Bab 5. Jangan Berharap Lebih

1021 Kata
Ayunda seketika menggigit bibir bawahnya keras. Mengapa Alan tega mengatakan hal yang begitu menyakitkan di malam pertama mereka? Tak perlu diucapkan pun, ia sudah tahu bahwa pernikahan mereka dilaksanakan dengan sangat terpaksa tanpa adanya rasa cinta. Namun, tidak bisakah suaminya ini menjaga perasaannya sedikit saja? Walau bagaimanapun, sudah banyak yang ia lalui selama tiga bulan ini. Ia terpaksa rela mengubur cita-citanya sebagai Dokter dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Ayu bahkan berhenti kuliah karena sudah tidak memiliki rasa percaya diri. Ayunda mengusap kedua matanya yang tiba-tiba saja berair. "Tak usah nangis di depan saya, meskipun kamu meneteskan air mata darah sekalipun, saya tak akan tersentuh. Gara-gara kamu saya kehilangan segalanya," ketus Alan seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Aku minta maaf, Om," ujar Ayunda dengan kepala menunduk. "Tak perlu minta maaf segala, emangnya dengan kamu minta maaf, saya bisa mendapatkan semua harta saya lagi?" tanya Alan menatap wajah istrinya tajam. "Tidak, Ayunda. Tidak! Jadi, berhentilah bersikap seperti itu dan jangan berharap lebih dari saya. Paham?" Ayu menganggukkan kepala bersama buliran bening yang mulai deras membasahi kedua sisi wajahnya. Rasanya pedih, amat pedih, tapi tidak ada yang dapat ia lakukan selain mengikuti apa yang diucapkan oleh suaminya. Ia tidak akan berharap apapun, dirinya pun tak akan bermimpi untuk dicintai oleh suaminya sendiri. Namun, Ayunda Prameswari akan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri meskipun tidak mendapatkan timbal balik yang sama dari suaminya. "Saya pergi dulu, gak usah nungguin saya. Kamu tidur aja duluan," sahut Alan dan hanya dijawab dengan anggukan oleh istrinya. *** Keesokan harinya tepat pukul 07.00, Ayunda mengedipkan pelupuk matanya pelan dan lemah seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Seluruh tubuhnya terasa pegal, padahal tidak ada yang ia lakukan semalam. Wanita itu pun membuka mulutnya lebar-lebar sebelum akhirnya menarik pelupuk matanya yang semula terpejam. "Jam berapa ini? Apa Mas Alan gak pulang?" gumam Ayu seraya menatap jam dinding yang tertempel di sudut ruang kamar. Wanita itu pun bangkit lalu turun dari atas ranjang kemudian berjalan ke arah pintu dan keluar dari dalam kamar. Aroma alkohol seketika menguar begitu menyengat hidung saat kakinya melangkah keluar. Ayu menutup hidungnya sendiri seraya menatap sekeliling. Alan nampak tertidur di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. "Apa Om Alan mabuk-mabukan lagi?" gumam Ayu berjalan mendekat, seiringan dengan itu aroma alkohol yang berasal dari tubuh suaminya semakin kuat tercium. "Mas, bangun, Mas Alan. Tidurnya pindah ke kamar, leher Mas bisa pegal kalau tidur sambil duduk kayak gini," pinta Ayu seraya menyentuh bahu suaminya pelan. "Mas masih ngantuk, Sayang. Hari ini Mas gak ngantor," jawab Alan dengan kedua mata terpejam. "Sayang? Sejak kapan Mas Alan manggil aku dengan sebutan sayang?" gumam Ayu seketika mengerutkan kening. Kedua mata Alan mulai berkedip pelan sebelum akhirnya terbuka lebar. Pria itu pun mendengus kesal saat melihat istrinya berjongkok tepat di hadapannya. Ayu segera berdiri tegak karena tidak nyaman dengan bau yang berasal dari tubuh suaminya. "Tidurnya pindah ke kamar, Mas. Tubuh kamu bisa pegal-pegal kalau kamu tidur sambil duduk kayak gini," pinta Ayunda dengan wajah datar. "Akh! Kepala saya pusing banget, berapa banyak saya minum semalam?" gumam Alan seketika bangkit lalu duduk tegak seraya memijit pelipis wajahnya yang terasa pusing. "Tak bisakah kamu mengurangi kebiasaan minum kamu, Mas? Keadaan ekonomi kita belum stabil, dari pada uang itu dipake buat beli minuman, mendingan dipake buat beli beras. Kita belum ada beras buat dimasak." "Jangan cerewet kamu, Ayunda. Andai aja saya gak kehilangan harta saya, tak mungkin saya jatuh miskin," tegur Alan dengan kedua mata membulat. "Bukannya kemarin kamu mau cari kerja, Mas? Gimana, udah dapet?" "Belum, cari kerjaan jaman sekarang itu susah. Apalagi saya udah gak muda lagi," jawab Alan dingin. "Udah jangan banyak nanya, bikinin saya teh manis. Saya haus." "Tak ada apapun di rumah ini, Mas. Beras, gula, teh juga gak ada. Kayaknya kamu lupa belanja bulanan deh." Alan seketika memejamkan kedua matanya. Semiskin itu dia sekarang hingga beras saja ia tak punya. Bahkan gula dan teh yang harganya tidak seberapa pun sudah tidak tersedia. Dahulu, ia hidup dengan bergelimang harta sebelum akhirnya jatuh dan harta yang ia miliki berpindah tangan kepada mantan istrinya. "Akh, sial! Miskin banget hidup saya sampai beras saja saya gak punya," decak Alan kesal. "Apa kamu mau aku minta bantuan sama Ayahku, Mas? Beliau pasti mau bantu kita, siapa tau juga dia bisa kasih kamu pekerjaan." "Kamu nyuruh saya ngemis sama Ayah kamu itu, hah?" "Bukan ngemis, Mas, tapi minta bantuan. Perusahaan Ayahku lumayan besar, siapa tau ada lowongan kerja di sana." "Nggak, saya gak mau!" Ayunda seketika menghela napas panjang tanpa menimpali ucapan suaminya hingga suara ketukan di pintu akhirnya terdengar. Baik Alan maupun Ayunda sontak menoleh ke arah pintu dengan kening yang dikerutkan. "Ada tamu, kamu aja yang buka. Saya mau tidur lagi," pinta Alan seraya berdiri tegak lalu berjalan memasuki kamar. Sementara Ayunda segera berjalan ke arah pintu lalu membukanya kemudian. "Ayah?" sapa Ayu dengan kedua mata membulat saat melihat sosok sang ayah berdiri tepat di depan pintu. Pria paruh baya itu menatap sayu wajah putrinya sebelum akhirnya merentangkan kedua tangannya kemudian memeluk tubuh Ayunda. "Kamu apa kabar, Nak? Ayah sengaja datang ke sini, Ayah pengen tau seperti apa rumah baru kamu." Ayu seketika mengurai pelukan sedikit gelagapan. Ia tak mungkin mempersilahkan sang ayah masuk sementara di dalam rumahnya masih tercium bau alkohol. Wanita itu menggaruk kepalanya sendiri seraya tersenyum cengengesan. "Rumahku masih berantakan, Yah. Aku belum sempat bebenah, kita ngobrol di luar aja, ya," ujar Ayu merasa tidak enak. "Tak masalah, kita ngobrol di luar aja kalau begitu," jawab Ahmad Dahlan seraya tersenyum kecil. Keduanya duduk di kursi yang berada di teras rumah. Dahlan menatap lekat wajah putrinya, bola mata sang putri nampak memerah, sisa air mata bahkan masih tersisa di sudut matanya. "Kamu baik-baik aja?" tanya Dahlan seraya mengusap punggung tangan putrinya. "Yah, eu ... boleh aku minta tolong sama Ayah?" "Tentu saja boleh, Ayunda," jawab Dahlan. "Katakan, kamu mau minta tolong apa?" "Mas Alan lagi cari kerjaan, katanya susah cari pekerjaan di jaman sekarang. Bisakah Ayah berikan dia kerjaan?" "Suamimu gak punya kerjaan?" tanya Dahlan dengan kedua mata membulat. "Kerjaan aja gak punya, berani-beraninya dia nikahi kamu? Astaga! Laki-laki macam apa itu? Di mana dia sekarang, Ayah pengen ketemu sama dia!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN