¨ Bandara Internasional Sultan Mahmud Badarudin II
Naami sudah menginjakkan kakinya di Palembang, tepatnya masih di bandara. Dia menunggu jemputannya datang, kenapa begitu? Seharusnya dia sudah di tunggu jadi saat dia sampai dia tinggal langsung berangkat pulang ke istana Said Imam atau Abah Imam. Tidak semudah itu untuk anak yang suka membangkang seperti Naami. Buktinya saat ini, inilah bentuk dari ketidak pedulian keluarga Naami sebenarnya. Mengerikan tapi mereka saling menyayangi. Keluarga Naami adalah keluarga sibuk, jadi tidak heran kadang kepulangan yang sudah direncanakan sekalipun terabaikan karena terlupakan.
“Assalaamualaikum…! Abahku tercinta, wahai Sultan Said Imam!” salam Naami penuh penekanan. Saat ini kembali lagi dia menunggu di kursi tunggu bandara, jika tadi menunggu orang yang akan membawa mobilnya pulang. Kali ini berbeda, dia menunggu orang yang akan membawanya pulang.
“Hmm waalaikumsalam…, sudah sampai?” tanya suara berat milik Abah Imam setelah menjawab salam putrinya.
“Sudah lah… Abah…! Kenapa tidak ada satu pun jemputan di sini?” tanya Naami setelah menjawab dengan kegemasan dan perasaan kesalnya, tapi dia tetap sabar, Abahnya memang begitu.
“Pulang sendirilah. Masa jalan pulang ke rumah sendiri lupa,” ujar sang Abah dari dalam telpon.
“Huh?! astaghfirulah… tau disuruh pulang sendiri dari tadi Nam sudah berangkat,” jawab Naami dengan nada kesal. “Ya sudah Naami tutup, mau keluar mencari taksi. Jangan risau kalau Nam lambat sampai di rumah,” ujar Naami dengan penuh peringatan.
“Sudah tunggu saja di sana, sebentar lagi sopir datang,” tukas si Abah.
Kemudian panggilan ditutup sang Abah secara sepihak. Naami menatap layar ponselnya dengan pandangan nanar. Abah galaknya itu sungguh menyebalkan, itu pikiran Naami.
Tapi bukan Naami namanya kalau tidak memberontak. Jika saat ini pikiran orang dia akan menunggu sampai jemputannya datang. Maka salah besar, Naami mengikuti apa yang dia katakan sebelumnya pada sang Abah, yaitu pulang sendiri dengan taksi tapi dia akan pulang terlambat sampai ke rumah.
Naami berjalan dengan langkah percaya diri keluar dari bandara. Di lobi, pandangannya meliar mencari taksi yang biasa ada saja menunggu di depan lobi bandara.
“Gotta! Mari kita pulang…,” seru Naami setelah pandangannya tertuju pada satu mobil dengan leber taksi di atasnya.
Langkah pasti dan berani membawanya keluar dari bandara.
Naami melihat ke arah sopir taksi.
“Pak bisa mengantar saya ke Cluster Orchard, Citra Grand City,” seru Naami pada sang Sopir Taski.
“Bisa, mari naik,” sahut sang Sopir.
Naami masuk ke dalam mobil. Taksi meluncur ke tempat tujuan yang sudah disebutkan oleh Naami tadi.
Setelah beberapa menit di perjalanan, akhirnya Naami sampai tepat di depan gerbang rumahnya. Dia turun dari taksi setelah membayar. Perjuangannya belum selesai dia harus menyayunkan kakinya lagi masuk untuk sampai ke rumah. Kediaman ini sudah di modifikasi membuat halaman lebih luar karena memang tanah di kompleks perumahan ini cukup luas untuk setiap bidang tanah yang dimiliki oleh pemiliknya.
Penjaga pintu gerbang melihat Naami langsung membukakan pintu dan mengambil alih koper berukurang sedang yang tadi diseret oleh Naami keluar dari bagasi taksi sampai ke depan gerbang.
“Pak, di rumah tidak ada orang?” tanya Naami sambil melangkahkan kaki di ikuti oleh penjaga rumah.
“Jam segini memang tidak ada Mbak, paling cuma bibi yang ada di dalam mengurus rumah,” kata penjaga itu.
“Oh… pantas tidak ada yang jemput aku di bendara,” tukas Naami. “Oh ya, nanti kalau ada yang pulang terus nanya aku sudah pulang atau belum, jangan bilang aku sudah sampai. Nanti aku mau keluar dulu,” seru Naami.
