“Eh, katanya mau masak mie?” tanya Albian yang berusaha mengalihkan pikirannya. Rasanya tak pantas jika ia sengaja melirik ke belahan indah itu. Selama hampir dua tahun pacaran, memang mereka hanya pernah sebatas kissing. Tidak lebih dari itu. Karena ia dan Sani pun sama-sama sibuk kuliah dan Sani yang juga bekerja paruh waktu di coffe shop.
“Oh iya. Sebentar ya. Kamu mau?” tanya Sani yang segera beranjak dari tempatnya. Bayang-bayang semangkuk mie rebus dengan asap yang mengepul sudah membuat perutnya keroncongan.
“Boleh deh tapi nggak pake cabe ya,” ucap Albian. Tidak seperti Sani yang begitu fanatic dengan makanan pedas, ia malah sebaliknya. Sedikit saja makan makanan pedas, bisa-bisa ia langsung bolak balik kamar mandi. Hal itu tentu akan merepotkan dirinya sendiri. Ia lebih suka makanan yang manis atau gurih.
“Siap!” Sani pun menghilang setelah masuk ke dalam dapurnya yang hanya dibatasi oleh tirai berwarna silver.
Tangan gadis itu cekatan menyiapkan bahan-bahan untuk pelengkap mie rebusnya. Tak lupa potongan cabe rawit setan ditambah sayur sawi hijau. Banyak yang bilang makan mie instan itu tidak sehat. Tapi kalo dilengkapi dengan sayur-sayuran, telur dan sosis, terlihat sehat juga, kan?
Setelah memasak mienya, Sani segera membawanya ke ruang TV. Khusus untuk Albian tentu saja tidak menggunakan cabe. Ia tidak mau membuat kekasihnya itu kesakitan dan kelelahan karena bolak balik kamar mandi.
Harum aroma mie rebus seketika meruak ke seluruh ruangan, membuat Albian yang sedang menonton acara TV menoleh ke arah Sani yang membawakan nampan berisi dua mangkuk mie rebus.
“Aromanya enak.”
“Lebih enak punyaku. Pedesss.” Sani tersenyum senang sembari meletakkan nampan itu di atas meja. Cuaca saat ini benar-benar sedang mendukung untuk makan mie rebus. Meski sesekali ia takut saat suara petir yang menyambar.
“Nggak. Makasih.” Albian tersenyum geli ketika melihat pacarnya itu mengerucutkan bibirnya dan mulai menyantap mie buatannya sendiri. Terlihat potongan cabe rawit yang tercampur dengan kuah mie rebus. Aromanya saja sudah membuatnya merasa kepedesan.
Tiba-tiba di saat Sani sedang asik menikmati kuah mie rebusnya yang hampir habis, suara begitu keras dari arah kamarnya terdengar. Ia sampai terkejut dan hampir menumpahkan kuah mie rebusnya.
Albian dan Sani pun saling menatap.
Seketika gadis bermata hazel itu memegang kepalanya sendiri. “Cucian aku!” jeritnya. “Belum di angkat di teras kamar. Aduh! Pasti jatuh dan kotor lagi deh.”
“Ya udah ambil dulu yuk.”
Sani terlihat ragu. “Tapi masih hujan deres, Bi. Angin juga lagi. Kenapa sih hujannya serem banget hari ini.” Bibirnya mengerucut, nafsu makannya tiba-tiba hilang. Untung saja ia sudah menghabiskan mie rebusnya.
“Nggak apa-apa. Takutnya malah berceceran kemana-mana nanti malah hilang.”
“Ya udah deh yuk. Aku taroh mangkuk ke wastafel dulu.” Sani segera mengangkat nampan berisi dua mangkuk yang telah kosong lalu setelah itu mengikuti Albian ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Benar saja, gantungan cucian milik Sani terjatuh karena kencangnya angin hingga semua pakaian itu berceceran. Albian yang mengambil baju-baju itu dan memberikannya ke Sani. Terpaksa Sani merendam kembali bajunya yang baru ia cuci tadi pagi.
“Huh! Bisa lupa sama cucian sendiri.” Sani menepuk keningnya sendiri lalu melirik ke arah Albian yang kembali basah kuyup. “Ya ampun kamu basah gitu. Mau ganti baju nggak? Kayaknya beberapa baju kamu ada di aku deh yang waktu kamu pernah kehujanan juga di sini.”
“Iya deh boleh. Dingin banget.” Albian memeluk dirinya sendiri. Lalu melepaskan kaos hitam yang dikenakannya hingga tubuh bagian atas pria itu terekspos bebas.
“Ih! Bi! Nanti aja kek bukanya!” Sani menutup kedua matanya dengan satu tangannya sementara tangannya yang satu lagi menyodorkan kaos abu-abu milik pria itu yang ada di lemari bajunya.
Albian malah terkekeh geli. “Tapi, San… “
“Apa?” Sani tidak berani menatap ke arah Albian.
“Kita kan bakal LDR-an. Kita juga udah lama pacaran… “
“Terus?” Kali ini Sani memberanikan diri menoleh ke Albian tapi pria itu ternyata masih memegangi kaosnya dan belum dipakai.
Albian perlahan mendekat sampai Sani merasa jantungnya berdebar tak karuan seperti mau copot.
Astaga!
Albian mau ngapain ini? Dan kenapa gue malah diem aja. Malah deg-degan gini lagi. Sani membatin.
“Bi?” Apa terjadi sesuatu tadi di teras? Tapi perasaan nggak ah. Kan gue ngelihatin dia juga. Nggak kesambet apa-apa kok nih cowok.
Albian berhenti tepat di depan Sani dan menyentuh dagu gadis itu. “Kamu percaya sama aku, kan?”
“Soal?”
“Segalanya.”
Sani menelan ludahnya sendiri. Seumur hidup, Albian lah yang berhasil mengambil ciuman pertamanya. Tidak lebih dari itu. Meski banyak kesempatan bagi mereka untuk melakukannya tapi mereka berhasil menahannya. Apa karena cakung alias cuaca mendukung Albian jadi begini? Entah kenapa kepala Sani malah mengangguk, membuat pria itu semakin memajukan bibirnya dan melumatnya dengan lembut.
Sial. Kenapa gue malah terbuai gini. Batin Sani lagi yang malah mengikuti permainan lidah milik kekasihnya.
Tangan Albian mulai meraba ke bagian dalam kaus Sani dan mengusap perutnya perlahan lalu semakin naik dan menyentuh gundukannya dari luar bra peach yang ia kenakan.
Sebuah desahan lolos dari bibir Sani, membuat Albian tersenyum tipis dan mulai berani meremasnya. Pria itu merasa tubuh Sani semakin tak bisa ditopang hingga mereka menjatuhkan diri ke atas ranjang dan kini Albian berada di atas tubuh gadis itu.
“Aku ingin memilikimu seutuhnya, Sani,” bisik Albian tepat di telinga Sani, membuat bulu halus gadis itu meremang.
Mereka semakin terbuai hingga Sani tak bisa menahan diri dan melepaskan kegadisannya malam itu juga. Cuaca yang dingin tak terasa lagi, yang ada hanya hawa panas dan nyaman yang ada di antara mereka berdua. Terlebih ketika tubuh mereka berhasil menyatu sempurna dengan saling memeluk erat satu sama lain.
“Sakit.” Sani merasa begitu sakit di bagian selangkanya.
“Tenang. Hanya sebentar kok.” Albian kembali menenangkan Sani dan mulai melanjutkan ke permainan inti. Hingga ia mencapai klimaksnya dan mengeluarkannya di atas perut Sani.
Noda darah di sprei abu-abu milik Sani seolah pertanda jika gadis itu telah menyerahkan segalanya untuk Albian—kekasihnya.
“Kamu nggak akan tinggalin aku, kan?” tanya Sani dengan air mata yang menitik di ujung netranya.
Albian segera menghapus air mata itu. “Tidak akan, sayang. Makasih udah percaya sama aku.”
Sani hanya mengangguk kecil lalu menyandarkan kepalanya di d**a Albian, rasanya begitu nyaman. Bahkan suara petir di luar pun tidak lagi membuatnya khawatir karena keberadaan pria di sampingnya.
…………..
“Menyebalkan!” Steve melempar ponselnya ke atas ranjang lalu berbaring di sana dengan tangan yang terbuka seolah berusaha melepas lelahnya. Hari ini moodnya benar-benar buruk. Tentu saja karena ulah mantan istrinya.
Friska.
Wanita dua puluh enam tahun itu selalu mencoba mencari kesempatan untuk bertemu dengannya dan selalu menjadikan Fey sebagai alasan. Dulu saja dia tidak memperdulikan anak hasil pernikahan mereka itu, tapi sekarang seolah memanfaatkannya agar bisa mengembalikan hubungan mereka seperti dulu.
Sayangnya Steve tidak akan mau jatuh ke lubang yang sama. Biar saja Friska belajar menjadi ibu yang baik dengan mengurus Fey. Jika tidak, maka ia akan mengambil Fey dari wanita itu. Toh dalam perjanjian yang mereka buat, jika Friska tak sanggup mengurus Fey maka hak asuh Fey akan berpindah padanya. Tapi jelas tak semudah itu karena Friska selalu memanfaatkan ibunya sendiri untuk mengurus Fey. Padahal ibunya sudah cukup berumur. Memang dasar wanita manja!
Steve mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia memang selalu merindukan Fey, tapi untuk kembali dengan Friska… ia tidak akan pernah mau. Ia juga ingin bertemu Fey setiap hari tapi tidak dengan bersama wanita itu. Ia muak dengan tingkah Friska yang seolah masih menjadi istrinya. Terlebih wanita itu selalu mencari tahu kehidupan pribadinya dan menjauhkan semua wanita yang mencoba dekat dengannya.
Bahkan Friska sengaja mengajaknya untuk liburan ke Bali bersama Fey, jelas ia tidak mau meski alasannya untuk membahagiakan Fey di ulang tahun ke limanya nanti. Ia punya rencana sendiri untuk anaknya, ya hanya mereka berdua. Karena setelah perceraian itu, hubungan Steve dan Fey masih tetap ayah dan anak, tapi hubungannya dengan Friska jelas sudah berakhir.
“Aku nggak akan memberi kesempatan pada orang yang tidak menghargai arti perjuangan.”