Naami

1218 Kata
¨      Distrik 8 dan Bandara Seokarno Hatta. Saat ini Naami tengah menjelaskan sejelas mungkin dan sedetail mungkin tentang tugasnya yang akan dipindah tangankan untuk sementara pada Auliana. Haxel memperhatikan dua wanita itu sambil tersenyum. Dia menatap Calon Istrinya tengah sibuk bekerja menjelaskan data yang dia bawa untuk dia tunjukkan pada Auliana dan beberapa yang harus dilakukan oleh Auliana. Setidaknya, melihat latar belakang pendidikan dan pekerjaan Auliana. Seharusnya tidak sulit untuk Auliana pahami tentang tugas yang dia kerjakan nanti. Pekerjaan Naami tidak sulit hanya butuh kepekaan, kecakapan berbicara, pemahan situasi, pintar dalam memindai data. Cukup komplit karena sebagai supervisor lapangan apalagi dia yang mengetuai devisinya, tugas Naami terlihat gampang-gampang susah. Satu hal yang membuat selaras dengan prinsip hidup Naami adalah, pekerjaannya yang membutuhkan kedisiplinan waktu karena berurusan dengan client baik itu dari dalam negeri bahkan dari luar negeri. “Baik-baik, saya mengerti,” kata Auliana saat Naami sudah menyelesaikan penjelasannya. “Benarkah?” Auliana tersenyum memandang Naami. “Tidak salah aku menduganya tadi, seorang secerdas Auliana tidak mungkin kesulitan untuk memahami tugas karyawan kecil sepertiku,” ujar Naami santai. “Kamu terlalu merendah,” sahut Auliana. Naami hanya tersenyum menanggapi. Lalu kemudian Auliana menyadarkan Naami akan sesuatu yang penting. “Sekarang sudah pukul sembilan lewat dua puluh empat menit, apa kamu tidak ada keperluan lain sebelum berangkat?” tanya Auliana mengingatkan Naami pada urusannya yang lain yang belum dia sambangi sama sekali. “Ah iya! Kamu mengingatkanku akan sesuatu Lea, terimakasih…,” seru Naami dengan keterkejutannya. Auliana tersenyum. “Kamu tidak berubah, tetap pelupa seperti dulu,” tutur Auliana sambil tersenyum. “Bahkan dia bisa lebih pelupa dari pada itu!” celetuk Haxel. “Ayo sebaiknya kamu berangkat sekarang, aku akan mengantarmu kemana tempat tujuanmu,” seru Haxel mengajak Naami untuk berangkat saat itu juga. “Tunggu sebentar,” cegah Naami. Kemudian dia kembali berhadapan dengan Auliana. “Nah, ini aku serangkan berkas untuk urusan besok, tolong bantu gantikan aku kali ini, ya. Terimakasih sudah mau mendengarkan dengan baik penjelasanku,” tutur Naami dengan senyum tulus penuh dengan rasa terimakasih. Auliana balas tersenyum. “Tidak masalah, aku senang dapat membantu. Kalian berdua adalah sahabatku jadi dengan senang hati aku akan membantu sebisaku,” balas Auliana dengan ramah dan terdengar tulus. “Terimakasih sekali lagi,” seru Naami kemudian dia merengkuh Auliana ke dalam pelukannya. “Sama-sama. Sudah sana kalian harus berangkat sekarang jika tidak kau terlambat dan mendapat amukan dari Abah,” kata Auliana mengingatkan. Wanita cantik itu tersenyum melihat wajah berkerut Naami mengigat Abah Imam yang selalu galak padanya. “Ya, baiklah aku berangkat dulu. Da… Lea!” kata Naami setelah dia berdiri. Tapi kemudian dia berbalik saat Haxel mengikutinya di belakang. “Xel! Mau kemana?” tanya Naami dengan tanpa bersalahnya. Haxel menghela napas pelan. “Mengantarmu wahai putri Said Imam…,” seru Haxel tampak menahan kesal. “Eh? Yah jangan… aku bisa pergi sendiri, mobil akan diurus sama orang devisiku, jadi bisa berangkat sendiri. Kamu di sini saja, tugasmu banyak apalagi kamu akan libur tidak ada di kantor besok, jadi selesaikan tugas-tugasmu agar kamu pergi besok tanpa beban pikiran pekerjaan kantor. Dan temani saja Auliana di kantor, kasian dia kamu malah pergi niggalin dia begitu saja,” cegah Naami dengan alasan-alasan dia bisa lepas dari Haxel untuk beberapa jam kedepan dan dia memang menginginkan Haxel bertanggung jawab akan perkerjaannya. “Segitunya? Aku bisa meminta sekretaris untuk menghandle tugas besok jadi tidak perlu khawatir, biarkan aku mengantarmu hari ini,” protes Haxel yang masih menginginkan Naami diantar pergi olehnya. “Tidak, Sayang… biar hari ini aku pergi sendiri. Kamu tetap di kantor. –Jangan protes!” sanggah Naami cepat saat melihat bibir Haxel akan bergerak pasti ingin menolak permintaan Naami. Haxel bungkam jika Naami sudah meniggikan suaranya memerintah dirinya. Haxel menghela napas pelan. “Baiklah, tapi kamu hati-hati dan tepat waktu untuk sampai ke bandara jika tidak ingin kamu diseret pulang oleh Abah sultanmu itu atau aku yang akan menyeret kamu pulang kampung,” tutur Haxel dengan wibawa santai tapi terdapat nada jenaka di sana. Naami tersenyum. “Baik Pak Bos! Aku berangkat dulu ya, da… Xel, da… Lei!” Naami melambaikan tangannya sambil melangkah menuju pintu keluar ruangan direktur perusahaan itu. Naami keluar dengan riang, dia bahagia seperti biasa. Harinya memang penuh jadwal tapi hal itu tidak menjadi beban pikirannya karena dia bekerja sesuai dengan passion dan keinginannya. Naami meraih ponsel di dalam tas tangannya. “Hallo Stev− ah ya, pukul sebelas saya memang sudah di bandara,− kamu jemput saja mobil saya di sana, boleh kamu pakai untuk beberapa hari ke depan selama saya tidak ada,− iya iya… saya minta bantuan kamu untuk menjaganya, terserah kamu− tapi jangan dijual atau kamu gadaikan− iya… saya memang akan cuti beberapa hari, mungkin jika orang tua saya meminta saya cuti satu minggu, mau tak mau saya memang harus cuti selama seminggu,− tidak, saya tidak mampi ke devisi dulu. Kamu langsung saja meluncur ke bandara nanti jika sudah dekat waktunya.− oh tidak masalah kalau kamu mau menemani saya di bandara dulu,− ok baiklah, saya berangkat dulu. Bye Stevani− yes see ya.” Percakapan singkat itu sudah diakhiri oleh Naami lebih dulu mengingat dia harus segera cepat-cepat untuk sampai ke pusat perbelanjaan yang dia tuju. Naami menuju lantai dasar, sengaja melewati lobby untuk ke paskiran tempat mobilnya di parkirkan. Naami sampai di parkiran, membuka kunci mobilnya. Masuk ke dalam mobil dan duduk di jok bagian kemudi. Naami meletakkan tas tangannya di kusi samping dengan melemparkannya begitu saja. Dia siap untuk berangkat ke tempat tujuannya. Naami turun dari mobil setelah sampai di parkiran pusat perbelanjaan yang dia tuju. Masuk ke dalam gedung pusat perbelanjaan itu dengan langkah ringan dan riang. Dia sedang senang tapi tatapan wajah itu menunjukkan wibawa dan kelasnya. Itu ajaran si Abah karena jika dia tahu anaknya pecicilan dan urakan, dia akan marah pada Naami dan mengurung Naami lebih parahnya Naami diungsikan ke rumah Alongnya. Itu didikan yang mendarah daging pada Naami sejak dia kecil. Maka dari itu hidupnya penuh dengan prinsip karena keluarganya memang penuh dengan aturan yang mendalam. Lantai tiga pusat perbelanjaan. Langkah Naami berhenti tepat di depan sebuah tempat yang memiliki interior mewah penuh dengan kaca. “Permisi…, ada yang bisa kami bantu?” sapa penjaga bagian depan pintu tempat itu. “Saya Naami Aurora G. sudah menghubungi pihak DA untuk pemesanan,” ujar Naami. “Em baik, saya akan antar Miss ke dalam,” kata penjaga itu mempersilahkan Naami masuk ke dalam. “Naami Aurora G.” sebut penjaga itu pada bagian penjaga perhiasan. “Benar. Bisa saya lihat barangnya?” pinta Naami. Staff memberikan barang pesanan Naami mengeluarkannya dari etalase kaca dan meletakkannya di depan Naami. “Sesuai dengan pesanan, silahkan dilihat dulu, untuk ukuran bisa disesuaikan saat ini jika masih kurang pas,” kata staff itu. Naami mencoba cincin itu ke jari yang sama ukurannya dengan jari tangan Haxel yaitu ibu jarinya sama dengan ukuran jari manis Haxel. “Pas. Baik saya ambil sekarang dan langsung menyelesaikan pelunasan,” seru Naami sambil melepaskan kembali cincin yang dia pasang di ibu jarinya tadi dan meletakkannya di depan Staff. Naami menyelesaikan p********n dengan segera, setengah dari biaya total sudah dibayar olehnya saat pemesanan agar barang yang dia butuhkan langsung diproses oleh pihak DA tempat Naami memesan cincin untuk Haxel seharga 200 juta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN