Part 9- Hal Tak Terduga

1148 Kata
Hari ini terasa begitu melelahkan bagi Sani. Pekerjaannya baru selesai jam sepuluh malam hingga cafe tutup. Ditambah banyaknya pelanggan di malam hari yang sempat membuatnya kewalahan. Untungnya beberapa pegawai lain pun sigap dan Sani beruntung mendapat partner kerja yang tidak bersikap senioritas padanya meski ia hanya pegawai paruh waktu. Cafe sudah menjadi rumah kedua bagi Sani ketika di rumahnya sendiri ia selalu merasa kesepian karena jarangnya bertemu dengan tantenya sendiri. Begitu sampai di rumahnya yang tampak terang itu, Sani agak cepat berjalan masuk ke dalam. Ia yakin jika tante Deyana ada di rumah saat ini. Syukurlah, setidaknya dengan melihat salah satu anggota keluarganya, Sani merasa lebih tenang setelah menjalani hari yang melelahkan ini. “Tante!” sahut Sani saat melihat Deyana turun dari tangga dan membawa koper kesayangannya. Alisnya langsung tertaut. Padahal tantenya itu pasti baru pulang hari ini tapi sepertinya wanita itu akan pergi lagi. “Eh, Sani. Baru pulang kamu?” tanya Deyana yang meletakkan kopernya di ruang tamu dan duduk di sofa empuknya. “Maaf ya tante hanya pulang sebentar soalnya tengah malem nanti tante ada penerbangan ke Aussie.” “Yahhh! Kirain bakal lama di rumahnya.” Sani terlihat murung tapi kemudian gadis itu mencoba tersenyum lagi dan mengangguk pertanda mengerti dengan kesibukan tantenya. Deyana mengusap rambut Sani dengan lembut lalu menyodorkan sebuah amplop putih ke arah keponakannya itu. “Ini untuk uang saku kamu ya. Tante lagi banyak kerjaan jadi bonusnya juga banyak. Kamu sesekali belanja dong atau ke mall gitu sama temen kamu. Refreshing. Jangan belajar mulu.” Sani tersenyum getir menatap amplop yang pasti isinya selalu di luar ekspektasinya. Pasalnya tante Deyana sangat royal padanya dan nggak segan memberikan banyak uang. Padahal tante Deyana tahu jika Sani juga kerja paruh waktu tapi tetap saja namanya keluarga mana tega membiarkan keponakannya nyari uang sendiri. Toh tante Deyana pun mengumpulkan semua uang itu tidak ada tujuan khusus, terlebih dia adalah wanita yang penyendiri dan tidak berniat menikah. Jelas hanya Sani yang Deyana punya, hanya Sani tempatnya berbagi. “Makasih, Tan.” Deyana tersenyum tipis. “Ya udah tante berangkat dulu ya. Di kulkas banyak frozen food kok. Jangan makan mie terus.” Ia beranjak dari sofanya dan menghampiri kopernya. “Tante kapan pulang?” “Emhhh sepertinya bulan depan. Mudah-mudahan jadwal tante agak longgar jadi nanti kita liburan bareng ke Puncak ya. Udah lama kan nggak liburan bareng,” jawab Deyana sembari tersenyum manis. Sani mengangguk cepat. “Oke, Tan. Hati-hati ya.” Meski Sani tak sepenuhnya berharap jika tante Deyana akan menepati ucapannya untuk liburan bersama, tapi mendengar rencana seperti itu saja sudah membuatnya senang. Setelah tante Deyana pergi dengan pajero putihnya, lagi-lagi Sani sendirian di rumah besar ini. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan dirinya. Tidak butuh waktu lama untuk Sani sampai tertidur pulas, bahkan gadis itu sampai lupa dengan Albian yang belum juga memberinya kabar. ............... Hampir satu minggu ini, setiap Sani melihat ponselnya seketika itu juga ia merasa kecewa karena tidak adanya pesan apapun dari Albian. Seakan pria itu menghilang ditelan bumi. Atau memang sesibuk itu dirinya di kampus barunya? Padahal hanya satu pesan singkat yang mengatakan jika pria itu baik-baik saja di sana, pasti Sani akan sangat senang. Sayangnya semua itu tidak pernah ada hingga kini. Jadi Sani mencoba positif thinking dan berpikir mungkin memang Albian sibuk. Apalagi Albian memang pria yang selalu fokus dengan apa yang dikerjakannya. Pria itu selalu serius dalam menuntut ilmu, hal yang terkadang membuat Sani ragu dengan hubungan mereka yang tidak pernah ada kemajuan. Tapi mengingat setelah apa yang telah mereka lalui bersama, Sani berpikir memang Albian serius dengan hubungan mereka. Bukankah Albian sudah mendapatkan semua yang ada pada dirinya? Apa pria itu akan tega meninggalkannya? Sani baru saja sampai di kampusnya saat melihat Areta turun dari sebuah mobil BMW hitam dan tampak berbicara dengan seseorang yang masih berada di dalam mobil itu. Tak lama terlihat Areta mengecup bibir seorang pria itu dengan waktu yang singkat. Seketika Sani menatap ke arah lain, takut ada yang melihat apa yang Areta lakukan. Padahal ini di wilayah kampus tapi Areta berani sekali. Areta kemudian berbalik dan mendapatkan Sani yang sedang menatap ke arahnya. Tanpa rasa sungkan gadis itu malah merangkul pundak Sani. “Aku lagi seneng nih. Nanti makan siang di restoran yang baru buka itu yuk. Aku traktir.” “Habis dapet uang jajan dari Om ya?” ledek Sani yang membuat Areta tergelak. “Tahu aja!” Bukannya malu, Areta malah terlihat begitu bahagia. Seolah kehidupan bebasnya ini adalah sumber kebahagiaannya. Memang kebahagiaan setiap orang berbeda dan tidak ada satupun yang bisa menentukan bagaimana orang akan bahagia. Apalagi menjudge kebahagiaan seseorang, rasanya sangat tidak etis. Tapi tentu tidak semua orang berpikir seperti itu. Banyak yang berpikir jika kebahagiaan didapat dengan cara yang salah, maka itu hanya sebuah kesialan yang tertunda. Termasuk banyak mahasiswa di sini yang menjudge soal Areta. Makanya Areta hanya dekat dengan Sani yang notabenenya tidak suka mengomentari kehidupan bebasnya dan bersikap biasa saja. Dibanding berteman dengan orang sok baik tapi ujung-ujungnya hanya membicarakannya dari belakang. “Yuk ke kelas. Udah mau jam delapan nih.” Sani mengangguk setuju hingga ponsel di dalam sakunya bergetar. Gadis itu pun segera mengeluarkan ponselnya, berharap ada pesan dari Albian. Ternyata hanya pesan dari operator. Gadis itu pun mendengus kesal dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. “Masih belum dikabarin sama Albian ya?” tebak Areta ketika Sani selalu melihat ponselnya dan seketika itu juga wajahnya tampak kecewa seolah yang ia tunggu masih belum datang juga. “Ya gitu deh.” Areta hanya terkekeh kecil dan duduk di kursinya. Hari itu Areta dan Sani lewati seperti biasa. Jam pertama yang masih memiliki semangat yang tinggi dibanding jam-jam berikutnya. Apalagi jika jam setelah makan siang, yang ada malah ngantuk. Untunglah jam pertama itu hanya melihat presentasi-presentasi dari kelompok lain sementara Areta dan Sani sudah maju lebih dulu di minggu sebelumnya. Jadi mereka hanya tinggal menyiapkan pertanyaan untuk menambah poin nilai di mata kuliah itu. Setelah selesai, Areta mengajak Sani membeli kopi di kedai dekat kampus karena jam kedua mereka masih satu jam lagi. Katanya biar nggak ngantuk nanti pas di kelas. Saat Sani duduk di salah satu kursi dan menunggu Areta mengantri membeli kopi untuknya, ia melihat sebuah pesan masuk dari nama Albian. Tanpa lama lagi, Sani langsung melihat pesan itu tapi keningnya kemudian mengerut ketika melihat video yang Albian kirim. “Kok video?” Jari telunjuknya pun menekan video itu dan seketika matanya membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Nggak mungkin.” Sani menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya. Ia meletakkan ponselnya di meja dengan tangan yang bergetar. “Kenapa, San?” tanya Areta saat melihat wajah Sani mendadak pucat dengan ponsel yang menyala dan tergeletak begitu saja di atas meja. Karena penasaran, ia pun mengambil ponsel itu dan melihatnya. “Gila!” Ia menatap Sani tak percaya. Lalu satu pesan masuk lagi dari Albian. ‘Kita putus aja, San J
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN