuatmu mendapatkan semua fasilitas yang membuat iri sebagian kaum lelaki,” jawab Hanna mencoba bergerak agar tubuhnya nyaman dalam pelukan Ken.     “Hanya itu?” tanya Ken menikmati gerakan Hanna yang membuat tubuh mereka semakin erat.     “Aku hanya berpikir kalau kau memiliki usaha yang menghasilkan uang yang sangat banyak sehingga wanita berlomba-lomba untuk mendekati dan menjadi kekasihmu. Dan kau sangat menikmati semua yang bisa kau dapatkan dan berikan pada mereka sebagai balasannya,” jawab Hanna.     “Dengan kata lain, kau menganggap diriku sebagai lelaki yang selalu berganti pasangan?” tanya Ken.     “Seperti itulah. Apa yang diimpikan oleh sebagian wanita ada pada dirimu. Rumah mewah yang lebih mirip istana, pelayan yang selalu siap melakukan apa pun dan uang yang mungkin tidak akan pernah habis walaupun kau selalu berbelanja,” jawab Hanna.     “Begitulah. Mereka melihat siapa diriku yang dibalut dengan kemewahan. Mereka tidak melihat siapa diriku yang sebenarnya.”     “Tapi kau juga tidak bisa menyalahkan mereka semua.”     “Aku tidak menyalahkan dan tidak akan pernah menyalahkan. Sekarang maukah kau diam sebentar. Aku ingin istirahat sejenak menikmati angin sore bersama dirimu dalam pelukannku,” jawab Ken dengan suara merayu,     Hanna tidak tahu apakah Ken hanya niat istirahat atau tidak sementara tubuhnya berada di dalam pelukannya. Begitu erat seperti belitan tali yang sangat kencang.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN