BAB 5

625 Kata
“Kita sudah buat wanita kampungan itu kerja keras di rumah kita Bu, tapi tetap saja tidak keguguran. Yang ada tambah lama tambah besar Bu perutnya. Apa yang harus kita lakukan?” Sinta duduk bersila di depan televisi bersama ibunya. “Ibu juga bingung Sin. Biasanya orang hamil muda yang kelelahan, akan mudah keguguran.” “Bisa gagal dong Bu rencana kita kalau begini?” “Hus diam! Itu dia sudah datang,” Bu Lina memberi kode pada anaknya untuk tidak berbicara lagi, karena yang mereka bicarakan telah datang. Setelah mengucap salam, Mita lekas masuk ke dalam. “Beli apa kamu, Mbak? Tidak sopan ada orang di sini, main lewat-lewat saja. Kalau beli makanan bagi dong, jangan dimakan sendiri!” “Mbak membeli perlengkapan buat persalinan. Mencicil, biar tidak memberatkan mas Rangga,” sahut Mita sembari menunjukkan isi dalam plastik berukuran besar, berwarna kuning pada adik iparnya. “Memangnya Mbak yakin bakal melahirkan nantinya. Kalau keguguran, apa yang mau Mbak lahirkan?” “Jaga bicaramu Mita! Mbak sedang mengandung calon keponakanmu,” sentak Mita. “Hidih, siapa juga yang mau mengakui dia sebagai ponakan? Aku sih tidak sudi.” “Sinta!” “Heh, siapa suruh kamu bentak-bentak Sinta? Kamu itu sudah menumpang , tahu diri sedikit,” sela Bu Lina. “Mita tidak akan berteriak atau berbicara keras, seandainya anak kesayangan ibu ini tidak memancing emosi Mita. Jangan dibiasakan membelanya jika dia bersalah. Efeknya, dia akan jadi orang yang selalu merasa benar, walaupun sebenarnya dialah yang bersalah.” “Ibu, tuh lihat, Ibu seharusnya tidak menampung wanita kampungan ini di sini. Lihat kelakuannya semakin berani sama kita!” “Makanya jangan seenaknya memperlakukan orang Sinta. Kesabaran setiap orang itu terbatas.” “Telepon mas Rangga Bu! Biar dia tahu kelakuan b***t istrinya ini.” “Lihat saja apa yang akan aku lakukan Mbak? Akan aku adukan semua perbuatanmu pada masku. Dia sudah pasti membelaku, karena mau sampai kapan pun aku tetap adiknya. Sedangkan kamu, kamu itu bukan siapa-siapa. Kamu hanya orang yang beruntung karena dinikahi mas Rangga.” “Terserah saja apa katamu Sinta. Sekalinya tidak punya pikiran, tetap tidak akan punya pikiran. Pendidikan boleh tinggi, tapi kelakuan kamu sungguh tidak bermoral.” “Cukup Mita! Lama-lama kamu nyerocos bisa bikin darah tinggiku kumat.” “Makanya hidup dibuat santai Bu! Jangan suka jahat sama menantu. Menantu yang Ibu jahati ini, suatu saat Ibu butuhkan. Kalau kita saling menghargai, hidup akan bahagia, dan darah tingginya Ibu tidak kumat-kumat lagi,” sahut Mita santai. “Makanya kamu kerja dong! Cari uang yang banyak! Baru aku akui sebagai menantu. Kalau kamu masih begini-begini saja, jangan harap saya akan baik sama kamu Mita. Biar begini-begini, anakku sukses semua. Sayang sekolah tinggi-tinggi, tetapi akhirnya menikah dengan perempuan kampung.” “Sudah ya Bu. Mita mau ke kamar dulu. Permisi.” “Eh Mita, Ibu belum selesai bicara. Tidak sopan kamu, orang tua belum selesai bicara, main pergi-pergi saja.” “Maaf Bu, Mita kebelet,” bohongnya sembari terus berjalan menuju ke kamarnya. Sementara Bu Lina dan Sinta terus saja menggerutu kesal membicarakan Sinta. “Bu, aku tidak mau mengurus anak perempuan miskin itu. Kalau dia melahirkan nanti pokoknya aku tidak mau turun tangan. Aku paling malas kalau harus mengurus bayi Bu, capek, dan membosankan,” keluh Sinta pada ibunya. “Ibu juga tidak mau. Mending Ibu tidur daripada harus menjaga anak Mita itu.” Mita tidak berniat menguping, namun obrolan anak dan ibu itu terdengar hingga ke kamarnya. Entah sengaja atau bagaimana? Semestinya mereka berbicara lirih saja, jika memang bukan menyengaja. “Oalah, ya Allah, kasih saya kesabaran yang lebih, dalam menghadapi ibu mertua serta adik iparku!” “Kamu jangan sedih ya Nak! Ibu akan selalu menjagamu, walau kehadiranmu tidak diinginkan oleh mereka yang membenci Ibu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN