Part 4- Liburan

1468 Kata
Pagi-pagi sekali ketika cuaca sudah cerah kembali, Sani dan Albian sudah bersiap untuk berangkat ke Bandung. Untunglah Albian punya beberapa baju ganti di rumah Sani jadi tidak harus pulang dulu dan mengambil pakaiannya. Sehingga mereka bisa berangkat lebih pagi dan menghindari kemacetan. Udara ibukota masih terasa sangat sejuk bekas hujan semalam, pun dengan kehangatan yang mereka rasakan satu sama lain seakan masih terasa dengan jelas. Sani sampai tak berani menatap wajah Albian karena malu. Untuk pertama kalinya ada pria yang melihat tubuh polosnya. Meski baru pertama kali, Sani pikir Albian sudah sangat ahli. Apa memang setiap pria seperti itu? Karena setahu Sani, hampir semua pria pernah melihat ‘blue film’ dan jelas pasti tahu berbagai gaya gerakannya. Wajah Sani mendadak memerah karena memikirkan kejadian semalam. “Kamu nggak apa-apa, San?” tanya Albian yang melihat gerak gerik kekasihnya cukup aneh. “Eh, nggak apa-apa kok, Bi. Kamu udah ijin orangtua kamu kalo mau pergi hari ini?” tanya Sani yang berusaha mengalihkan pembicaraan. Albian mengangguk. “Udah kok. Mereka malah senang tahu aku mau liburan sebelum ke Singapore. Katanya puas-puasin selagi masih di sini.” “Tapi mereka nggak tahu kamu pergi sama aku, kan?” tanya Sani yang terlihat kecewa. Selama dua tahun hubungan mereka, memang Albian belum pernah mengenalkannya pada kedua orangtuanya. Karena kata Albian, orangtuanya sangat mengutamakan pendidikan dibanding asmara anak-anak mereka. Jadi kalo bisa, Albian harus lulus kuliah dulu dan mendapat pekerjaan baru boleh membawa gadisnya ke rumah untuk diperkenalkan. Jadi selama ini Sani tidak pernah ke rumah Albian atau bertemu kedua orangtuanya. Albian menghela nafas. “Maaf, San. Kamu tahu bagaimana kerasnya keluargaku. Aku nggak mau sampai hubungan kita terganggu atau mereka nggak suka sama kamu karena aku malah pacaran, padahal masih kuliah.” “Iya sih.” Sani akhirnya pasrah. Meski ia sendiri ragu jika menemui kedua orangtua Albian, apa mereka akan menerima kehadirannya jika tahu segala masa lalunya termasuk ia yang seorang yatim piatu? “Udah jangan terlalu dipikirin. Dua tahun lagi kita lulus kok. Aku akan segera bekerja di perusahaan ayahku lalu mengenalkan kamu pada orangtuaku. Ya?” Albian berusaha menghangatkan kembali suasana. “Iya deh.” ……………… Pria berkepala botak di bagian depan itu terlihat serius dengan koran di tangannya. Sesekali satu tangannya mengambil cangkir yang berisi kopi hitam dan menyesapnya perlahan seakan begitu menikmatinya. Suara kicauan burung menemani santai paginya sebelum memulai aktifitasnya kembali. Diliriknya pria berambut cokelat gelap yang baru turun dari mobil CRV hitamnya. Satu-satunya anak yang ia miliki dari almarhumah Lauren, mendiang istrinya yang meninggal sembilan tahun silam. Tepat saat anaknya itu akan wisuda. Sejak saat itu anaknya menjadi lebih pendiam dan malah memilih untuk membuat usaha lain yang bekerja sama dengan salah satu Om terdekatnya, Joshua. “Kamu baru pulang?” tanya pria tua yang umurnya hampir genap enam puluh tahun itu. