BAB 1
“Dimas! Apa yang sudah kamu perbuat? Lihatlah adikmu sampai pingsan!”
“Dia tidak pingsan Bu. Biasa, ratu drama lagi cari perhatian,” sahut Dimas tanpa sedikit pun menoleh pada Sinta yang tengah tergeletak dilantai.
“Kurang ajar kamu ya! Tega kamu pada adik perempuanmu satu-satunya? Rangga, angkat adikmu!" teriak bu Lina memanggil Rangga anak pertamanya, yang tengah bersiap untuk berangkat kerja pagi ini.
Rangga mendekat, dan menggendong Sinta. Diangkatnya tubuh Sinta dan dibaringkan di sofa yang berada di ruang tengah.
“Dik, ambil minyak di kamar! Tolong bantu oleskan minyak ke badan Sinta! Titah Rangga pada Mita istrinya.
Walaupun Mita merasa kesal terhadap Sinta, tapi mau tidak mau, dia harus turun tangan, membalurkan minyak angin ke tubuh Sinta.
Sementara bu Lina tidak lepas menatap Mita dengan tatapan sinis seperti biasanya.
“Ini semua gara-gara kamu Mita! Sejak kamu tinggal di rumah ini, kedua anakku selalu menyudutkan Sinta. Padahal dulu mereka sangat menyayangi Sinta,” ujar bu Lina, sembari memijat pelan kepala Sinta.
Netra Mita mengembun. Jika ada masalah dan terjadi sesuatu di rumah ini, Mita yang selalu di salahkan oleh ibu mertuanya.
“Maaf Bu, tetapi Mita tidak tahu apa-apa. Soal mas Rangga dan Dimas sering kali menyudutkan Sinta, itu oleh ulah Sinta sendiri Bu, bukan salahku,” sahut Mita dengan suara bergetar menahan tangis.
“Mbak Mita benar Bu, dia tidak salah. Dimas marah karena Sinta sudah keterlaluan. Jangan karena dia anak terakhir dan anak perempuan satu-satunya, lantas Ibu selalu membelanya,” sahut Dimas sembari menyesap kopinya hingga tandas.
“Wajar Ibu memanjakan dia, dia masih kecil,” sahut bu Lina tidak mau kalah.
“Apa, kecil Ibu bilang? Sinta sudah 22 tahun Bu. Dia bukan anak kecil lagi,” sahut Dimas sembari menatap tajam ibunya.
Kali ini Dimas terlihat sekali sedang marah. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras.
“Sudah, jangan lagi menyalahkan dan menyudutkan Sinta! Ibu tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Sinta, termasuk kalian,” sentak bu Lina sembari melotot tajam pada menantunya.
Tidak mau lagi meladeni ibunya, Rangga dan Dimas gegas pergi untuk bekerja. Kini tinggal Mita, ibu mertua dan Sinta adik iparnya. Mita merasa tersudut sekarang.
Mita merasa tidak nyaman, sedari tadi ditatap dengan tatapan nyalang oleh ibu mertuanya. Mita mengalihkan pandangannya. Tidak berselang lama, akhirnya Sinta siuman.
“Sinta, apa yang Sinta rasakan? Mana yang sakit? Gara-gara dia, kamu sampai pingsan,” ucap bu Lina sembari menunjuk Mita dengan tatapan bengis. Mita terkesiap. Segera Mita tarik tangannya yang sejak tadi memijat kaki Sinta.
“Kenapa Ibu selalu menyalahkan Mita? Sinta pingsan karena melawan, saat Dimas mencoba menasihatinya, bukan karena Mita,” sahut Mita tidak terima.
Pasalnya Mita tidak bersalah. Kenapa ibu mertuanya selalu menyalahkannya?
******
“Eh Bu Lina, tumben beli banyak sayuran dan daging sapi banyak? Mau ada acara apa, Bu?,” tanya Mang Saleh penjual sayur keliling tempat biasa ibu-ibu kompleks berbelanja.
“Tidak ada acara apa-apa Mang Saleh. Ini untuk Sinta anak saya. Dia lagi sakit butuh banyak nutrisi,” sahut bu Lina tanpa menoleh sedikit pun pada menantunya yang juga berbelanja, dan berdiri tidak jauh darinya. Jangan bertanya bagaimana perasaan Mita? Sangat sakit pastinya.
“Jadi berapa totalnya, Mang Saleh?”
“Totalnya dua ratus ribu Bu Lina,” sahut Mang Saleh. Setelah menyerahkan 2 lembar uang seratus ribuan, bu Lina pergi begitu saja, tanpa memedulikan Mita. Bahkan berbasa-basi untuk menyapaku saja, bu Lina tidak mau.
Setelah bu Lina masuk ke dalam rumah, Mita segera memilah sayuran serta lauk yang akan dia masak untuk siang nanti.
“Yang sabar ya Neng! Bu Lina memang seperti itu sifatnya,” ucap Mang Saleh tiba-tiba, saat Mita tengah asyik memilih sayuran yang akan ia beli.
“Selalu sabar Mang, mau bagaimana lagi?" sahutnya santai.
“Sudah selesai Mang, berapa totalnya?" tanyanya sembari memasukkan sayuran yang ia pilih ke dalam plastik.
“Tujuh puluh ribu Neng,” sahut Mang Saleh sembari memperlihatkan kalkulatornya.
“Ini Mang, terima kasih, saya permisi dulu,” ucapnya setelah selesai membayar.
“Iya sama-sama Neng,” sahut Mang Saleh sembari bersiap mendorong gerobak sayurnya kembali keliling kompleks.
Mita segera pulang. Pekerjaannya terbengkalai karena kejadian di rumah ibu mertuanya tadi pagi.
Rumah Mita hanya bersebelahan. Saat mendengar keributan, mereka segera mendatangi rumah bu Lina.
Mita tinggalkan pekerjaan rumah yang baru separuh dia kerjakan.
Benar saja, sesaat setelah mereka sampai, Sinta luruh ke lantai. Dia pingsan karena tengah berkelahi dengan Dimas, adik Rangga yang nomor dua.
Kini Mita harus mempercepat kerjanya, agar semuanya selesai sebelum Rangga pulang. Rangga bekerja di kantor tidak jauh dari rumah. Jika di tempuh dengan kendaraan bermotor, sekitar 15 menit sampai.
Satu keranjang penuh cucian telah selesai Mita kerjakan. Sisa menyapu, dan memasak untuk makan siang nanti.
Satu jam penuh ia habiskan untuk menyelesaikan semuanya. Mita pun sudah mandi. Tinggal menunggu Rangga pulang untuk makan siang bersama.
Tidak berselang lama Rangga pulang. Baru saja Mita ingin mempersilahkan suamiku untuk makan, tiba-tiba saja ibu mertuanya datang dengan wajah tidak bersahabat. Perasaan Mita sudah tidak enak, melihat raut wajah ibu mertuanya yang tidak masam. Benar saja, bu Lina mencari masalah lagi dengan menantunya.
“Lihat istrimu Rangga! Sedari tadi Ibu sibuk mengurus adikmu yang sakit, dia malah di enak-enakkan di rumah,” adunya pada anak lelakinya.
“Masakan ini juga semuanya dia ambil dari rumah ibu. Dia tidak menyisakan sedikit pun.”
Darah Mita mendesir seketika. Otaknya mendidih. Bagaimana bisa ibu mertuanya memfitnahnya seperti itu?
Mita selama ini diam bukan karena takut, tetapi Mita masih menghormatinya.
“Ibu, Rangga baru saja pulang. Rangga capek. Ibu tega sekali memfitnah istriku,” sahut Rangga sembari menyenderkan tubuhnya di kursi.
Mata Mita membulat sempurna. Bagaimana bisa Rangga tahu jika ibu mertuanya telah memfitnahnya? Padahal Mita belum mengatakan apa pun.
“Rangga, Ibu tidak mengada-ngada. Ibu tidak memfitnahnya,” ucapnya sembari menatap Mita, seperti sampah yang menjijikkan.
“Sudahlah, Ibu silakan pulang! Jika Ibu kemari hanya untuk menyakiti istriku, aku tidak akan tinggal diam.”
