¨ Pusat Perbelanjaan dan Bandara Soekarno Hatta
Transaksi Naami dengan toko perhiasaan dengan brand DA telah selesai, Naami keluar membawa bag dari DA dengan perasaan bahagia, karena dia akan memberikan kejutan itu pada Haxel saat Haxel nanti datang ke rumah orang tuanya yang ada di Palembang.
Pukul 10:22 menit waktu setempat. Naami sudah turun dari lantai tiga pusat perbelanjaan. Menuju tempat parkir karena dia akan beranjak ke airport.
Naami terkesan melangkah dengan cuek tidak terlalu perduli dengan sekitarnya.
Dia tidak membawa oleh-oleh untuk keluarganya? Tidak, itu tidak akan dibiarkan oleh Abah Imam. Si Abah akan marah pada Naami jika melakukan itu.
Naami tidak tahu alasannya tapi dia paham Abah tidak suka anaknya membawa banyak barang saat pulang. Sedangkan Naami suka-suka saja seperti itu, itu artinya tabungan hasil kerjanya tidak berkurang banyak hanya untuk oleh-oleh.
Bandara Internasional Soekarno Hatta. Naami menginjakkan kakinya di sana, tapi masih butuh 20 menit lagi menunggu keberangkatannya.
“Saya sudah sampai di bandara.− eh? Kamu juga sudah di sini?− oke, saya tunggu kamu,” ucap Naami pada orang yang dia hubungi melalui ponsel.
Naami menunggu tidak lama, hanya beberapa menit setelah dia sampai. Datang seorang perempuan dengan rambut dikuncir satu melangkah dengan percaya diri menghampiri Naami sesuai dengan lokasi yang sudah Naami beritahukan padanya.
Heels hitamnya mendarat tepat di depan Naami duduk menunggu.
Naami mendongak lalu menaikkan alisnya. “Cepat juga, kamu,” seru Naami.
“Tadi saya memang sudah di sekitar bandara saat Ibu menelpon saya lagi,” tutur wanita itu.
“Stevani, tolong kamu awasi sahabat saya yang menggantikan tugas saya di kantor,” perintah Naami.
Naami memiringkan kepalanya tanda di bingung dengan ucapan atasannya itu. “Sahabat? Ibu punya sahabat?” tanya Stevani dengan nada heran. Naami gemas dan membuat Naami ingin memukul kepala wanita yang merupakan orang Abahnya itu.
Iya, Stevani merupakan orang Abah Imam yang ikut bekerja di devisi Naami di perusahaan Haxel. Sebenarnya dia ditugaskan untuk menjaga Naami di Ibu Kota, tapi bukan Naami namanya kalau tidak bisa membuat dirinya lepas dari pengawasan, oleh karena itu dengan membuat Stevani sibuk dengan pekerjaannya maka dia bebas dari pengawasan.
“Kamu mengejek saya? Eum?” tukas Naami dengan gertakan dia marah pada Stevani.
“Maaf Bu, tapi selama ini saya melihat Ibu seperti tidak memiliki teman apalagi yang Ibu bilang tadi Ibu punya sahabat, begitu saja,” seru Stevani membuat Naami merasa miris terhadap dirinya sendiri.
“Kasihan sekali diriku, dibilang tidak punya teman,” desis Naami dalam hati. Naami mendelik tidak suka pada Stevani. “Saya punya sahabat, dia datang dari Amerika. Sahabat saya saat masih kuliah dulu yang akan menggantikan tugas saya selama cuti ini, jadi saya tugaskan kamu sebagai orang dalam devisi saya untuk mengawasi sahabat saya itu, paham?!” tukas Naami dengan mengeluarkan wewenangnya untuk memerintah pada Stevani.
Stevani, walaupun dia adalah orang bawahan Naami, tapi Naami tidak bisa memerintah dan mengatur Stevani seeanak dan semaunya. Bukan karena Stevani adalah orang suruhan Abahnya yang artinya bisa saja hanya sang Abah yang memiliki wewenang atas Stevani seutuhnya, tidak begitu. Naami pun memiliki wewenang untuk memerintah atau lebih tepat pada meminta bantuan Stevani. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, Stevani adalah orang yang sulit untuk dikendalikan. Stevani memiliki jiwa bar-bar yang sangat mengerikan. Dia bisa seenaknya sendiri, menurut pada apa yang dia percayai benar dan dia percayai salah, maka itu tetap pada proposinya tanpa diganggu gugat. Stevani bisa menjadi orang yang sangat jujur hingga dapat menyakiti perasaan orang lain, contohnya seperti tadi. Apa yang dia lihat selama ini maka itulah yang akan dia ucapkan sebagai kesaksian.
“Apa hanya mengawasi?” tanya Stevani pada Naami.
“Awasi dan laporkan pada saya lah!” perintah Naami.
“Saya tidak yakin anda memiliki seorang sahabat, Bu,” tukas Stevani mengalihkan perhatian Naami yang hendak memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas tangannya.
“Ha? Maksud kamu?” tanya Naami tidak mengerti dengan perkataan Stevani. Naami menatap Stevani lekat untuk mendapatkan jawaban, dia takut Stevani hanya berkata bualan yang membuat dirinya merasa bodoh jika berdebat dengan Stevani.
“Maksud saya, apa dia juga menganggap anda sebagai ‘sahabat?’ jika tidak? Yang artinya hanya anda yang menyebut hubungan kalian sebagai sahabat,” jelas Stevani santai, tapi mampu membuat Naami melotot dan berpikir ulang.
“Benar juga, apa dia juga menyebut hubungan kami sahabat? Ah tapi tadi bukannya dia menyebut aku dan Haxel sahabatnya?” desis Naami dalam hati.
Naami berdiri dari duduknya dan meraih ganggang koper miliknya. “Sudahlah, kamu lakukan saja yang saya perintahkan. Keberangkatan saya sudah diumumkan. Sampai jumpa Stev, hati-hati membawa mobil kesayanganku itu!” seru Naami sambil menyeret koper berukuran sedang berwarna putih miliknya.
“Ya, hati-hati di jalan dan selamat sampai pulang ke Palembang. Dan saya berharap anda tidak dimarahi oleh Tuan Besar, Nona,” ucap Stevani dengan suara pelan tidak akan terdengar oleh Naami yang sudah berjalan menjauh dari tempatnya semula.
Stevani tersenyum menatap punggung sempit Naami yang menjauh dari pandangannya. Kemudian dia berbalik memutar, pulang membawa mobil anak bos besarnya tadi. Merepotkan karena dia sendiri harus meninggalkan kendaraannya di kantor demi menjemput kendaraan anak bos besarnya. Lalu kemudian setelah memulangkan kendaraan anak bos besarnya tadi barulah dia akan kembali ke kantor untuk menjemput kendaraannya atau diam dulu di kantor untuk mengerjakan tugas di devisinya. Dia sendiri tadi harus ke bandara dengan mengendarai ojek online, ojek juga tapi taksi online lebih tepatnya.
Wajah datar dan tatapan tajam menelisik tempat parkir untuk menemukan benda besar yang dia cari, yang tidak lain adalah mobil milik anak bos besarnya.
“Ck! Meletakkan mobil di tempat yang sulit terlihat ternyata,” decak Stevani setelah menemukan mobil yang dia cari. Mobil berwarna silver merk BMW i8 yang katanya itu adalah hasil dari tabungan gajiannya selama bekerja di perusahaan Haxel, tapi Stevani tidak mempercayai sepenuhnya sebab harga mobil itu tidak main-main mahalnya. Harga mobil itu mencapai 3 setengah miliar rupiah, sedangkan gaji yang didapatkan dari perusahaan Haxel tidaklah fantastis untuk setiap bulannya. Lalu dari mana Naami dapat mengumpulkan harga sebesar itu selama lebih kurang dua tahun, sedangkan untuk tempat tinggal saja Naami masih dibayarkan oleh Bos Besarnya.
Bahkan kendaraan mahal ini sudah dimodifikasi oleh Naami sendiri, yaitu penambahan lampu lazer light dan tentu saja juga menambah biaya yang cukup besar hanya untuk penambahan teknologi lampu itu pada mobil kesayangannya ini.
Stevani mengendarai mobil itu menuju gedung apartment tempatnya tinggal, kenapa tidak membawanya ke gedung apartment milik anak Bosnya itu? tentu tidak, karena dia sudah dititipkan maka dia harus menjaganya sampai Naami pulang kembali ke Ibu Kota.
Kembali ke kantor Haxel. Setelah kepergian Naami dari kantor direktur atau tempat Haxel bekerja.
Auliana tersenyum menatap Haxel yang tidak jadi pergi mengikuti Calon Istrinya atau lebih tepatnya tidak jadi mengantar Calon Istrinya tadi pergi ke bandara.
Auliana berdiri dari duduknya di sopa kantor Haxel, kemudian dia melangkahkan kakinya mendekati Haxel yang sudah kembali ke meja kerjanya.
“Jangan sedih dan terlihat merana seperti itu, Sayang…,” seru Auliana.
Haxel mengalihkan perhatiannya dan menatap Auliana. “Aku tidak merana jika kamu masih di sini bersamaku,” balas Haxel.
Kemudian wajah mereka saling mendekat untuk saling menautkan bibir mereka di dalam sebuah ciuman penuh nafsu.