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. “Ya, seperti biasa.” Pria itu duduk di samping ayahnya dan melepas sepatunya lalu meletakkan di rak sepatu yang tersedia. “Ayah belum berangkat?” “Sebentar lagi. Ada yang mau ayah bicarakan padamu,” ucap Santoso sembari melipat koran di tangannya dan meletakkannya di atas meja. “Soal apa?” tanya Steve yang terlihat tidak terlalu peduli. “Soal omongan ayah tempo hari, yang ingin kamu menggantikan ayah menjadi dosen,” ucap Santoso dengan wajah serius. Ia sangat menyayangkan gelar magister manajemen yang disandang oleh Steve disia-siakan begitu saja. Anaknya malah sibuk mengurus club malam yang dipercayakan oleh Joshua padanya. Padahal anaknya bisa saja menjadi dosen sepertinya dan juga mendiang ibunya dulu. Steve berdecak. Ia sangat tidak suka jika disuruh menjadi dosen dan berinteraksi dengan banyak orang, apalagi orang-orang itu kebanyakan jauh lebih muda darinya. Hanya membuatnya ingat dengan mantan istrinya saja yang menyebalkan. “Kenapa sih, Yah? Kalo pensiun ya pensiun aja. Nggak perlu cari pengganti.” Santoso menaikkan kacamatanya sedikit. “Nggak bisa gitu dong, Steve. Kamu tahu kalo ayah adalah dosen terpercaya di mata kuliah itu, jelas ayah harus cari pengganti. Apalagi ayah akan pensiun setelah UTS. Bagaimana mahasiswa-mahasiswa ayah bisa belajar kalo dosennya beda? Setiap dosen kan cara mengajarnya berbeda, nanti malah terjadi kesalahpahaman. Ayah tahu caramu dan cara ayah sama, ingat kan kamu pernah magang beberapa bulan di kampus lain?” “Ya, iya sih. Tapi Steve udah nggak minat buat jadi dosen, Yah.” “Dan betah dengan pekerjaan malam kamu itu? Gimana mau dapet istri yang baik kalo mainnya aja di club malam terus. Cari tuh yang berpendidikan biar nggak gagal lagi,” ucap Santoso dengan nada pedas. “Ayah nggak lupa kan kalo Friska itu mahasiswi kesayangan ayah yang dijodohkan ke aku?” Steve memicingkan  matanya, mengingat kedekatannya dengan Friska dulu adalah atas saran ayahnya sendiri. Santoso dulu bilang jika Friska adalah gadis yang pintar, sopan dan baik. Terlebih dia mahasiswi terpelajar dengan IPK yang selalu sempurna. “Dan lihat… saking berpendidikannya, dia sampai nggak mau patuh sama suami dan lebih memilih karirnya. Bahkan dia mengabaikan anaknya sendiri.” Nafas Steve terdengar memburu, seakan menyesali kenapa dulu ia mau saja dijodohkan dengan Friska meski gadis itu memang cantik dan sesuai seleranya. Santoso menghela nafas. “Soal itu ayah minta maaf. Ayah salah.” Ia tampak menyesal. “Sekarang soal istri, terserah kamu deh. Ayah nggak akan ikut campur. Tapi tolong, sekali saja ayah minta padamu untuk menggantikan ayah. Nggak terlalu padat kok, kamu tetap bisa mengurus club malammu itu.” Ia agak memelas sekarang agar anaknya mau memenuhi keinginannya. Steve menghela nafas berat. Jika ia tidak mengabulkan permintaan ayahnya, pasti ayahnya nanti akan lebih banyak diam dan juga terlihat stress. Jelas Steve tak suka jika ayahnya bersikap seperti itu, layaknya anak kecil yang belum dipenuhi keinginannya. Memang benar, semakin bertambah umurnya orangtua kita, maka semakin kekanakan juga sikap mereka. Terbukti, ayahnya sendiri bersikap seperti itu sekarang. “Baiklah. Tapi aku nggak janji akan menggantikan ayah terus-terusan loh.” “Iya nggak apa-apa. Asal jangan langsung resign. Setidaknya dicoba dulu. Jika memang tidak bisa bertahan sama sekali, baru kamu boleh menyerah.” Steve hanya diam. Ia lalu beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumahnya. Sebenarnya ia bisa saja langsung ke apartemen dan jarang ke rumahnya ini, dan memang seharusnya ia ke apartemen saja tadi demi menghindari bertemu dengan ayahnya, terutama ia juga tidak harus mengabulkan permintaan ayahnya. Tapi karena ia sangat lelah setelah begadang semalaman dengan segala pekerjaannya, ia jadi memilih pulang ke rumah karena lebih dekat. Walau akhirnya ia harus mendengar permintaan ayahnya yang tak bisa ia tolak. Karena sejak kepergian ibunya, ia hanya memiliki ayahnya. Jelas Steve sangat menyayangi satu-satunya orangtua yang ia miliki itu. Banyak hal yang membuat Steve ingin selalu membahagiakan sang ayah. Ia sangat ingat bagaimana tangisan sang ayah ketika wisuda S1 dan S2-nya dulu yang tidak didampingi oleh ibunya. Ayah terlihat begitu bangga dan sedih yang menjadi satu. Di satu sisi, ayahnya bangga karena anaknya mencapai gelar yang dia inginkan. Di sisi lain, dia tidak bisa merasakan kebahagiaan itu dengan sempurna tanpa kehadiran sang ibu. Meski terkadang keinginan ayahnya tak sejalan dengan keinginan Steve dan seringkali membuat Steve menderita, seperti pernikahannya yang gagal… tapi Steve tidak pernah kapok menuruti permintaan ayahnya. Baginya, keinginan sang ayah pasti bisa membahagiakan ayahnya dan mungkin suatu saat keinginan itu juga yang membawakan kebahagiaan baru untuknya. Meski sampai saat ini Steve belum menemukan kebahagiaannya selain dari Fey, anaknya. …………… “Seru banget!” Sani bersorak girang sembari mengangkat segelas s**u yang ia dapatkan dari menukar tiket masuk Farm House Lembang. Ia memilih rasa vanilla sebagai rasa favoritnya. Apapun yang berbau Vanila, Sani sangat menyukainya. Albian tersenyum lebar di sampingnya lalu menarik Sani mendekat ke arahnya dan mengambil foto mereka bersama menggunakan ponsel di tangannya. “Mau kamu up di stagram?” tanya Sani dengan senyum lebarnya. Namun senyumannya perlahan memudar ketika melihat Albian menggelengkan kepalanya sembari menatap ke ponselnya. “Aku nggak mau sampe temen-temen di dunia maya tahu soal kamu, nanti mereka bakal ngepoin kamu lagi. Toh di kampus pun semua orang tahu jika kamu pacar aku,” ucap Albian dengan santainya. Ia memang tidak pernah mengupload apa-apa soal hubungannya dan Sani di social media. Baginya hal itu tidaklah penting, mengingat ia dan Sani berada di satu kampus yang semua orang tahu tentang hubungan mereka. Jadi, untuk apa orang dari lingkungan lain tahu? Sani menggigit bibir bawahnya, kesal. Tentu saja tapi ia tidak ingin memaksakan keinginannya. Mungkin Albian memang tak nyaman mempublikasikan hubungan mereka. Bener juga sih, mempublikasikan hubungan yang belum resmi Cuma bakal bikin malu jika hubungan itu akhirnya gagal. Tapi kan yang mereka lakukan sudah… ah! Sudahlah. “Ya udah deh. Beli bolu s**u yukkk sekalian buat oleh-oleh. Aku juga mau pie kukus. Apa nanti pulangnya kita mampir ke Cimory aja?” “Ide bagus. Nanti kita beli yoghurt kesukaan kamu juga.” “Yeyyy!”    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN