21. TANDA SEBAGAI CALON PASANGAN

1230 Kata
Perhatian Denallie saat ini tertuju pada ponsel yang ada di kedua tangannya. Ia membalas pesan Felicia dan juga Abila yang masuk secara bersamaan. Berita yang ia sampaikan lewat pesan singkat menimbulkan kegemparan. Mengenai keputusannya yang akhirnya menerima tawaran perjodohan dari Petra. Sampai sekarang Denallie belum percaya pada dirinya sendiri, sudah melangkah sejauh ini. Siapa sangka, usianya yang masih tergolong muda, nantinya harus bergelut dengan kehidupan rumah tangga. Yang lebih parah, calon suaminya adalah orang asing yang belum ia kenal betul bagaimana sifatnya. Hanya menyabalkan dan mesuum, itulah penilaian Denallie terhadap Gentala. “Sudah lama?” Denallie terkesiap karena suara yang tiba-tiba muncul dari arah depan. Wajahnya mendongak, mendapati Gentala sudah berdiri dengan raut wajah santai namun tengil. Jika ingat bagaimana menyebalkan laki-laki ini, Denallie ingin membatalkan keinginannya. Tapi jika ingat dengan Jiro, justru keinginan menikah dengan Gentala sangat besar. “Aku kira kamu nggak datang,” ujar Denallie sambil menyimpan ponsel di dalam tas. “Kamu telat 10 menit.” Gentala tersenyum, sambil tangannya menarik kursi yang akan ia duduki. “Lebih tepatnya saya terlambat 8 menit, jangan coba-coba korupsi waktu. Lagi pula, saya lagi banyak kerjaan, jadi kamu harus maklum.” “Iya iya, aku tahu kamu dokter yang sibuk, aku nggak akan protes.” “Bagus. Sekarang kamu mau ngomong apa?” Denallie belum menjawab karena kopi yang dipesan langsung oleh Gentala sedang diletakkan di atas meja. Membiarkan pelayan pergi, baru ia bicara lagi. Selagi menunggu, ia memperhatikan sosok laki-kaki yang duduk di seberangnya, terpisah oleh meja. Harus Denallie akui, Gentala memiliki penampilan yang dewasa, tapi bukan tua. Selayaknya laki-laki yang berasal dari keluarga kaya, pembawaannya sangat berkelas. Terkadang ia sampai berpikir, bagaimana dinginnya Gentala saat diam dan serius. Andai ia tidak bertemu Jiro lebih dulu, mungkin akan terpesona dengan Gentala. Hanya saja, karena sudah sedikit tahu sifat laki-laki ini, membuat Denallie sulit untuk bersikap ramah atau santai. “Lagi lihat apa?” tanya Gentala mengagetkan Denallie. “Kenapa? Mulai terpesona sama penampilan saya?” Denallie berdecis sambil memutar bola matanya. “Kamu terlalu percaya diri. Terpesona dari mana, kalau kenyataannya kamu menyebalin.” “Oke, baik. Kita langsung saja karena waktu saya juga nggak banyak. Kamu mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku mau nanya, apa Pak Petra nggak ngomong apa-apa sama kamu?” “Papa?” Gentala menggeleng. “Enggak. Memangnya kenapa?” “Ya nggak apa-apa, Cuma mau nanya,” jawabnya. Denallie mengambil gelas berisi jus jeruk yang dingin. Sengaja memesan ini karena di luar cuaca cukup panas. Ditambah bicara dengan Gentala pasti akan menguras tenaga dan pikirannya. “Aku sudah putus sama Jiro. Menyebalkan sekali karena dia nggak ngaku padahal aku sudah kasih bukti. Tapi aku nggak peduli, setidaknya aku sudah puas bisa kasih hadiah perpisahan yang memuaskan.” “Terus?” Gentala bersikap santai dan cenderung biasa saja saat tahu fakta ini. “Apa hubungannya dengan pembicaarn sekarang?” tanyanya. “Ada, aku mau nikah sama kamu. Perjodohannya aku terima,” jawabnya dengan nada tinggi namun terdengar gugup. Gentala bergeming, matanya masih tertuju pada Denallie. Seakan ucapan wanita itu tidak berarti apa-apa. Tentu saja sikapnya ini membuat lawat bicaranya menjadi tidak nyaman dan canggung. Tetapi, ia memang tidak berniat untuk antusias pengakuan Denallie. “Kamu nggak setuju kalau aku jadi terima perjodohannya?” tanya Denallie. “Saya nggak pernah bilang begitu, kan?” ucapnya lalu menyesap kopi hitam di dalam cangkir. “Malam itu, saya sudah kasih jawaban kalau saya nggak keberatan tentang rencana pejodohan kita. Tapi kamu yang nolak dengan alasan punya pacar.” “Tapi sekarang reaksi kamu kenapa begitu?” “Bagaimana?” tanya Gentala balik. Wajah Denallia berubah tidak antusias dengan pembicaraan