Seorang wanita beriris mata cokelat gelap itu tampak mengulas senyum tipis saat melihat pesan yang baru saja ia kirim pada seseorang yang sepertinya sangat berarti untuk Albian. Tak apa, toh Albian pun mengijinkannya untuk mengirim pesan seperti itu pada gadisnya. Ia pun melepas wig rambut pirangnya dan menatap pria yang kini terbaring di atas ranjangnya yang sedang tertidur pulas. Bagaimana tidak? Permainan panas mereka sebelumnya tentu membuat pria itu lemas seketika. Tidak ada yang bisa menyaingi permainannya, bahkan wanita mana pun. Termasuk gadis yang mungkin saja sedang patah hati saat ini. Ia tahu gadis itu sudah pernah tidur juga dengan Albian. Bahkan menyerahkan kehormatannya sendiri atas nama cinta, sungguh bodoh. Gadis itu tidak tahu saja bagaimana buasnya seorang Albian di atas ranjang meski umurnya masih tergolong muda.
Wanita itu juga akui jika permainan Albian jauh lebih menyenangkan. Pria itu tidak sungkan untuk membuatnya mencapai klimaks terlebih dahulu sebelum akhirnya pria itu sendiri yang mencapai puncak kenikmatannya. Albian bukan tipe pria egois yang hanya ingin merasa puas tanpa memuaskan teman ranjangnya. Itu yang menjadi penyebab dirinya tidak bisa lepas dari sosok Albian dan merelakan pernikahannya dulu. Tapi untuk saat ini ia memang butuh sebuah status dan bersama Albian tentulah tak bisa ia dapatkan semua itu. Sayangnya, mantan suaminya sangat keras kepala dan tidak mau menerima dirinya lagi. Sementara jika ia bersama Albian secara terbuka, yang ada ia akan menjadi buah bibir di keluarga pria itu.
“Aku sudah mengiriminya pesan. Pasti setelah ini dia tidak akan mengganggumu lagi dan kita bisa bebas melakukan apapun. Jangan khawatir, dia hanya gadis ingusan dan tidak penting. Kehilangan dia jelas tidak berarti apapun untukmu, kan?” ucap wanita itu ketika melihat mata Albian terbuka dan hanya menatapnya dengan senyuman tipis yang menggoda.
“Tentu saja. Aku kan sudah puas mencobanya.”
“Jadi, lebih enak bermain dengan siapa?” tanya wanita itu sembari menghampiri Albian dan memeluk leher pria itu dari belakang.
“Tentu denganmu. Bukankah janda jauh lebih menggoda?” goda Albian yang membuat wanita itu tersenyum tipis dan bermain di lehernya, membuat pria itu kembali merasa panas dan siap untuk permainan selanjutnya.
...............
“Sani! Udah deh. Kamu udah hampir seminggu kayak gini.” Areta mengguncang tubuh Sani yang saat ini masih saja berbaring di ranjangnya. Sani memang tetap berkuliah seperti biasa dan bekerja paruh waktu seperti biasa, tapi wajahnya tampak tak bersemangat. Seperti orang yang tidak punya semangat hidup lagi. “Kamu di sini kayak mayat hidup tapi di sana Albian lagi seneng-seneng tidur sama bule. Biarin dia kena penyakit kelamin sekalian gara-gara suka mainin perempuan kayak gini.” Ia tampak gemas dengan wajah polos Albian yang ternyata menyembunyikan kebrengsekan pria itu. Bahkan sahabatnya sendiri jadi korban.
Sani menutupi tubuhnya dengan selimut, berusaha menulikan pendengarannya dari omelan Areta. Padahal ia sengaja bolos hari ini, tapi sahabatnya itu tahu-tahu sudah berada di depan rumahnya. Tak tega, Sani tentu saja membukakan pintu dan membiarkan Areta masuk. Meski ia tahu Areta hanya akan mengomelinya.
Benar kata tante Deyana, tak seharusnya Sani terlalu memberikan kepercayaan pada Albian. Bagaimana pun juga hubungan mereka masih hanya berpacaran dan belum ke jenjang serius sedikitpun. Hanya karena Sani merasa senang diperhatikan oleh Albian, ia jadi bodoh dan melakukan semuanya dengan pria itu. Padahal pasti Albian hanya ingin memanfaatkannya. Memanfaatkan dirinya yang haus kasih sayang karena telah lama ditinggal oleh kedua orangtuanya.
“Mending kita seneng-seneng, cari cowok lagi. Yang jauh lebih baik dari Albian banyak!” sahut Areta lagi dengan berapi-api. Ia tidak rela sahabatnya sakit hati hanya karena pria semacam Albian.
“Mana mungkin. Aku aja begini, Ta. Mana ada cowok yang mau sama aku.” Sani mendesah pelan. Lagi-lagi menyesali keputusannya dulu yang dengan bodohnya menyerahkan harga dirinya pada Albian. Hingga kini ia jadi kehilangan mahkota wanitanya. Membuatnya merasa begitu bodoh dan kotor.
“Ssssttttt! Kamu itu tetap berharga, San. Apapun yang ada di diri kamu itu berharga. Dan Albian sama sekali tidak pantas mendapatkannya. Apapun keadaan kamu sekarang, kamu berhak bahagia.” Areta mengusap-usap punggung sahabatnya.
Sani membuka selimut yang menutupi tubuhnya, menatap sahabatnya yang kini duduk di sampingnya. Meski mungkin yang Areta alami sebelumnya jauh lebih dalam dari apa yang pernah Sani lakukan dengan Albian, tapi sepertinya Areta jauh lebih kuat dan bisa mengendalikan dirinya. Toh sejak dulu Areta memang seperti itu. Tidak seperti dirinya yang terlihat polos, tapi... ah sudahlah!
“Pokoknya aku akan ajarin kamu cara bersenang-senang. Gimana? Mau nggak?”
Merasa putus asa, Sani pun menyetujui ide Areta. Entah ide macam apa dan bagaimana cara bersenang-senang yang Areta maksud, Sani akan mengikutinya. Dibanding ia hanya seperti ini, rasanya benar-benar membosankan.
Sialnya, Sani hampir lupa tentang kebiasaan Areta yang jelas jauh berbeda dengannya. Ia tidak menyangka jika Areta akan mengajaknya ke ‘dunia’ yang telah lama gadis itu geluti. Bukan, bukan untuk bertemu om-om seperti yang biasa Areta lakukan melainkan main ke club malam. Satu-satunya tempat yang tidak pernah Sani injak sebelumnya. Ia tak pernah membayangkan dirinya berada di dalam club malam, masuk ke dalamnya saja baru kali ini.
Suara musik yang memekakkan telinga ditambah lampu yang berkedap kedip membuat Sani mendadak pusing. Ia mengeratkan pegangannya di lengan Areta dengan wajah cemas dan was-was menyadari banyak yang memperhatikan mereka berdua. Pantas saja sebelum ke sini, Areta memaksanya mampir ke apartemen gadis itu dan mengganti pakaiannya dengan dress selutut berwarna hitam.
“Santai aja, San. Gue kenal orang-orang di sini kok.” Areta menepuk punggung tangan sahabatnya. “Itu temen gue!” Ia menunjuk sekumpulan pria yang mungkin usianya tak jauh beda dari mereka. Yang jelas semua teman Areta tampan, sepertinya gadis ini memang pintar mencari teman pria. “Hai!” Sapanya begitu mendekat.
“Hai, Ta! Wah! Temen lo nih? Cakep juga,” ucap salah satu pria berambut cokelat gelap. Aroma alkohol tercium dari mulutnya, membuat Sani seketika mual.
Sani berusaha ramah pada teman-teman Areta demi menghargai sahabatnya, meski sebenarnya ia tak nyaman. Apalagi mereka berkomunikasi dengan suara keras, seolah berlomba dengan kerasnya musik di ruangan ini. “Gue pesen minum dulu ya.”
“Loh, ini minuman semua di depan lo. Tinggal pilih, San,” ucap Aldo seakan sudah sangat akrab dengan Sani.
Sani tersenyum sopan dan menggeleng. “Gue nggak minum alkohol.”
“Jangan dipaksa. Dia mau seneng-seneng makanya gue ajak ke sini. Jangan malah lo racunin,” ucap Areta memperingatkan Aldo.
“Ya, seneng-seneng di klub mah ya begini caranya, Ta. Kalo nggak mau yang ada alkoholnya ya ke dufan sono.” Aldo tertawa menanggapi ucapan Areta.
Mengabaikan ucapan dari Aldo, Sani tetap berjalan menuju meja bartender. Ia terlihat bingung melihat buku menu di depannya. Nama-nama minuman di menu asing dan ia tidak tahu mana yang mengandung alkohol dan mana yang tidak.
“Orange juice, please.” Suara pria di sampingnya membuat Sani sedikit was-was. Apalagi pria itu menatap ke arah Sani sembari tersenyum tipis. Dia cukup tampan dengan rambut-rambut halus di sekitar wajahnya. “Di menu itu hanya tertulis semua minuman beralkohol. Kalo mau yang nggak ada alkoholnya kamu bisa langsung memesan orange juice atau soda.”
Sani mengangguk mengerti.
“Ini untukmu,” ucap pria itu lagi, mendorong segelas orange juice ke arah Sani.
“Loh, itu kan punya anda?” tanya Sani merasa sungkan.
“Aku akan pesan lagi. Minum lah. Kau pasti haus sedari tadi hanya dikelilingi minuman alkohol.”
Merasa senang ada yang mengerti keadaannya, Sani pun meminum orange juice di depannya tanpa curiga sedikit pun. Gadis berambut cokelat itu melihat pria di sampingnya tersenyum manis sembari menikmati satu kaleng bir. Entah kenapa kepalanya terasa pusing juga tubuhnya terasa panas. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja.
“Kau kenapa?” tanya pria itu dengan wajah khawatir.
Sani menggelengkan kepalanya pelan, berusaha untuk tetap sadar. Namun sekelilingnya seperti berputar-putar. “Pusing.”
“Mau kubantu?”
Ketika kesadaran Sani hampir hilang, seorang pria bertubuh tegap menghampiri Sani dan mencengkeram tangan pria yang berusaha menyentuh gadis itu. “Jauhkan tanganmu, bung! Atau kupatahkan sekarang juga.”