‘Kita putus aja, San J
“San... ini... “ Tangan Areta terulur, menunjukkan pesan yang baru saja masuk dari Albian. Ia merasa tak tega memberitahu Sani, jika saja ia ingin menjaga perasaan sahabatnya... inginnya ia hapus saja pesan ini agar Sani tidak tahu. Tapi bukannya tak adil jika Sani tidak tahu bahkan setelah gadis itu menunggu sekian hari demi mendapatkan kabar dari kekasihnya, yang didapatkan Sani justru kabar mengejutkan dan mungkin tak pernah ia harapkan.
Sani menatap sekilas ponselnya yang berada di tangan Areta, matanya membulat tak percaya. Seakan tak cukup bagi Albian memberikannya kejutan lewat video panas yang pria itu lakukan bersama gadis berambut pirang. Matanya menatap nanar ke layar ponselnya itu tanpa berniat mengambilnya dari tangan Areta. Rasanya begitu menyesakkan, sampai ia sendiri tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Telapak tangan Sani terasa berkeringat mengetahui kelakuan b***t kekasihnya itu. Apa dua tahun kebersamaan mereka sama sekali tidak berarti di mata Albian hingga pria itu tega mengkhianatinya? Apa satu minggu di Singapore terasa begitu memabukkan hingga Albian dengan mudah melupakan Sani?
“Dua tahun... “ Sani bergumam. “Dua tahun kebersamaan kami, sama sekali nggak ada arti apa-apa di mata dia, Ta. Aku kecewa.”
Areta mengusap pundak Sani demi menenangkannya. Gadis itu menarik kursi di samping sahabatnya dan duduk di sana. Ia menyandarkan kepalanya ke pundak Sani, berharap sahabatnya ini bisa kuat. “Aku juga nggak menyangka, San. Aku nggak menyangka cowok dengan imej baik seperti Albian ternyata sebrengsek itu.” Ia menggertakkan giginya, tak terima dengan apa yang Albian lakukan pada sahabatnya.
Wajah Sani terlihat pucat, bendungan air mata itu kini telah luruh membasahi pipinya dengan aliran yang begitu deras. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, merasa malu karena harus menangis di tempat umum seperti ini. Tapi entah kenapa ia tidak bisa menahan air matanya ini karena semua terasa begitu menyakitkan. “Aku harus bagaimana?” tanyanya sembari menggenggam tangan Areta dengan erat seolah dirinya memerlukan banyak kekuatan saat ini.
“Blokir nomor Albian, San. Dia cowok yang b******k. Kamu berhak bahagia dan bebas dari pria yang nggak guna kayak Albian.”
“Tapi, Ta... tapi... “ Sani menggigit bawah bibirnya. Tiba-tiba perasaan menyesal yang luar biasa menambah kesesakkan dalam rongga d**a Sani. Mengingat semua yang telah gadis itu lewati bersama Albian beberapa waktu lalu, juga kehormatannya yang telah ia berikan dengan sukarela pada Albian tapi nyatanya pria itu hanya memperalatnya. Ia jadi ingat dengan nasehat tante Deyana. Memang seharusnya ia tidak percaya penuh pada pria itu, karena sekalinya dia mengecewakannya, maka dirinya yang akan hancur seketika.
“Ada apa, San?” Areta menangkap sinyal buruk dari wajah dan keraguan Sani. Matanya seketika membulat, mengingat Albian bisa seganas itu di atas ranjang. Jangan-jangan... “Kamu dan Albian sudah... “ Ia menautkan kedua telunjuknya sebagai sebuah isyarat. Sani hanya mengangguk pasrah, mengerti apa yang Areta maksud. “Gila! Dia bener-bener b******k!” Ia mengepalkan tangannya, berharap bisa melayangkannya ke wajah sok gantengnya Albian. “Dia Cuma memperalat kamu, San. Astagaaaa.”
Air mata Sani semakin deras. Ia pun merasa seperti itu, merasa hanya dimanfaatkan oleh Albian setelah sekian lama pria itu menahannya. Dan ketika Albian telah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka pria itu dengan mudah meninggalkannya. “Aku bodoh banget, Ta.”
Areta menggeleng cepat lalu menggenggam tangan Sani dengan erat. “Kalo aku yang begitu mungkin sudah biasa, San. Tapi gadis polos seperti kamu... aku bener-bener nggak tega kalo kamu hanya dimanfaatkan sama cowok itu. Apa kita samper aja dia ke Singapore dan labrak aja? Terus kita potong anunya!” ucapnya dengan berapi-api.
“Sssstttt! Kamu mau semua orang denger pembicaraan kita?” Sani langsung menatap sekelilingnya, takut ada yang mendengar ucapan Areta. Untunglah mereka mengambil tempat di bagian luar dan jarak ke pengunjung lain cukup jauh juga suara angin dan bisingnya suara kendaraan dari jalan besar di dekat cafe yang menyamarkan suara mereka. Jadi sepertinya tidak ada yang mendengar.
Sontak kedua telapak tangan Areta menutup mulutnya yang lancang ini. Bisa-bisanya ia bicara keras soal privasi sahabatnya sendiri. Ia pun memperhatikan sekelilingnya dan memastikan tidak ada yang memperhatikan obrolan mereka berdua saat ini. “Bolos aja apa jam selanjutnya? Kita ke rumah kamu gitu.” Ia menaikkan sebelah alisnya, meminta persetujuan.
Sani menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya. Baginya kehilangan satu poin dari absensi saja akan cukup merugikannya. Ia tidak mau nilainya berkurang sedikitpun. “Nggak deh.”
“Ya keadaan kamu aja begini, masa mau maksain kuliah. Emangnya fokus?”
Sani terdiam. Iya juga sih. Toh selama satu minggu ini dirinya pun tidak terlalu fokus kuliah karena menunggu kabar dari Albian, tapi setelah mendapat kabar dari pria itu... justru semua fokusnya mendadak lenyap.
“Lagian kok bisa sih... ya ampun... “ Areta memegangi kepalanya sendiri, tidak menyangka jika kebebasan yang selama ini ia anut menular pada Sani. Padahal ia sudah sering bilang ke Sani untuk menjaga harga dirinya sendiri sebagai wanita, jangan mengikuti jejaknya. “b******k banget si Albian.” Entah sudah berapa kali mulut tipis Areta memaki mantan kekasih sahabatnya itu. Makian yang dulu hampir tak mungkin ia lakukan mengingat perlakuan Albian ke Sani begitu baik. Nyatanya itu hanya topeng belaka sampai wajah sebenarnya terungkap sekarang.
“Aku bodoh banget.” Sani memukuli kepalanya sendiri. Menyesali semua perbuatannya.
“Tapi kamu nggak hamil, kan?” tanya Areta dengan tatapan menyelidik. “Pake pengaman kan?”
Sani menatap ke arah Areta dan menghela nafas. “Nggak pake pengaman tapi dia keluarinnya di luar, Ta.” Wajahnya seketika memerah, seakan pembicaraan ini begitu privasi untuk dibicarakan bersama orang lain. Meskipun itu sahabatnya sendiri.
“Semoga aja enggak deh. Kalo bisa biar si Albian itu mandul sekalian. Bisa-bisanya mainin perasaan wanita. Ish!”
Sani hanya bisa mendengus, ponsel di depannya pun seakan membisu. Ia meraih ponselnya dan memblokir nomor Albian sesuai yang Areta katakan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Albian. Bisa-bisanya pria itu mempermainkannya setelah hubungan mereka yang begitu jauh. Pantas saja Albian tidak pernah terlihat serius atau mengenalkannya pada orangtuanya. Mungkin itu memang taktik Albian agar mudah melepaskannya. Tentu setelah mendapatkan yang pria itu inginkan.
“Udah, San. Jangan dipikirin lagi. Emang berat sih. Tapi aku yakin suatu saat kamu akan dapat pria yang lebih baik dari cowok b******k itu.” Areta mengangguk yakin sembari mengusap-usap bahu sahabatnya.
“Emangnya ada yang mau nerima cewek kayak aku, Ta?” Sani tiba-tiba merasa tidak percaya diri. Setelah harga dirinya direnggut, ia merasa begitu kotor. Bodohnya lagi, ia baru menyadarinya sekarang dan semua sudah terlambat.
“Cewek kayak kamu? Lah terus aku disebutnya apa dong? Aku lebih parah dari kamu tapi aku juga berharap dapat pria yang bisa menerima aku apa adanya, San. Dan aku yakin, meski mungkin nggak sekarang... aku yakin pria yang tulus itu ada.”
Tanpa kedua gadis itu ketahui, seseorang tengah memperhatikan mereka dari dalam cafe. Meski tidak tahu apa yang mereka obrolkan, tapi pria itu merasa sesak di dalam rongga dadanya saat melihat tangisan dari gadis yang cukup ia kenal. Gadis menyebalkan yang saat ini terlihat begitu rapuh. Berbeda sekali dengan yang ia lihat sebelumnya, dimana gadis itu selalu terlihat angkuh dan tak takut pada apapun. Nyatanya air mata di wajahnya adalah bukti jika dia juga gadis yang rapuh dan lemah.
Dan setahu pria itu, jika seorang gadis sudah menangis... berarti dia sedang merasakan patah hati yang begitu hebat. Ia juga tahu siapa pria yang mungkin sudah membuatnya menangis hari ini, seseorang yang sama. Seseorang yang pernah menghancurkan rumah tangganya beberapa tahun yang lalu. Entah kali ini apalagi yang dia lakukan, tapi pria itu merasa begitu kesal. Karena nyatanya sepupunya itu hanya bisa melukai orang lain dan bertindak seenaknya hanya demi kesenangan.
Seulas senyum tipis mengembang di wajah pria berambut cokelat gelap itu. “Mungkin aku harus mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi milikku, setelah dia juga pernah menghancurkan hubunganku. Aku akan perlihatkan padanya bagaimana gadis itu akan kubuat bahagia dan melupakannya. Pria seperti itu sama sekali tak pantas mendapatkan gadis manapun. Dia pasti akan kaget jika suatu saat tahu kalo gadis yang pernah menjadi miliknya akan segera menjadi milikku.”