“Kebakaran-kebakaran! Tolong,” teriakan Bu Lina memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Kobaran api melahap bangunan setengah permanen itu dengan cepat.
Para tetangga pun keluar menyaksikan kebakaran hebat yang melahap tempat tinggal Rangga dan Mita. Mita dan Rangga sedang bepergian, sehingga peristiwa naas itu tak terelakkan. Sementara wanita paruh baya itu menyeringai puas memandang kobaran api.
“Ya Allah, rumah mbak Mita kebakaran, apinya besar sekali, ayo air-air. Telepon pemadam cepat!" teriak salah satu tetangga.
Peristiwa kebakaran itu terjadi malah hari, saat penghuninya sedang ke pasar malam. Kebetulan malam minggu, Dimas juga sedang nongkrong di tempat temanya, menonton pertandingan sepak bola luar negeri. Sementara Sinta sedang tidur di kamarnya.
Hanya ada Bu Mega seorang diri. Rupanya wanita paruh baya itu menggunakan akal licik agar Rangga dan Mita tinggal bersamanya setelah peristiwa ini. Tentu dengan begitu ia bisa dengan mudah mencelakai bayi yang sedang dikandung menantunya.
Tidak berselang lama pemadam pun datang, namun bangunan itu sudah ludes terbakar.
Sementara Mita mulai gelisah. “Mas, perasaanku kok tidak enak, ya? Kita pulang sekarang saja ya Mas!"
“Kenapa Dek? Perasaan tadi ceria-ceria saja Mas lihat.”
“Tidak tahu juga Mas, tiba-tiba kayak gelisah gitu Mas.”
“Ya sudah ayo kalau mau pulang!"
Mereka pun gegas pulang meninggalkan pasar malam yang semakin ramai.
Setibanya di rumah, Mita tercengang menatap nanar rumah yang sudah menjadi abu, dan hancur tinggallah puing-puing yang dapat ia lihat.
Begitu juga dengan Rangga, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kalian sudah datang? Maafkan Ibu Rangga, Ibu tidak bisa menyelamatkan barang-barangmu. Rumahmu juga sudah habis dilahap api. Kalian tinggallah bersama Ibu!"
“Mas Rumah kita Mas,” Mita menangis pilu melihat tempat penuh kenangan bersama suaminya itu sudah tidak berbentuk lagi. Bahkan tempat itu sekarang terlihat asing.
“Bu, apa yang terjadi? Kenapa rumah Rangga bisa terbakar?”
“Ibu tidak tahu Rangga. Saat Ibu keluar rumah, api sudah membesar,” kilahnya.
Para tetangga sudah bubar sejak tadi, karena diminta oleh bu Lina. Sementara Bu Lina menunggu keduanya sembari duduk di teras rumahnya.
“Sudah tidak usah bingung! Ayo masuk! Tinggallah dengan Ibu!"
Lutut Mita terasa lemas melihat tempat ternyaman itu kini tinggal lah puing kehancuran.
“Jangan cengeng Mita! Begitu saja menangis. Ayo cepat masuk!”
Keduanya langsung masuk ke dalam rumah bu Lina dengan langkah gontai. Mita tidak sanggup membayangkan harus serumah dengan Sinta dan juga ibu mertuanya.
“Sabar ya, Dek? Nanti kita bikin rumah lagi kalau sudah ada rezekinya. Untuk sementara kita tinggal di rumah ibu,” ucap Rangga lirih. Mereka kini berada di kamar belakang. Kamar yang biasanya dipersiapkan untuk tamu.
“Iya, Mas.”
“Sudah, tidurlah Dek! Ini sudah malam. Besok Mas juga harus berangkat kerja pagi-pagi. Bapak belum juga pulang. Bapak masih di kota ada keperluan.”
Mita pun membaringkan tubuhnya di kasur yang warnanya mulai usang termakan waktu. Wanita yang tengah hamil muda itu, tidak dapat memejamkan matanya. Harta berharga, pakaian, dan tempat ternyaman sudah tidak bisa diselamatkan. Air matanya masih saja menetes di malam yang semakin larut.
Pagi harinya, Mita masih tertidur pulas. Rangga dan Dimas sudah berangkat kerja sejak jam tujuh pagi. Hawa dingin serta kepala yang berat, membuat Mita enggan beranjak. Bukan karena dia malas, tetapi kepalanya terasa sangat pusing pagi ini. Perutnya juga sangat mual.
“Mita bangun! Ini sudah jam berapa? Bukan berarti harus manja karena kamu hamil. Sana bangun dan masakkan buat kami! Pakaianmu habis terbakar, daripada uang Rangga habis hanya untuk membeli baju milikmu, ini Ibu ada baju-baju bekas yang lama tak terpakai.”
Bu Lina melempar pakaian itu tepat mengenai wajah Mita.
“Kenapa mesti di lempar, Bu? Ibu bisa menaruhnya pelan-pelan.”
“Kamu sekarang menumpang di rumahku, jangan kebanyakan protes! Jadi menantu yang tahu terima kasih sedikit kenapa? Tahunya nyerocos saja.”
Brakk
Bu Lina membanting pintu dengan kuat. Mita sangat kesal dengan ucapan mertuanya, namun ia sama sekali tidak menangis. Air matanya sudah kering sejak semalam.
“Apaan sih Bu? Pagi-pagi sudah marah-marah. Sinta lapar Bu.”
“Sabar! Sebentar lagi pembantu gratisan akan masak buat sarapan kita.”
“Lah kenapa Ibu menampung dia di sini sih? Aku tidak suka melihat wanita miskin itu di rumah kita.”
“Jangan keras-keras! Nanti dia dengar. Kamu itu harusnya berterima kasih sama Ibu. Kalau ada dia di rumah ini, kita tidak perlu repot-repot lagi mengurus rumah. Dia yang akan mengerjakan semuanya.”
“Mana bisa Bu? Ibu 'kan tahu mas Rangga pasti membela istrinya itu.”
“Ya kalau ada Rangga, kita baik-baikin dia. Gitu saja kok repot. Pintar sedikit jadi orang!"
Tidak lama kemudian, Mita pun keluar dari kamarnya.
“Cepat sedikit kenapa? Kita sudah lapar Mita,” gerutu bu Lina.
“Maaf Bu, tapi aku mual sekali. Kepalaku juga pusing. Sebaiknya Sinta saja yang memasak Bu. Sinta 'kan sudah besar Bu.”
“Enak saja. Mana bisa tuan Putri dijadikan babu? Tidak bisa. Sana kamu yang masak, Mbak! Jangan mengalihkan pekerjaanmu padaku!” sahut Sinta tidak terima.
“Sinta bisa tidak bicara pelan! Tidak usah berteriak! Mbak sudah mendengarnya.”
“Sudah sana masak! Kamu mau, ibu sakit?" ancam bu Lina.
Karena berdebat dengan dua manusia tak punya hati itu semakin membuat kepalanya pusing, Mita terpaksa melaksanakan perintah ibu mertuanya tanpa protes lagi.
“Sudah selesai masak, sana cuci pakaian Ibu sama Sinta! Jangan protes!” Mita menatap jengah pada mertuanya.
“Kenapa menatap Ibu seperti itu? Sana kerjakan sekarang!”
“Ibu 'kan tahu Mita lagi hamil muda Bu. Mita mual dan pusing, ditambah pinggang Mita juga sakit karena masak sambil berdiri. Mita mau istirahat dulu, Bu.”
“Eh sekarang melawan terus kamu, Mbak. Yang namanya orang menumpang itu tidak ada yang gratis Mbak. Jangan ngarep jadi nyonya di rumah ini!"
“Ibu sama Sinta, sebaiknya kalian hati-hati berbicara sama Mita! Karena semalam mas Rangga memasang kamera tersembunyi di seluruh penjuru ruangan yang biasa jadi tempat kita berbicara.”
“Halah uang dari mana mas Rangga mau memasang begituan, nikah bertahun-tahun juga tetap kere.”
“Jaga ucapanmu Sinta! Sejak dulu mas Rangga jadi tumpuan, wajar sampai sekarang belum jadi apa-apa. Seharusnya kamu berterima kasih sama mas Rangga! Dia sudah membiayai hidup seluruh keluarga tanpa banyak mikir."
“Ya kalau itu sih sudah kewajiban sebagai anak pertama. Kok nyolot sih?”
“Sudah-sudah Sinta! Percuma ngomong sama orang miskin, sedikit- sedikit tersinggung. Ayo kita makan sekarang! Jangan mengadu yang aneh-aneh sama Rangga! Dia anakku. Selamanya akan ada di pihakku. Kamu kalau di ceraikan Rangga sudah bukan siapa-siapa.”
“Surga anakku tetap ada padaku, kamu itu tidak ada artinya.”
“Kolot sekali pemikiran Ibu. Maaf sekali kalau sekarang rasa hormat Mita pada ibu telah hilang. Ibu menganggap Mita hanya orang lain di keluarga ini. Suami juga tidak akan masuk Surga, kalau zalim pada istrinya.”
“Permisi Bu, Mita sudah tidak kuat lagi berdiri. Mita mau ke kamar dulu.”
“Kurang ajar kamu, Mbak! Lihat saja, akan aku adukan pada mas Rangga!”
Mita terus melangkah santai ke kamar belakang. Tidak ia pedulikan lagi ocehan Sinta yang tidak penting itu.