Tokk Tokk!
“Siang Bu. Aku boleh masuk nggak?”
Denallie berdiri di ambang pintu, menunggu diizinkan masuk oleh Lulu. Sebenarnya ia bisa saja masuk ke ruangan kerja ibu panti, hanya saja ia masih mengingat adab yang diajarkan. Bersikap sopan meski Denallie begitu dekat dengan Lulu.
“ Siang Dena. Ayo masuk sini,” ucap Lulu sedikit kegat.
Lulu yang tengah fokus pada dokumen di atas meja, sampai melepaskan kaca matanya saking senangnya Denallie datang berkunjung.
“Bu, apa kabar?”
“Baik. Kamu sendiri gimana? Ibu kangen sama kamu.”
“Aku baik, Bu. Maaf baru sempat pulang, soalnya lagi sibuk.”
Lulu mengangguk. “Ayo duduk dulu.”
Denallie mengikuti Lulu berjalan menuju sofa yang ada di ruangan itu. Sofa yang menemani perjuangan Lulu untuk merawat dan menjaga panti ini dengan baik. Menjadi saksi bawah tempat ini tumbuh dengan cara yang tidak mudah. Namun akhirnya selalu bisa melewati setiap batu krikil yang menjadi penghalang.
“Ibu lihat kamu agak kurusan. Kantung mata kamu juga kelihatan jelas. Apa nggak sempat istirahat?”
Denallie mengusap wajahnya sendiri. Beberapa hari ke belakang, nafsu makannya memang berantakan. Pikirannya penuh dengan beban. Orang yang jadi tumpuannya, justru menambah tekanan sehingga Denallie mengalami sulit tidur. Belum lagi batas waktu yang diberikan Petra sudah hampir habis, sehingga ia harus cepat memberikan jawaban akhir.
“Iya Bu. Kebetulan aku dapat banyak job selain di kafe. Mungkin karena itu jam istirahatku jadi berkurang.”
“Bukan karena kamu putus sama pacar kamu? Siapa itu namanya, Jiro ya?”
Sudah bisa Denallie tebak siapa dalang dari tahunya Lulu akan kejadian yang menimpanya. Felicia memang tidak memegang janjinya. Padahal ia sengaja tidak cerita demi tidak membuat Lulu banyak pikiran.
“Dena, kok bengong?”
“Maaf Bu, harusnya Ibu nggak tahu soal ini. Tapi ya, aku memang sudah putus sama Jiro. Dia selingkuh tapi nggak ngaku padahal ada buktinya. Sekarang aku ngaku kalau masalah ini yang bikin berat badanku juga turun,” jelas Denallie tanpa ditutupi lagi.
Mendengar penuturan Denallie, Lulu menghela napas karena kasihan. Walaupun sudah dengar dari Felicia, tapi saat Denallie yang menjelaskan langsung, Lulu turut merasakan sakitnya jadi Denallie.
“Jadi sekarang dia masih ganggu kamu?”
“Enggak Bu. Tapi Ibu harus tahu fakta yang lebih giila lagi. Jiro ternyata anaknya Bu Anne alias adiknya Gentala.”
“Ibu sudah tahu, Feli juga cerita kok. Gentala kan yang bantu kasih bukti kalau Jiro punya pacar lagi selain kamu.”
“Jadi dia cerita semuanya,” keluh Denallie. “Tapi syukurlah Ibu sudah tahu. Setidaknya aku perlu ulang ceritanya karena aku nggak suka.”
Lulu menggeser duduknya agar bisa lebih dekat dengan Denallie. Dengan lembut, menyentuh tangan Denallie layaknya seorang ibu yang ingin menenangkan anaknya.
“Lupakan soal Jiro, kamu harus fokus dengan masa depan.”
“Maunya begitu, Bu. Tapi …”
“Tapi apa, nak?” tanya Lulu.
Denallie ragu untuk mengatakan apa yang sejujurnya ia rasakan. “Aku masih punya utang jawaban sama Pak Petra. Dan besok batas akhirnya, Bu.”
“Dan kamu masih belum punya jawabannya?”
Pertanyaan Lulu tidak bisa Denallie jawab meski sudah terbesit apa yang akan ia katakan kepada Petra nantinya. Hanya saja, masih ada keraguan dan ia takut dengan keputusan yang akan diambil.
“Baiklah, Ibu nggak akan maksa kamu buat kasih tahu sekarang. Ibu pasti sabar nunggu besok, setelah kamu ketemu Pak Petra.”
“Apa pun keputusanku, Ibu tetap dukung aku, kan?”
“Tentu, Sayang.” Lulu mengusap pucuk kepala Denallie dengan lembut. “Pesan Ibu, jangan takut untuk melangkah, Dena. Apa pun jalan yang kamu pilih, yakinlah itu yang terbaik. Kalau kamu yakin, semuanya akan lebih mudah. Dan satu lagi, rasa kecewa atas apa yang Jiro lakukan, jadikan cambuk untuk menunjukkan kalau kamu tetap tegak meski dia pernah mematahkan hatimu.”
Terharu dengan pesan sang ibu, membuat Denallia tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk wanita itu. Mencari sebuah kehangatan yang selama ini menemaninya tumbuh dewasa. Dan hari ini, perasaannya sedikit lega, setelah mendapatkan nasihat dan doa dari sosok yang ia sayangi.
“Terima kasih ya, Bu. Maaf kalau nanti, aku buat Ibu kecewa.”
“Iya Sayang. Nggak selamanya seorang anak bisa mengisi semua keinginan orang tuanya. Dan kamu berhak atas hidup kamu, meski nanti nggak sesuai sama yang Ibu harapkan, Ibu teteap dukung kamu.”
***
Ruangan dingin dengan Ac yang menyala, tidak mampu membuat tubuh Denallie merasa sejuk. Bulir-bulir keringat dingin muncul tanpa bisa ditahan, bahkan tangannya pun ikut basah. Saking tegangnya, tidak sadar menggigit bibir bawah demi menenangkan hatinya. Ruangan kerja Petra seperti siap menelannya hidup-hidpu, mengintimidasinya yang datang sebagai tamu. Ia segera mengambil beberapa lembat tisu untuk menghapus jejak keringat di wajah serta tangannya.
“Maaf Dena, kamu menunggu lama. Ada pertemuan mendadak dan sangat penting, jadi terpaksa kamu yang harus nunggu,” ucap Petra begitu masuk ke ruangan.
Denallie bangun dari duduknya, membalas uluran tangan dari ayah Gentala. “Nggak apa-apa, Pak. Saya bisa nunggu kalau memang masih ada pekerjaan penting.”
“Sekarang sudah selesai, jadi mari kita ngobrol.”
Siang ini Denallie memutuskan untuk bertemu Petra setelah kemarin memberanikan diri untuk menelepon laki-laki itu. Awalnya ragu datang ke gedung di mana perusahaan Petra beroperasi. Ada rasa sungkan sekaligus minder. Merasa tidak pantas bertemu pemilik dari perusahaan yang memiliki banyak cabang apotek di seluruh Indonesia. Bahkan saat sampai di gedungnya, Denallie masih dibuat tidak percaya bahwa ia bisa mengenal keluarga Daneswara yang kaya raya.
“Kamu bilang mau ngomong penting sama saya. Apa itu, nak?” tanya Petra.
Denallie berdeham pelan agar tidak gugup. Ia menyempatkan diri untuk meneguk air putih dingin yang disajikan di atas meja. “Sebelumnya saya minta maaf karena ganggu waktu Pak Petra.”
“Nggak masalah sama sekali. Saya justru senang kamu mau datang ke sini.”
“Saya nggak akan basa-basi, Pak Petra. Saya mau ketemu Bapak, karena ini hari terakhir dari waktu yang Anda berikan untuk saya.”
“Maksudnya, kamu mau kasih jawaban atas rencana perjodohannya?”
Denallie mengangguk pelan. “Saya sudah punya jawaban akhirnya, Pak.”
“Baiklah, kasih tahu saya apa jawaban kamu? Dan pastikan, sebelum kamu jawab, kamu harus yakin karena saya tidak mau kamu berubah pikiran.”
Mendengar itu, Denallie terdiam. Otaknya terus bekerja, memikirkan lagi bahwa jawaban yang akan ia berikan tidak akan merugikannya. Meski begitu, pasti ada saja kensekuensi dari keputusan yang ia pilih. Maka sebelum menjawab, ia mengambil napas pelan, lalu mengebuskannya.
“Sa – saya, mau menikah dengan Gentala dan saya siap jadi menantu keluarga Daneswara,” jawabnya dalam satu tarikan nafas.
Suasana di dalam ruang kerja Petra mendadak hening. Denallie diam sambil menenangkan degup jantungnya setelah mengutarakan keputusannya. Sedangkan Petra seperti tidak menyangka dengan apa yang Denallie katakan.
“Kamu sudah yakin, Dena? Gimana dengan pacar kamu?”
“Pacar atau lebih tepatnya mantan saya, dia selingkuh dan kami sudah putus,” jawabnya tegas.
Petra tersenyum begitu tenang. “Keputusan kamu pasti berat, ya. Tiba-tiba putus dan akhirnya menerima perjodohan ini. Saya sangat salut dengan keyakinan kamu. Tapi ada yang mau saya tanyakan ke kamu, Denallie.”
“Apa itu, Pak?”
“kamu yakin bisa menyayangi Gentala?” tanya Petra dengan raut wajah serius.
“Saya akan coba. Semuanya akan saya mulai dari awal, bersama Gentala.”