"Mas apa sebaiknya kita cari kontrakan saja, ya? Tidak enak jika terus merepotkan ibu,” Mita berbicara saat mereka tengah bersantai di kamar.
“Tapi tabungan Mas tidak banyak Dek. Tabungan itu Mas persiapan untuk kamu melahirkan nanti. Usia kandungan kamu sudah enam bulan, kita hanya punya waktu tiga bulan lagi. Kalau uangnya kita pakai buat bayar kontrakan, nanti kita bingung membayar proses persalinan kamu,” ujar Rangga menjelaskan pelan-pelan pada istrinya.
Ada kecewa yang menghunus tajam. Mita tidak lagi memaksakan keinginannya untuk mengontrak, jika suaminya merasa terbebani. Namun memaksa untuk tetap bertahan di rumah mertuanya, bukan pilihan yang baik. Mengingat obrolan antara mertua dan adik iparnya yang tidak sengaja ia dengar, membuatnya berpikir dua kali untuk tetap tinggal dan melahirkan di rumah bak Neraka itu.
Ibu hamil, mengurus bayi harus tenang dan bahagia. Lantas tinggal bersama dengan mertua dan ipar yang membencinya, akankah ketenangan dan kebahagiaan itu Mita dapatkan? Yang ada ia tak betah dan tertekan.
“Kenapa hanya diam Dek, kamu marah?”
“Kamu harus sabar dong. Suatu saat pasti kita bisa membuat rumah lagi,” sahut Rangga sembari menyenderkan kepalanya pada dinding kamarnya.
“Tapi Mas, ibu dan Sinta, mereka keberatan jika aku tetap di sini. Mereka tidak akan bisa menerimaku sebagai menantu dan ipar di rumah ini,” sahut Mita dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh hebat menahan sesak.
“Mereka tidak akan bisa menerimaku, Mas. Istrimu yang mereka anggap paling miskin dan paling hina ini, tidak akan mereka terima. Bahkan ibumu berniat menjodohkan kamu dengan wanita lain, dan berniat mencelakai anak yang aku kandung. Lantas mau sabar yang bagaimana lagi untuk menghadapi kekejaman keluargamu?”
“Jangan bicara sembarangan kamu, Dek! Mana mungkin ibu melakukan hal yang kamu sebutkan? Kamu sengaja mau membuat Mas dan ibu bertengkar?”
“Aku tidak akan bicara kalau aku tidak mendengarnya sendiri. Kalau Mas tidak percaya sama aku, dan membela mereka silahkan Mas! Teruslah membela mereka sampai kamu sadar perbuatan mereka sangat menyakitiku.”
“Ibu dan Sinta tidak mau menganggap anakku bagian dari mereka. Mereka juga berkata tidak akan turun tangan dan tidak mau serta merawat anakku. Lalu mau sampai kapan aku sabar Mas? Sampai aku tidak kuat dan mengakhiri hidupku?”
“Jangan berlebihan Mita! Kamu tidak berhak mengarang cerita untuk menjelekkan ibu dan adikku. Kemarin aku sudah membelamu dan yakin jika mereka memang bersalah. Tapi bukan berarti kamu jadi kebablasan dan malah memfitnah mereka seperti ini. Aku tidak terima!” teriak Rangga pada istrinya.
Mita menangis mendapati suaminya sangat marah, padahal ia berkata jujur. Kini ia malah dituduh memfitnah mertua dan adik iparnya.
“Mulai sekarang jangan lagi menjelekkan keluargaku!”
“Hahaha kapok, makanya jangan coba-coba mengadu dengan mas Rangga, bukanya dibela, malah sebaliknya,” Sinta tertawa puas mendengar kakaknya memarahi istrinya habis-habisan.
*****
“Auuuuu......auuuuuu.....” Mita bolak balik di kasur karena perutnya terasa sangat sakit. Awalnya Rangga tampak mengabaikan istrinya yang gelinjangan di kasur, namun lama-lama ia merasa iba.
“Kenapa, Dek?” tanyanya cemas.
“Perutku sakit sekali Mas. Ayo kita ke rumah sakit Mas!” sahut Mita dengan bibirnya yang memucat dan tubuhnya bergetar hebat.
Tanpa berpikir panjang, Rangga langsung menyahut kunci motor dan membawa istrinya ke rumah sakit.
“Ada apa dengan kandungan saya Dok?” tanya Mita cemas sesaat setelah Dokter melakukan pemeriksaan.
“Ibu sepertinya harus banyak istirahat. Ibu kelelahan yang mengakibatkan perut ibu sakit,” jelas Dokter.
“Bapak tolong jaga istrinya dengan baik! Hal buruk bisa mengakibatkan istri bapak melahirkan sebelum waktunya, alias bayi lahir prematur. Satu lagi, yang lebih fatal, bisa mengakibatkan kematian,” terang Dokter.
“Istri saya tidak melakukan pekerjaan berat Dok, hanya menyapu saja seperti yang ibu saya sampaikan. Hanya menyapu bagian dalam rumah yang tidak luas Dok,” bantah Rangga.
“Tidak mungkin hanya menyapu, bisa sampai kram perutnya Pak. Pasti banyak pekerjaan yang istri Anda kerjakan diam-diam.”
Rangga tampak berpikir sejenak dengan yang disampaikan Dokter kandungan tempat istrinya periksa setiap bulan.
“Saya beri resep tolong terus di Apotek depan Pak! Saya ingatkan lagi, jangan lupa jaga istri Bapak dengan baik, jika tak ingin menyesal!”
“Baik Dok, terima kasih, saya permisi, Dok.”
Setelah menebus obat, Rangga membawa istrinya pulang.
“Dari mana kalian? Pergi tidak pamit,” cerosos Bu Lina saat keduanya masuk.
“Tadi Rangga sudah keliling rumah mencari Ibu, tetapi tidak ketemu, jadi Rangga langsung jalan, buru-buru Bu, maaf, ya?”
“Mulai sekarang jangan bebankan pekerjaan berat lada Mita ya, Bu? Mita harus banyak istirahat. Tadi Dokter menyampaikan pada Rangga kalau Mita kelelahan.”
“Kelelahan apa? Orang kerajaannya tidur saja kok bisa kelelahan. Jangan kebiasaan di manja istrimu itu, nanti jadi malas!” sahut Bu Lina jengah.
“Bu, sebaiknya jangan berkata yang tidak semestinya ibu katakan. Jangan mencoba memfitnah Mita di depan suaminya Mita Bu. Dari pagi Mita sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah sendirian. Setiap hari mengerjakan pekerjaan yang sama saat Mas Rangga kerja, bisanya Ibu berkata seperti itu?”
“Kamu jangan mengaku-ngaku deh! Perasaan setiap hari Ibu sama Sinta yang capek mengerjakan semua pekerjaan rumah, kamu menyapu saja tidak bersih.”
“Mas bingung. Jadi sebenarnya yang suka mengada-ngada ibu atau kamu, Dek?”
Rupanya Rangga termakan omongan ibunya lagi. Dan lagi Mita mengalah.
“Terserah saja kamu percaya sama siapa Mas? Aku tidak peduli. Mau aku berkata benar sekali pun, tetap ibu dan adikmu itu yang kamu percaya. Omonganku, hanya kamu anggap angin lalu yang tidak penting. Aku mau tidur lagi, perutku sakit.”
Mita pun mengakhiri perdebatan dan masuk ke kamarnya.
“Dasar manja! Ibu dulu waktu hamil apa-apa Ibu kerjakan sendiri, Ibu baik-baik saja. Memang dasar istrimu itu malas. Kesempatan ‘kan bermalas-malasan karena hamil?”
******
“Wah Bu Lina mau ke mana Bu? Pagi-pagi sudah rapi saja,” tanya bu Nur yang kebetulan lewat hendak ke Pasar.
“Mau beli emas dong Bu. Uang banyak sayang kalau dianggurin saja, nanti bisa-bisa di makan rayap,” sahut bu Lini dengan pongahnya.
Bu Nur hanya menggelengkan kepala, menanggapi kesombongan bu Lina.
“Duh kasihan banget sih Bu! Zaman sekarang sudah maju, masih saja jalan kaki. Kayak saya dong, naik motor,” sambung bu Lina masih dengan angkuhnya.
“Biar sehat Bu Lina. Jarak dari rumah saya ke pasar ‘kan tidak terlalu jauh, hitung-hitung cari keringat, menyehatkan badan,” sahut Nur sembari berlalu meninggalkan bu Lina yang masih belum selesai memamerkan hartanya.
Sesampainya di toko emas, Bu Lina dan Sinta sibuk memilih emas yang ingin mereka beli.
“Eh ada Bu Lina sama Sinta,” mau memborong emas lagi, Bu? Perasaan bulan lalu juga barusan beli,” ucap bu Yanti, tetangga dekat rumah Bu Lina.
“Iya dong Bu, sayang uang saya banyak, bingung mau dibuat beli apa? Kalau dibiarkan nanti bisa dimakan rayap.”
“Bagaimana rasanya punya menantu, Bu Lela? Pasti bahagia,” pancing bu Kartika yang tahu akan seluk beluk bu Lina.
“Halah orangnya malas, tidak pernah bantu apa-apa. Tahunya tidur saja Bu. Saya sama Sinta capek sekali setiap hari harus masak dan melakukan semua pekerjaan lainnya.”
“Masak iya malas sih, Bu? Saya sering lho, lihat mbak Mita menyapu, mencuci dan menjemur. Bahkan pas saya main ke rumah Bu Lina mbak Mita sedang memasak, dan juga bersih-bersih,” ibu tidak suka ya sama menantu ibu? Makanya Ibu menjelekkan dia sama kami,” sela bu Yanti membuat wajah Bu Lina pias seketika.
“Ibu-ibu jangan pada berprasangka buruk sama saya! Kita bertetangga sudah lama loh. Masa Ibu-ibu begitu sama saya?” sahut bu Lina yang mulai tersulut emosi.
“Ibu-ibu bubar deh sana! Jangan mengganggu Ibu dengan pertanyaan kalian yang tidak penting! Biasa ya orang susah itu suka kepo dan ikut campur urusan orang,” cibir Sinta.
“Ayo ibu-ibu lain kali saja kita kesini lagi!” seru bu Yanti sembari keluar dari toko emas bersama dua ibu yang lain.
“Dasar orang miskin! Kesini hanya mau kepo sama urusan orang. Kayak kita dong borong emas,” ucap Sinta sembari memamerkan kalung yang dipakainya.
“Biasalah, mereka itu dari golongan orang miskin seperti Mita. Bisanya marah saja melihat orang senang. Itu karena mereka tidak bisa seperti kita.”
Sementara tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Dimas menahan amarah yang sedari tadi bergejolak. Beruntung ada masker dan topi yang membuat ibu dan adiknya, tidak mengenalinya.