Sore harinya setelah semua mata kuliahnya selesai, Sani seperti biasa bekerja di coffe shop miliknya sampai jam Sembilan malam. Ini sudah menjadi rutinitasnya hampir setiap hari. Karena meski bebas dari biaya kuliah, ia masih harus menghidupi dirinya untuk uang sakunya. Sebenarnya Sani tinggal bersama Tantenya, adik dari ibunya. Untuk makan pun biasanya Tantenya sudah menyiapkan bahan-bahan makanan di dalam lemari es. Jadi Sani tinggal mengolahnya saja. Ya, meski tantenya itu sangat sibuk mengingat pekerjaannya adalah sebagai desainer ternama dan sering ke luar kota bahkan ke luar negri untuk menghadiri berbagai acara fashion show dari gaun rancangannya.
Sebenarnya Sani tidak pernah kekurangan uang. Tantenya pun sering memberinya uang saku yang lebih sering Sani tabung di rekening pribadinya. Ia lebih suka menggunakan uang dari hasil kerja freelancenya untuk memenuhi kebutuhannya di luar rumah. Untung saja ia dapat beasiswa jadi ia tidak terlalu merepotkan tantenya lagi. Bagaimana pun juga tantenya itu punya kebutuhan juga dan ia hanya menumpang. Sani hanya mencoba untuk tahu diri.
Sebagai anak yatim piatu yang dirawat oleh Deyana- tantenya… Sani sudah merasa sangat beruntung karena setidaknya ia tidak hidup sebatang kara. Toh Deyana pun kehidupannya sangat bebas, sampai di umur ke tiga puluh tahun ini, wanita itu masih sibuk dengan karirnya dan belum ingin menikah. Tapi jangan salah, kekasihnya tampan-tampan meski hanya jadi kekasih saja, tidak lebih.
“Americanonya satu.” Sebuah suara membuat Sani mengangkat kepalanya, tadinya gadis itu sedang menulis laporan keuangan hari ini di buku khusus agar tidak terjadi selisih antara uang yang didapat dengan modal yang keluar. Demi menghindari dirinya dari ‘nombok’.
Saking seriusnya Sani sampai tidak mendengar suara dentingan dari bel setiap pintu masuk terbuka.
“Oh iya. Atas nama siapa?” tanya Sani dengan sopan. Ia memperhatikan pria berperawakan tinggi itu. Tubuhnya seperti terbentuk sempurna, mungkin dia rajin olahraga.
“Steve. Tolong cepat ya,” ucap pria bernama Steve itu yang sesekali melihat ke arloji di pergelangan tangannya.
“Baik. Semuanya lima puluh ribu,” ucap Sani dan pria itu langsung menyerahkan selembar uang padanya dan kini malah fokus ke ponselnya. Gadis itu hanya menghela nafas sejenak lalu mengambil uangnya. Ia pun segera menyiapkan pesanan pria itu dan menyerahkannya. Namun karena pria itu lengah, tangannya malah tidak menangkap cup pemberian Sani dan berakibat satu cup Americano dingin itu jatuh ke lantai.
“Kamu gimana sih?! Saya belum pegang cupnya tapi udah dilepas.
“Loh, bapak sendiri yang nggak bener pegangnya. Malah lihat ke hape aja. Kok nyalahin saya?” Sani jadi ikut emosi juga karena disalahkan begitu saja. Padahal ini bukan kesalahannya. Pria itu yang lengah karena fokus ke ponselnya saja.
“Jadi kamu malah menyalahkan saya? Nggak bener banget kerjanya. Mana bos kamu?”
Mendengar adanya keributan di luar, Evan--- pemilik coffe shop ini pun keluar dan mencoba melerai pertikaian antara Sani dengan pembelinya. “Ada apa ini, San?” tanyanya.
“Itu pak. Saya udah ngasih Americanonya tapi bapak ini pegangnya nggak bener, jadi tumpah, kan.” Sani mengerucutkan bibirnya.
“Loh masih nyalahin saya?!” Pria bernama Steve itu masih tak terima. Kulitnya yang putih mendadak memerah karena menahan amarah yang memuncak. Mata bulatnya bahkan seperti ingin keluar. Sebenarnya darimana asalnya makhluk macam ini?
“Sudah pak sudah.” Evan berusaha melerai. “Biar kami gantikan dengan yang baru.”
“Tidak perlu. Saya sudah tidak berminat lagi.” Pria itu malah berbalik dan keluar dari coffe shop dengan langkah yang cepat.
“Ish!” Sani benar-benar kesal dibuatnya. Ia sangat heran dengan orang yang terlalu menyibukkan diri dengan ponselnya dan mengabaikan kehidupan nyatanya. Lalu jika terjadi kesalahan, malah menyalahkan orang lain? Padahal dia sendiri yang abai. Memangnya apa yang menarik dari ponselnya sampai dia sefokus itu?
“Sani.” Suara lembut Evan membuat Sani menoleh dengan perasaan takut.
Meski Sani tahu jika bosnya itu tak pernah marah apalagi setiap pelanggan di coffe shop ini punya karakter yang berbeda-beda, tetap saja ia merasa bersalah. “Maaf, Pak.”
Evan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu memang pria tadi yang salah karena ia melihat dari CCTV yang ditayangkan di ruangannya. Jadi jelas ia tidak akan menyalahkan pegawainya. Apalagi Sani terkenal cekatan dan pegawai yang pintar. Sani bahkan tidak pernah selisih uang selama ini dengannya. “Ya sudah kamu kerja lagi. Lain kali lebih sabar menghadapi pelanggan seperti itu,” ucapnya dengan suara pelan. “Saya kembali ke ruangan dulu.”
Sani menghela nafas panjang. Untunglah bosnya sangat baik dan tidak langsung menyalahkan pegawainya hanya karena kelalaian pelanggannya. “Ah! Kenapa hari ini menyebalkan sekali.”
…………..
Malam harinya, seperti biasa Albian akan menjemput Sani dari coffe shopnya. Sudah menjadi rutinitas pria itu setiap malam apalagi Albian jarang sekali bisa tidur cepat. Lagipula ia juga tidak tega membiarkan Sani pulang sendirian malam-malam begini. Banyak sekali kasus kriminalitas di jalanan pada mala hari dan ia ingin memastikan kekasihnya aman sampai di rumahnya.
“Kok mukanya kusut?” tanya Albian begitu Sani masuk ke dalam mobilnya dan gadis itu menguncir rambutnya secara asal, membuat leher jenjangnya terlihat jelas. Ditambah kaos tipis yang Sani kenakan membuat ia menelan air liurnya sendiri.
“Tadi ada pelanggan nyebelin. Udah kayak orang i***t fokunya ke ponsel terus, giliran minumannya jatuh malah nyalahin aku,” adu Sani sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia memang sering curhat ke Albian tentang hal apapun yang ia alami. Karena baginya, bercerita ke Albian akan membuatnya sedikit lega.
“Oh ya? Ya namanya juga manusia punya karakter berbeda, sayang.” Albian mengusap rambut Sani dengan lembut lalu mulai menyalakan mobilnya dan melajukannya di jalanan ibukota yang cukup lengang malam ini.
“Tetep aja nyebelin. Udah gitu marah-marah nggak jelas. Untung pak Evan tahu kalo tuh cowok yang salah.” Sani menggembungkan pipinya, pertanda jika gadis itu merasa kesal sekali.
“Ya udah. Mau beli es krim nggak sebagai peningkat mood?” tanya Albian, berharap mood kekasihnya saat ini akan membaik.
Sani malah menggeleng. “Aku mau langsung pulang aja terus masak mie rebus pake telor sama cabe rawit yang banyak.” Ia mengepal tangannya seolah semangat untuk meningkatkan moodnya lagi.
“Tuh kan pedes-pedes terus makannya.” Albian geleng-geleng kepala di tempatnya.
“Moodku akan langsung membaik kalo makan makanan yang pedes, Bi. Dan lihat… “ Sani menunjuk ke arah jendela mobil yang mulai tampak rintik-rintik hujan dan semakin deras. “Hujan gini enaknya makan mie.” Ia tersenyum lebar, menunjukkan dua lesung pipinya yang dalam. “Kalo kamu mau nanti aku buatkan deh.”
“Ya udah ya udah terserah kamu. Asal jangan sering-sering. Apalagi pas aku nggak ada nanti, jangan keseringan makan yang pedes. Mau apa diare lagi?” tanya Albian yang teringat akan beberapa bulan lalu jika Sani sempat dirawat di rumah sakit karena diare yang dideritanya. Bahkan ia hampir terkena usus buntu saking seringnya makan makanan pedas.
“Iya. Nggak sering-sering kok.” Nggak sering-sering ketauan maksudnya. Hehehe.
Begitu sampai di rumah Sani yang cukup besar dengan model minimalis itu, hujan turun semakin deras. Hingga mereka berdua sampai kebasahan saat Albian membuka pintu gerbang milik Sani dan saat berjalan ke teras rumahnya dari arah halaman karena memang tidak ada penutupnya.
Lampu di rumah Sani masih belum dinyalakan pertanda jika Deyana masih belum pulang.
“Tante kamu nggak ada?” tanya Albian sembari melepas jaket jeans yang dikenakannya karena sudah basah kuyup. Lalu menggantungkannya di kursi yang ada di teras. Ia melepaskan sepatunya yang basah dan menggantungnya agar airnya cepat kering.
“Kayaknya masih di Solo deh. Soalnya tante belum ngabarin akan pulang.” Sani merogoh tasnya dan mengambil kunci dari sana. Sudah biasa jika di rumah ia lebih sering sendirian saking sibuknya Deyana dengan segala aktifitas wanita itu. Begitu mendapatkan kuncinya, gadis itu langsung membuka pintunya dan menyalakan lampu depan, ruang tamu, dan lampu dapur. Ia tidak terlalu suka gelap. Apalagi jika sendirian. “Mau minum apa?” tanyanya ketika Albian masuk dan duduk di ruang TV.
“Apa aja deh yang hangat.” Albian mengusap-usap telapak tangannya sendiri.
Sani pun masuk ke dalam ruang dapur setelah meletakkan tasnya di meja. Ia segera membuatkan dua cangkir cokelat panas yang sangat pas diminum saat sedang cuaca dingin seperti ini. Suara petir di luar membuatnya memejamkan mata sekilas. Ia sangat tidak suka suara itu. Seakan suara itu sedang menakutinya.
Tak lama ia pun kembali ke tempat Albian, pria itu sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer yang ada di sana. Albian memang terbiasa menggunakan apa saja di rumah ini, menganggapnya seperti rumahnya sendiri karena saking seringnya ke sini. Tante Deyana pun sudah mengenalnya dengan baik.
“Nih diminum dulu,” ucap Sani sembari meletakkan cangkir berisi cokelat panas. “Awas panas.”
“Iya. Thanks ya.” Albian tersenyum tipis. Sayangnya matanya malah tertuju pada belahan d**a Sani yang tercetak di kaos putihnya yang basah. Sial!