Prolog
Gadis bermata hazel itu menatap ke arah papan madding yang berada di depannya. Sesekali ia menghela nafas. Bukan karena sesak akan banyaknya orang di sekelilingnya yang ingin ikut melihat berita terbaru di madding. Akan tetapi, karena nama yang tertera di sana. Nama yang akan menjadi mahasiswa pertukaran dengan Singapore. Universitas tempatnya menuntut ilmu saat ini memang termasuk elite. Ia pun beruntung bisa mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di sini. Tentunya universitas ternama pasti memiliki banyak kerja sama dengan universitas lain di dalam maupun luar negri.
Setiap tahunnya ada beberapa mahasiswa yang akan menjadi peserta pertukaran dengan mahasiswa asing. Kebetulan untuk tahun ini pertukaran yang dilakukan adalah dengan mahasiswa di Singapore. Tidak terlalu jauh memang. Cukup dengan dua jam naik pesawat pun sudah sampai. Namun mengingat nama yang tertera di sana cukup membuat gadis bermata hazel itu murung.
Albian Mahendra.
Satu nama yang sejak dua tahun terakhir ini menjadi kekasihnya. Kekasih dari gadis yatim piatu yang berhasil berdiri dengan kakinya sendiri. Gadis yang tidak pernah dianggap oleh siapapun tapi Albian menjadi satu-satunya pria yang memperlakukannya dengan baik. Lalu sekarang ia harus kehilangan pria itu sementara. Mungkin satu tahun ke depan.
Satu tahun.
Itu waktu yang cukup panjang. Bahkan sangat panjang.
“Cieee! LDR nih jadinya?” tanya Areta yang sedari tadi berdiri di belakang kerumunan sembari menyenderkan punggungnya ke dinding. Ia sudah tahu apa yang tertulis di papan madding dari wajah sahabatnya yang tiba-tiba menjadi kusut.
Sani, gadis bermata hazel itu menghela nafas. “Iya nih. Gimana dong?” Matanya tampak berkaca-kaca seakan siap menumpahkan isinya.
Areta mengedikkan bahunya. “Setahun LDR. Lumayan lah kesepiannya.” Ia malah tersenyum meledek. “Susah emang jadi smart couple di kampus. Harusnya kamu ikut daftar.”
Sani berdecak lalu duduk di pembatas tembok kecil di antara koridor dengan taman kecil di sampingnya. “Nggak ah. Aku kan harus kerja part time. Biaya hidup darimana di sana nanti.”
“Ya udah. Nikmatin aja. Kapan lagi jauh-jauhan sama pacar.” Areta merangkul pundak Sani dan mengajak sahabatnya pergi dari sana. “Siapa tahu mata hati kamu terbuka buat pria lain yang ternyata lebih oke dari Albian.” Ia mengedipkan sebelah matanya. Sementara Sani malah mendelik kesal ke arah sahabatnya.
Mereka berdua pun memutuskan untuk segera masuk ke kelas karena jam kuliah akan segera dimulai. Meski Sani tahu, hari ini suasana hatinya sangat buruk dan sebenarnya malas sekali mengikuti kuliah. Tapi mau tidak mau ia harus menjalaninya agar bisa lekas lulus. Sani juga tidak ingin menyia-nyiakan beasiswa yang diberikan kampusnya jika ia melalaikan tugasnya sebagai mahasiswi. Meski tantenya pasti mampu membiayai kuliahnya, tapi Sani tidak ingin merepotkannya lagi. Ia tahu diri sebagai gadis yang hidup tanpa ayah serta ibunya.
…………….
“Kau yang memilih pergi, kau juga yang meminta kembali. Kau pikir dirimu siapa sampai bisa memperlakukan aku seperti ini!” bentak Steve saat melihat wanita yang lima tahun lebih muda darinya itu datang menemuinya dan meminta rujuk kembali.
“A-aku… maaf. Aku minta maaf. Saat itu pikiranku masih belum terbuka dengan pernikahan kita. Aku menyesal, Steve. Aku butuh kamu.”
Pria dengan bola mata hitam pekat itu berdecih. “Sayangnya aku tidak butuh kamu, Friska,” ucapnya dengan nada meremehkan.
“Apa kamu nggak kasihan sama anak kita? Fey butuh kita. Fey butuh kedua orangtuanya.” Lagi-lagi wanita itu membawa-bawa nama anak perempuan satu-satunya hasil pernikahan mereka beberapa tahun lalu yang kandas dalam waktu yang singkat.
“Kau masih memikirkan Fey? Kau yang selalu menitipkan anak kita pada ibumu dan kau bersenang-senang dengan temanmu? Kau pikir aku tidak tahu? Aku sudah bertanggung jawab untuk anakku. Aku pun sering mengunjunginya. Aku selalu ada untuk Fey. Namun untuk kembali bersamamu, aku tidak bisa.”
Wanita yang pernah menikah dengan Steve lima tahun yang lalu itu sampai bersujud di depan Steve dengan tangisan yang dibuat memilukan. Namun Steve tidak dapat ditipu oleh air mata buatan Friska. “Please, Steve. Aku masih mencintaimu.”
“Sayangnya cintaku padamu sudah hilang sejak kamu melangkahkan kakimu pergi dari rumahku.” Steve malah beranjak dari tempatnya dan pergi meninggalkan Friska tanpa memperdulikan teriakan dari mantan istrinya itu. “Bagiku, semua yang sudah berakhir tidak akan bisa dimulai lagi.”