Penjaga menganggukkan kepalanya. “Baik Mbak,” sahut Penjaga.
Setelah membawa koper kembali ke kamar pribadinya, Naami berganti pakaian kemudian menyembunyikan kopernya. Lalu dia keluar dari rumah setelah memesan taksi online untuk membawanya pergi.
Naami pulang hanya untuk mengantar koper lalu dia pergi lagi, dia sengaja karena dia ingin membuat Abahnya marah lagi padanya. Begitulah mereka, saling balas membalas mengerjai satu sama lain. Dia sangat yakin Abahnya akan kesal padanya karena sopir yang dia utus untuk menjemputnya pulang malah tidak menemukan dirinya, dia akan disibukkan dengan telpon dari sopir yang dia utus sendiri lalu saat dia pulang dia malah tidak mendapati Naami di rumah.
Benar saja, di kantor Abah Imam sedang sibuk dengan berkas perusahaannya. Tapi ponselnya terus bordering menandakan ada panggilan masuk yang tidak henti-hentinya mengganggunya.
Abah berdecak kesal karena ponsel yang terus menerus berdering itu, “ck! Ini pasti anak nakal itu lagi, aku menyesal menyuruhnya pulang lebih awal!”
Nampak sekali kekesalan Abah yang tengah disibuk dan konsentrasi pada pekerjaannya di ganggu dengan dering ponselnya sendiri.
“Ta!” panggil Abah pada sekretarisnya.
Sekretaris itu bangkit dari tempat duduknya dan mendatangi meja bos besarnya.
“Ya Pak?”
“Kamu klarifikasikan lagi data ini! Ini masih ada beberapa yang seharusnya tidak masuk ke dalam dokumen laporan kebun! Ini milik masyarakat pekerja jangan diganggu gugat, itu sudah menjadi hak mereka! Keluarkan dari laporan pendapatan perusahaan!” perintah Abah dengan tegas pada sekretarisnya itu.
Sekretaris Abah sudah merasa lusuh karena emosi bos besarnya hari itu agak berantakan dari awal masuk pagi tadi sampai saat ini yang sudah lewat jam makan siang.
“Baik, Pak,” sahut sang Sekretaris bernama Tata itu. “Maaf,” serunya mengambil berkas yang tersusun di depan bos besarnya itu.
“Hallo! Apa!?− kemana lagi anak itu!” geram Abah Imam membuat Tata terkejut mendengar suara keras itu berbicara dengan seseorang di dalam telponnya.
Tata secepat mungkin menyingkir dari kawasan meja bos besarnya itu, dia takut mendengar suara keras bos besarnya itu, dia mudah terkejut ditambah sering terkejut karena suara bos besarnya itu yang selalu meninggi. Dia ingin resign tapi tidak bisa, gaji yang dia terima cukup besar dari pada dia bekerja di perusahaan lain, mau tak mau dia harus bersabar untuk pendengarannya serta jantungnya yang mudah sekali terkejut.
“Cari dulu yang benar!”
Suara itu lagi, Tata sampai mengelus dadanya agar debaran jantungnya sedikit tenang.
“Sabar…,” gumamnya.
Kemudian dia kembali memfokuskan diri pada berkas yang tadi dia ambil dari bos besarnya sambil sekali-sekali masih mendengar suara keras dari meja yang cukup jauh dari tempatnya.
Dia kembali menelisik, benar saja. Pantas untuk bos besarnya itu marah dan moodnya semakin memburuk. Ada pengalihan dana yang sepertinya tidak diketahui oleh bos besarnya itu tapi bos besarnya itu masih bisa mendeteksi kesalahan di dalam laporan itu.
Ini tugasnya, dia harus ke bawah untuk membenarkan ini semua sebelum yang turun tangan adalah bos besarnya maka tentu saja, tidak akan sehat untuk telinga dan jantungnya.
“Kenapalah… hobi nian membuat masalah dengan laporan. Mereka kira Pak Imam tak tau kalau ini ada selisih banyak di sini, ck!” decaknya tidak suka, dia bisa mengusut ini dan berakhir menemukan kecurangan penggelapan dana perusahaan jika benar dugaannya.
“Kalian bisa dibunuh jika ini benar,” gumam Tata, kemudian dia membuat data laporan yang benar lalu mencetaknya.