“Kenapa Ibu selalu saja membenciku? memfitnahku? Apa salahku, Bu?" tangis Mita tidak terbendung lagi. Ia tumpahkan air mata yang sedari tadi tertahan. Rangga mendekati istrinya, diusapnya pipi Mita yang basah.
Bu Lina tidak menjawab pertanyaan menantunya. Ia langsung saja pergi setelah melihat Mita menangis. Selalu seperti itu.
******
Rangga berpamitan untuk membeli keperluan kantor. Mita memilih di rumah karena sedikit pusing.
Tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki yang mendekat. Mita melihat dari balik tirai, ternyata Sinta. “Mau apa dia kemari? Pasti akan mencari gara-gara lagi,” ucap Mita menerka.
“Eh mbak, beraninya kamu buat Ibu menangis! Durhaka kamu!” ucapnya sembari menunjuk-nunjuk wajah kakak iparnya.
“Sinta, jika belum tahu permasalahannya seperti apa? Sebaiknya jangan sembarang bicara!” sahut Mita ketus.
“Eh, ipar tidak tahu diuntung! Ingat kamu tinggal di sini, memang ini rumah mas Rangga yang bikin, tapi ini tanah pemberian ibu, jangan berlagak di sini!” ucapnya lagi yang membuat Mita semakin meradang.
“Sinta! Beraninya kamu berkata seperti itu pada mbak Mita!"
Rupanya Dimas datang setelah mendengar Sinta memaki Mita.
“Eh kamu, tidak usah ikut campur! Ini bukan urusanmu Dimas,” gertaknya sembari mendorong tubuh Dimas dengan kasar.
“Begini jadinya, kalau terlalu dimanjakan. Tidak tahu adab dan sopan santun,” ucap Dimas sembari menampar pipi Sinta yang mulus, sehingga meninggalkan jejak kemerahan di sana.
Dimas langsung keluar entah ke mana? Dia pergi dengan motornya.
Sinta mengaduh kesakitan. Dia pun menangis tersedu-sedu.
'Setelah ini pasti akan ada drama lagi. Kalau di tayangkan di Indosiar, judulnya Ipar Tukang Drama,' gumam Mita dalam hati.
Benar saja, mendengar tangisan Sinta yang terdengar pilu, ibu dan bapak mertuanya datang bersamaan.
“Ya Allah Sinta!” teriak bu Lina panik sembari berlari ke arah Sinta yang terduduk di lantai.
“Ibu, tega sekali dia menamparku, Bu,” ucap Sinta sembari menunjuk wajah Mita yang tampak kebingungan.
“Bukan Mita Bu, bukan Mita,” ucap Mita membela diri.
Sementara bapak mertuanya yang sedari tadi terdiam, kini mendekati Mita. Sangat kentara sekali, kilat amarah di matanya.
Plak
Bapak mertua Mita menampar Mita. Lagi-lagi semua hanya membela Sinta tanpa tahu kebenarannya. Walaupun Sinta salah, tetap Mita yang disalahkan.
“Bapak, Mita tidak melukai Sinta, dia berbohong Pak,” ucap Mita sembari mengusap air matanya yang mulai mengalir deras.
“Persetan! Dasar menantu tak tahu diri!" bentaknya sembari meludah ke sembarang arah.
Hati Mita sangat sakit menerima perlakuan keluarga suaminya.
Sementara dapat dilihat senyum menyeringai, dari perempuan licik yang di sebut ipar. Tangisnya hanya pura-pura.
Mereka pergi begitu saja setelah menoreh luka di hati Mita. Tidak ada sedikit pun rasa peduli di hati mereka. Ini semua gara-gara Sinta.
Dulu waktu pertama Rangga memboyong Sinta, orang tua Rangga sangat peduli pada Mita. Semua berubah semenjak Sinta berulah. Perlakuan ibu dan bapak mertuanya pun berubah.
“Lihat saja Sinta! Aku tidak akan tinggal diam. Aku lelah diperlakukan seperti ini. Aku hanya manusia biasa yang punya hati dan perasaan,” gumam Mita sembari menangis tersedu di kamarnya.