ini. “Nggak apa-apa, lupakan. Mungkin nanti aku kasih tahu Pak Petra lagi kalau aku berubah pikiran.” “Maksud kamu?” tanya Gentala dengan kening mengkerut. “Kenapa berubah pikiran?” “Karena kamu nggak antuasias jadi buat apa. Toh aku juga nggak cinta sama kamu dan terpaksa aja karena …” Kalimat Denallie menggantung. Wajahnya jadi memerah karena hampir saja mengatakan hal yang seharusnya ia simpan sendiri. Takut kalau Gentala tahu, maka rencananya jadi berantakan akibat dianggap memanfaatkan. Kedua mata Gentala menyipit, memandang dengan curiga. “Karena apa?” “Enggak kok, Cuma kelebihan ngomong,” elak Denallie panik. Gentala memajukan badannya, memberi tatapan tajam seperti mengintimidasi. “Jangan bohong Denallie atau niat kamu akan gagal.” “Niat?” “Iya niat. Niat dari keputusan kamu yang akhirnya setuju nikah sama saya. Pasti ada alasan khusus, kan. Nggak mungkin kamu yang sejak awal ngotot menolak, sekarang langsung mau setelah putus sama Jiro.” Seperti tertangkap basah, Denallie merasa dikuliti oleh Gentala. Keadaannya terdesak dan jika mundur maka akan jadi panjang urusannya. Ia berharap Gentala mau membantunya. “Kamu benar. Aku mau nikah sama kamu karena aku mau balas dendam sama Jiro. Aku mau buktiin kalau bukan Cuma dia yang bisa nyakitin tapi aku juga bisa. Dan satu lagi, dia harus tahu kalau aku nggak akan terpuruk hanya karena putus sama dia,” jelas Denallie dengan lantang. Pengakuan wanita di hadapannya seketika membuat tawa Gentala. Ternyata Denalllie cukup polos karena dipancing sedikit langsung membuka semuanya. Pantas saja Jiro berhasil berselingkuh karena wanita ini masih begitu naif. “Kok ketawa, memang ada yang lucu?” tanya Denallie kesal. “Maaf, tapi nggak tahu kenapa, saya merasa kamu lucu,” jawabnya. “Oke, sekarang aku tanya. Kalau kamu sudah berhasil balas dendam, lalu apa lagi? Kamu minta cerai dengan saya?” “Soal itu …” “Saya kasih kamu waktu dan pikirkan baik-baik. Saya sebagai laki-laki, mudah saja menikah tanpa cinta. Tapi kamu, pasti akan merasakan tertekan. Dan saya malas kalau ke depan justru muncul banyak masalah.” Denallie menggeleng. “Enggak, jawabanku sudah bulat. Kalau nggak yakin, mana mungkin aku kasih tahu Pak Petra. Soal masa depan tentang rumah tangga kita, itu urusan nanti. Yang penting Pak Petra senang dan aku juga bisa melakukan tujuanku. Tenang saja, aku jamin kamu nggak akan repot selama kita jadi pasangan suami istri,” jelasnya. “Baiklah. Kalau memang sudah yakin, saya nggak akan mau tahu jika nanti kamu berubah pikiran,” ucap Gentala penuh penekanan. “Deal?” Gentala membalas uluran tangan Denallie. “Deal.” Beberapa detik kemudian, ponsel milik Gentala berdering. Laki-laki itu segera menjawab panggilan telepon yang nampak penting. Sementara itu, Denallie fokus pada minumannya demi menenangkan hati setelah kesepakatan terjadi antara dirinya dan Gentala. “Maaf, saya harus balik ke rumah sakit. Pembicaraan kita sudah selesai, kan?” Denallie mengangguk. “Sudah.” “Baiklah. Urusan pertemuan keluarga dan persiapannya kita bisa bahas nanti. Saya harus pergi sekarang juga.” “Oke.” Denallie melihat Gentala beranjak dari duduknya dan bersiap pergi. Tetapi laki-laki itu mendadak berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang. “Ada apa lagi?” Pertanyaan Denallie dijawab dengan sebuah kecupan di pipi yang diberikan oleh Gentala. Kedua matanya membola, tidak menyangka kalau Gentala akan seberani ini, bahkan di tempat umum. Perasaannya campur aduk, sulit untuk mencerna situasi ini. “Ciuman ini sebagai tanda kalau sekarang kita calon pasangan suami dan istri,” ucapnya sambil mengacak pucuk kepala Denallie lalu pergi. Mulut Denallie terbuka dengan raut wajah syok. Ingin rasanya memberi pelajar atas tindakan tidak sopan Gentala. Namun sayang, tubuhnya mematung hingga Gentala pergi dari hadapannya. “Ih, kurang ajar! Dasar cowok mesuum. Kenapa aku harus berurusan sama orang giila ini, sih? Benar-benar cari penyakit,” gerutunya sebal.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN