Bab 6. Hidup Miskin

1102 Kata
"Suamiku masih tidur, Yah," jawab Ayunda seketika menundukkan kepala. "Apa? Suami kamu masih tidur? Jam segini?" Dahlan seketika membulatkan bola matanya. "Astaga! Suami macam apa itu?" Ayu hanya bergeming seraya memainkan ujung kuku jari jempolnya sendiri. Ia menyesalkan mengapa sang ayah datang mengunjungi kediamannya di waktu yang kurang tepat. Keadaan perekonomian mereka belum stabil. Mereka tidak memiliki stok makanan, bahkan sebutir beras pun mereka tidak punya. Dahlan tiba-tiba saja berdiri tegak lalu menerobos masuk ke dalam rumah seraya menyerukan nama menantunya. "Alan! Bangun kau! Suami macam apa yang masih tidur hari gini!" Ayunda sontak melakukan hal yang sama seperti sang ayah. Ia segera menyusul Dahlan dan memintanya untuk tenang. "Ayah tenang dulu, Yah. Jangan marah-marah kayak gini," pinta Ayu seraya menahan air matanya agar tidak tumpah. "Tenang! Kamu minta Ayah buat tenang?" bentak Dahlan penuh emosi. "Ayah harus diem aja gitu ngeliat kamu sengsara kayak gini? Padahal baru sehari lho kalian menikah!" Dahlan tiba-tiba saja mendengus-kan hidungnya. Aroma menyengat mulai tercium. Amarahnya pun semakin memuncak, siapa yang tidak mengenali bau alkohol. Sebagai seorang laki-laki, ia pun pernah mencicipi minuman yang memabukkan tersebut. "Dasar b******k!" umpat Dahlan berjalan ke arah kamar lalu membuka pintunya kasar. Alan yang tengah terlelap seketika membuka kedua matanya seraya mengumpat kasar, "Dasar istri tak tau di--" pria itu seketika menahan ucapannya saat mendapati ayah mertuanya menerobos masuk seraya menatap wajahnya tajam. "b******k kau, Alan. Istrimu kelaparan kau malah enak-enakan tidur?" bentak Dahlan seketika meraih kerah pakaian yang dikenakan oleh menantunya. Pria paruh baya itu bahkan menghempaskan tubuh sang menantu kasar hingga tubuh Alan seketika mendarat di atas lantai. "Haa! Ayah, apa yang Ayah lakukan?" teriak Ayu berlari menghampiri suaminya. "Aku mohon tenang dulu, Yah. Mas Alan gak salah, aku yang salah. Gara-gara aku, Mas Alan kehilangan segalanya." "Ayah gak mau tau, tugas seorang suami itu menafkahi istrinya, bukan mabuk-mabukkan terus tidur seharian!" teriak Burhan seraya menunjuk wajah Alan. Alan mendengus kesal dengan kepala menunduk. "Benar apa kata putri Ayah ini, saya kehilangan seluruh harta yang saya miliki gara-gara dia," ujarnya lemah. "Andai saja dia gak datang ke rumah saya malam itu, mungkin kami tak perlu--" "Cukup, Ayah gak mau mendengar penjelasan kamu, Alan," sela Dahlan, bahkan sebelum sang menantu menyelesaikan apa yang hendak ia sampaikan. "Aku mohon tenang dulu, Yah. Jangan marah-marah kayak gini," pinta Ayu seraya terisak, berjongkok tepat di samping suaminya. Ahmad Dahlan seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan mencoba untuk menekan emosinya dalam-dalam. Pria itu pun memalingkan wajahnya ke arah lain, melihat wajah menantunya hanya membuatnya semakin merasa murka. Bagaimana bisa putri semata wayangnya itu menikahi laki-laki pengangguran? Dahlan benar-benar menyayangkan hal tersebut. "Selama tiga bulan ini, saya udah coba cari kerjaan ke mana-mana, Yah, tapi tak mudah mencari perkejaan di jaman sekarang ini. Apalagi usia saya udah hampir kepala empat," sahut Alan seraya mengangkat kepalanya memberanikan diri menatap wajah sang ayah. "Saya tau tugas seorang suami adalah menafkahi istrinya, tapi saya harus menafkahi putri Ayah pake apa?" Dahlan menatap lekat wajah Alan Damian hanya untuk menyelami relung hatinya dan memastikan apakah pria itu benar-benar tulus. Sementara Alan sontak menundukkan kepala merasa ketakutan. "Datang ke kantor Ayah besok pagi, kebetulan posisi manager di kantor Ayah lagi kosong," sahut Dahlan lalu berbalik dan hendak meninggalkan kamar. Namun, pria paruh baya itu seketika menahan langkah kakinya. "Ada yang mau Ayah katakan sama kamu, Ayu. Ayah tunggu kamu di luar." Ayu menganggukkan kepala lalu bangkit dan mengikuti ayahnya. Sementara Alan, pria itu masih bergeming di tempatnya seraya meratapi nasib buruknya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa hidupnya akan semenderita ini. Telapak tangan pria itu seketika bergerak mengusap kedua matanya yang mulai dipenuhi air mata. Andai saja ia tidak bertemu dengan wanita bernama Ayunda, mungkin dirinya tidak perlu melewati hari-hari yang begitu menyakitkan ini. "Gara-gara kamu, Ayunda. Gara-gara kamu saya jatuh miskin kayak gini," gumam Alan menetap kepergian sang istri penuh rasa dendam. *** Malam hari tepat pukul 19.00, Alan baru saja terjaga dari tidur panjangnya. Seharian ini ia benar-benar menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan di tempat tidur. Pria itu bahkan masih mengenakan pakaian yang sama. Alan perlahan mulai bangkit lalu duduk tegak di atas ranjang. Ia pun mengedarkan pandangan matanya menatap sekeliling sebelum akhirnya turun dan berjalan ke arah pintu. "Kamu udah bangun, Mas?" tanya Ayu, membuka pintu kamar sesaat sebelum suaminya hendak melakukan hal yang sama. "Hmm!" Alan hanya menjawab dengan gumaman seraya berjalan melintasi istrinya begitu saja. "Kamu pasti lapar, 'kan? Aku udah masakin kamu makan malam, Mas." Alan sontak menghentikan langkahnya lalu menatap wajah sang istri. "Masak? Emangnya kamu punya uang?" "Tadi Ayah kasih aku uang, Mas. Katanya buat pegangan sebelum kamu gajian," jawab Ayu berdiri tepat di depan suaminya. "Gajian? Emangnya saya kerja, apa?" tanya Alan lalu kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. "Apa kamu lupa kalau saya ini cuma pengangguran?" "Emangnya kamu gak denger apa yang Ayah katakan tadi, Mas?" tanya Ayu mengikut suaminya. "Ayah minta kamu datang ke kantornya besok pagi, Mas. Ayah mau kasih kamu pekerjaan." "Saya gak mau." "Lho, kenapa, Mas? Katamu cari pekerjaan itu susah. Kebetulan posisi manager di kantornya Ayah lagi kosong, kamu bisa langsung kerja di sana tanpa di interview dulu karena Ayah sendiri yang merekomendasikan kamu." Alan tidak menanggapi ucapan istrinya. Pria itu berjalan ke arah ruang makan seraya mengusap perutnya sendiri yang mulai terasa lapar. Ia segera membuka tudung saji di atas meja, beberapa lauk pauk pun tersaji di atas sana meskipun hanya lauk sederhana. "Maaf hanya ini yang bisa aku masak, Mas. Kita harus ngirit sampe kamu benar-benar dapet kerja," ujar Ayunda saat melihat raut kecewa yang terlihat jelas dari wajah suaminya. Alan memejamkan kedua matanya sejenak lalu kembali menatap makanan rumahan yang berada di atas meja. Pria itu duduk di kursi makan merasa tidak punya pilihan selain mengobati rasa lapar di perutnya, meski sebenarnya ia tidak pernah memakan makanan biasa seperti, sayur asam, tempe, lengkap dengan ayam goreng, juga sambal terasi yang kini tersaji di depan matanya. "Aku tuangkan nasinya ya, Mas," ucap Ayunda seraya tersenyum lebar. Wanita itu mulai mengisi piring kosong yang berada tepat di hadapan suaminya. Nasi berikut lauknya kini memenuhi piring dan siap untuk disantap. "Semoga rasanya sesuai dengan harapan kamu ya, Mas," ucap Ayunda duduk di kursi dengan wajah ceria. Alan mulai mengaduk nasi lalu menyuapkan suapan pertamanya. Mulutnya pun mulai mengunyah pelan merasakan betapa nikmatnya masakan Ayunda. "Gimana, enak?" tanya Ayu menatap lekat wajah Alan Damian. "Sial, kenapa rasanya enak banget? Padahal cuma masakan kampung," batin Alan seraya memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan. "Kenapa kamu diem aja, Mas? Masakan aku enak, nggak?" "Gak, gak enak sama sekali. Saya terpaksa makan karena perut saya lapar," jawab Alan dingin seraya memasukan suapan kedua ke dalam mulutnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN