Di Cimory, Sani mengambil beberapa cookies, bolu s**u dan tak lupa pie s**u cokelat kesukaannya. Ia juga tak lupa membeli beberapa botol yoghurt yang menjadi favoritnya dan tante Deyana. Ia tak pernah lupa dengan tante kesayangannya itu. Jika ia lebih suka yoghurt rasa blueberry, berbeda dengan Deyana yang suka rasa plain. Apalagi yoghurt sangat baik untuk melancarkan pencernaan, tentunya sangat dibutuhkan oleh Deyana yang seorang desainer. Meski ia tidak pernah menjadi model yang sesungguhnya, tapi ada kebanggaan tersendiri jika gaun rancangannya bisa ia kenakan juga. Apalagi di fashion show tertentu yang mengharuskannya untuk menyambut para tamunya dan berdiri di atas panggung bersama model-model yang menggunakan gaun rancangannya.
“Udah? Sini biar aku bayar,” ucap Albian yang mengambil alih keranjang belanja milik Sani tapi gadis itu malah menahannya.
“Aku bayar sendiri aja. Liburan kita kan kamu terus yang bayar, dari hotel sampe tiket masuk. Bahkan makannya juga. Uang kamu buat tabungan aja di Singapore nanti. Di sana tuh serba mahal loh!” sahut Sani yang merasa sungkan jika tidak mengeluarkan uang sama sekali.
“Nggak apa-apa. Kan aku mau nyenengin kamu, sayang.” Albian kembali merebut keranjang belanja Sani.
“Kebahagiaan nggak selalu karena materi, Bi.” Sani tampak cemberut tapi Albian sudah berjalan lebih dulu menuju kasir.
Setelah membeli oleh-oleh, Albian mengajak Sani untuk makan siang dulu di restoran yang ada di Cimory sebelum mereka pulang ke Jakarta. Toh hari masih siang dan ini juga bukan weekend jadi bisa dipastikan jalanan akan lenggang dan tidak sepadat biasanya.
“Makasih ya, Bi. Aku seneng banget. Kamu mau meluangkan waktu sama aku sebelum pergi,” ucap Sani yang merasa begitu beruntung mendapatkan pria sebaik Albian. Padahal ia begitu khawatir dengan kekasihnya ini jika jauh di sana, tapi semua kecemasan itu meluap entah kemana melihat sikap baik Albian yang seakan menaruh kepercayaan besar dalam hubungan mereka.
“Iya, Sani. Satu tahun waktu yang lama menurutku, tapi kita harus saling percaya. Atau pas liburan semester nanti kamu ke Singapore aja, biar aku beliin tiket dan kita liburan di sana.”
“Hah? Nggak. Nggak usah. Lagian aku bakal mulai sibuk menyiapkan skripsi aku. Aku juga nggak mau ganggu kegiatan kamu di sana.” Sani kembali merasa sungkan. Bagaimana tidak? Jika dibayarin tiket pulang pergi ke Singapore, belum lagi biaya hidup di sana. Pasti akan menghabiskan banyak biaya.
“Ya udah. Kalo nanti aku bisa libur pasti aku pulang,” ucap Albian yang kembali membuat Sani merasa tenang.
“Yeyyy! Gitu dong!” Sani tak keberatan kali ini. Toh jika Albian pulang pun tidak hanya menemuinya tapi juga keluarganya. Jadi Sani tidak merasa sesungkan jika Albian yang membiayainya ke Singapore.
……………
Malamnya, Albian pergi ke rumah Omnya. Ia sekaligus ingin berterimakasih pada pria yang telah membantunya mendapatkan kesempatan menjadi mahasiswa pertukaran ke luar negri. Jelas ini adalah kesempatan emas untuk semakin meningkatkan kualitas CV-nya nanti. Maka ia perlu berterimakasih pada Om-nya yang menjadi dosen di kampusnya itu.
“Malam, Om,” sapa Albian pada pria yang kini duduk di ruang bersantai sembari menonton salah satu berita di TV.
“Oh kamu, Bian.” Santoso melepas kacamatanya dan meletakkannya ke atas meja. Ia memang biasa mengenakan kacamata saat melihat ke layar TV maupun laptop serta saat membaca koran atau buku. Matanya yang sudah tua ini sungguh makin bermasalah dan terasa pegal jika tanpa kacamata.
“Iya. Ini Bian bawain bolu s**u kesukaan Om dan Steve.” Bian meletakkan satu paper bag ke atas meja.
“Wah! Habis liburan ya kamu?” tanya Santoso yang terlihat senang mendapat oleh-oleh dari keponakannya. Albian adalah anak dari adik bungsunya yaitu Joshua. Sekaligus mahasiswa kebanggaanya di kampus. Karena kecerdasan Albian dan keaktifannya dengan kegiatan kampus.
“Iya. Ngabisin waktu sebelum ke Singapore. Ngomong-ngomong terimakasih ya, Om. Karena Om aku jadi bisa punya kesempatan ini,” ucap Albian yang terlihat sangat senang.
“Halah, bukan masalah besar. Toh memang kamu lolos seleksi kok,” ucap Santoso yang merasa tidak melakukan apa-apa. “Jadi kapan kamu berangkat?”
“Minggu depan, Om. Doain ya biar kegiatan di sana lancar.”
“Iya aamiin. Semoga kamu semakin sukses dengan adanya kesempatan ini.”
“Iya, Om. Ya udah Bian pamit ya soalnya capek banget mau istirahat. Tadi sengaja mampir ke sini, kalo besok takut Om sibuk ke kampus.”
“Loh, langsung pamit?”
“Iya, Om. Masih harus mempersiapkan yang lainnya.” Albian tersenyum tipis lalu menyalami tangan Om-nya dengan sopan.
“Ya sudah. Hati-hati ya menyetirnya. Udah malam soalnya.”
“Iya, Om.” Albian pun beranjak dari tempatnya dan pergi ke arah pintu tepat saat pintu rumah itu terbuka dari luar. Dan terlihat sosok yang begitu ia hindari kini tengah berjalan ke arahnya.
Tatapan menusuk itu seakan tidak lepas dari Albian tapi pria itu tak banyak bicara. Ia melewati Albian tanpa berkata sepatah katapun. Seakan Albian hanya seonggok patung tak bernyawa yang dilewati begitu saja.
Albian hanya tersenyum getir melihat reaksi sepupunya itu yang begitu dingin dan tak bersahabat dengannya. Ia tahu kesalahannya telah begitu besar dulu tapi tentu semua itu bukan hanya kesalahan pada dirinya. Steve turut andil atas kesalahan yang ia perbuat.
Sudahlah.
Itu hanya masa lalu.
…………….
Steve melirik sebuah paper bag di atas meja di depan ayahnya yang tengah serius menonton acara TV. Pasti itu Albian yang membawakan. Rasanya malas sekali jika harus berpapasan dengan sepupunya itu. Untunglah saat ia menggantikan ayahnya nanti menjadi dosen, sepupunya itu sedang di Singapore. Dan Steve tidak perlu bertemu dengannya di kelas. Itulah yang sebenarnya membuat Steve enggan menjadi dosen apalagi di kampus tempat Albian menuntut ilmu. Jika bertemu dengan Albian sesekali saja sudah membuatnya ingin menghancurkan wajah sok polos pria itu, apalagi jika harus bertemu setiap hari… Steve tidak bisa berjanji akan membiarkan hidupnya tenang.
Tapi tunggu…
Jika sekarang ia masih dendam dengan Albian, itu berarti ia masih peduli dengan mantan istrinya. Tidak, tidak. Steve sudah tidak peduli dengan apa yang pernah terjadi pada Friska dan Albian dulu. Ia sungguh sudah tidak peduli pada dua orang yang telah berkhianat dalam hidupnya dan menganggap mereka sudah mati.
“Tadi Albian bawain oleh-oleh. Kesukaanmu sepertinya, rasa matcha,” ujar Santoso yang sama sekali tidak tahu menahu soal yang terjadi di antara menantu, anak dan keponakannya. Yang Santoso tahu, perceraian antara Steve dan Friska hanya karena Friska lebih memilih karirnya dibanding mengurus suami dan anaknya dengan baik. Bahkan Fey pernah sampai masuk rumah sakit karena Friska memilih bekerja dibanding mengurus anaknya yang demam tinggi sampai kejang dan membutuhkannya. Hal itu jelas membuat Steve benar-benar mencapai batas pertahanannya menjadi suami dari wanita yang egois.
Jika dilihat memang umur Steve dan Friska lima tahunan, meski tidak terlalu berbeda jauh tapi sikap kedewasaan antara mereka berdua begitu kentara. Jika Steve sangat dewasa dan pintar menempatkan diri, berbeda dengan Friska yang masih ingin bebas meniti karirnya karena gadis itu menikah dengan Steve di usia yang terlalu muda. Bahkan saat itu Friska belum lulus kuliah, masih kuliah semester akhir. Tapi saat wisuda ia malah sudah hamil dan tidak bisa bekerja, alhasil setelah Fey lahir… Friska mencoba mencari kesempatan untuk meraih mimpinya yang tertunda. Tapi Friska sama sekali tak pintar menempatkan diri sebagai wanita karir dan seorang ibu, padahal Steve membebaskannya berkarir asal dia peduli juga dengan anak mereka.
“Kamu kenapa malah diam?” tanya Santoso yang menoleh pada Steve yang sedang melamun.
Steve hanya menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran soal masa lalunya. Itu sudah terlewat dan ia sudah tidak memperdulikannya lagi. “Aku mau ke kamar dulu. Ada dokumen yang tertinggal lalu pergi lagi.”
“Oh ya sudah. Nanti kamu bawa saja bolunya yang rasa matcha. Ayah kan nggak suka,” ucap Santoso yang kembali menatap layar TV di depannya.
Steve tidak menjawab dan langsung naik tangga menuju ke kamarnya. Jangankan memakan makanan pemberian Albian, menatap sepupunya saja ia enggan apalagi memakan pemberiannya. Tidak sudi. Anggap saja ia kekanakan, tapi tentu saja itu karena kekecewaannya yang mendalam.