1. MASALAH DI PANTI ASUHAN
Denallie baru saja keluar dari toilet di sebuah bar, tempatnya manggung bersama dengan teman-temannya. Setelah berganti pakaian yang lebih nyaman, ia membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 11 malam dan bukan hal aneh kalau ia selesai bekerja saat larut malam.
Menjadi penyanyi kafe dan bar, mewajibkan Denallie yang berusia 24 tahun, pulang dikala sebagian orang sudah terlelap tidur. Wanita bernama lengkap Denallie Ansera dan yang lebih sering dipanggil Denallie adalah sosok tangguh yang sangat jarang mengeluh dengan pekerjaannya apa pun. Kehidupannya yang cukup berat, memaksanya untuk selalu bertahan dalam situasi apa pun. Dan ia berusaha bersyukur dengan segala situasi yang harus dihadapi.
“Na, kamu pulang sendiri atau mau ikut denganku?”
Abila datang setelah membereskan gitar yang baru saja digunakan untuk bekerja. Sedangkan dua temannya lagi sedang menunggu di luar karena ingin merokok.
“Iya, aku pulang sendiri naik taksi,” jawabnya. Tatapan matanya fokus pada cermin kecil ditangannya. Merapikan lipstik merah yang masih menempel kuat meski sudah dipakai untuk makan dan minum “Kenapa, Bil? Mau nginep di kos?”
“Nggak, kok. Kirain mau pulang bareng. Sebagai teman yang baik, aku perhatian sama kamu. Jadi kamu harus banyak-banyak bersyukur, Na.”
Denallie tersenyum geli mendengar ucapan teman baiknya. “Cukup sekali ngomong begitu, aku sudah kenyang dengarnya.”
“Biar saja. Biar kamu selalu ingat, kalau aku ini ibu peri baik hati yang selalu ada untukmu.” Abila memeluk Denallie dengan gemas. Bahkan mencium pipi wanita itu. “Sayangku, cintaku.”
Mendapat perlakukan yang menggelikan, sontak ditanggapi dengan sikap jijik oleh Denallie. Ia berusaha melepaskan diri dari Abila.
“Dih! Jangan lebay, Bil. Yang ada, kita dikira lesbong.”
Reaksi Denallie memancing tawa Abila. Wanita itu segera melepaskan pelukannya. “Aku masih normal, Na. Misal aku jadi cowok dan satu-satunya wanita di dunia ini adalah kamu, mending jomlo sampai mati daripada punya pasangan cewek gila kayak kamu.”
Denallie berdecis santai. “Biar gila, banyak yang suka.”
“Eh iya, jadi ingat. Kamu lihat cowok di meja tengah tadi? Yang sering datang ke tempat kita manggung. Kayaknya dia tertarik sama kamu.”
“Masa bodo. Aku nggak peduli, Na. Kamu tahu aku tipe setia. Jadi, Jiro saja sudah cukup buatku.”
“Ih, sok iya. Baru juga pacaran beberapa bulan, sudah kayak mau nikah saja. Nikmati masa muda Na, selagi masih bisa,” sindir Abila.
“Mau nikah sekarang sih ogah, aku masih mau cari duit. Lagian, siapa juga yang mau percaya dengan cowok yang bertemunya di bar. Mereka Cuma lihat penampilan dan berakhir di ranjang.”
“Nggak semuanya, Na. Bar elit dan ekslusive, isinya bukan cowok dengan otak s**********n. Mereka juga berkelas dan berduit.”
“Dan tentu saja selera mereka bukan penyanyi bar kayak aku, Bil.”
“Siapa bilang? Belum tahu sudah pesimis duluan.”
Denallie tidak memberikan tanggapan dan langsung menarik tangan Abila, lalu dibawa keluar dari dari tempat tersebut. Di luar sudah ada Sada dan Varo yang tengah menunggu di kendaraan masing-masing.
“Lama banget!” seru Sada.
“Namanya juga wanita, ada saja yang harus diurus,” sahut Denallie santai.
Tiba-tiba Abila menyikut pinggang Denallie hingga membuatnya kaget. Kening Denallie mengkerut, menatap temannya sebal.
“Sakit, Bil. Ada apa, sih?”
Abila mengedikkan dagunya ke arah depan. “Ada cowok yang tadi. Jangan-jangan dia memang nunggu kamu.”
Arah pandangan Denallie mengikuti Abila. Dan akhirnya ia paham maksud temannya itu. Sosok laki-laki yang wajahnya sudah tidak asing, tengah berdiri sambil bersender di badan mobil. Seperti sedang berbicara di telepon.
Denallie menghela napas, lalu menggeleng. “Sudah, nggak usah peduli. Biar saja dia di sini. Bukan urusan kita, Bil.”
Kening Sada mengkerut melihat tingkah dua temannya. “Kalian kenapa? Bicaranya malah bisik-bisik.”
“Enggak kok, nggak penting. Ya sudah, ayo pulang,” ajak Denallie.
Kamu pulang sama siapa, Na? Dijemput Jiro?” tanya Varo.
“Mana mungkin dia jemput. Batang hidungnya saja belum kelihatan,” sahut Sada.
“Aku pulang sendiri. Jiro lagi sibuk, jadi nggak bisa jemput.”
Sada berdeham pelan dengan tatapan curiga. “Jangan-jangan sibuk sama yang lain.”
Denallie memutar bola matanya karena malas dengan ucapan temannya. “Sudah ya, aku pulang dulu. Taksinya sudah nunggu di depan.”
Begitu masuk dan duduk di taksi yang sudah mulai berjalan, Denallie mengambil ponsel di dalam tas. Memberi kabar kepada Jiro kalau ia sudah dalam perjalanan pulang. Saat membuka ponselnya, kening Denallie mengkerut, melihat ada beberapa telepon dari Felicia – saudara di panti asuhan.
“Kenapa Feli telpon sebanyak ini?” gumam Denallie penasaran.
Saat membuka dan membaca isi pesannya, tiba-tiba napas Denallie tertahan. Ia sangat terkejut saat mengetahui kalau ibu angkatnya di panti sedang sakit. Hal ini membuatnya merasa sangat khawatir. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak pulang ke kos, melainkan ke rumah tempatnya tumbuh besar yaitu Panti Asuhan Rumah Kasih.
“Pak, putar balik, ya,” ucap Denallie kepada supir taksi.
***
Begitu sampai di depan bangunan panti asuhan Rumah Kasih, Denallie segera menelepon Felicia untuk membuka pintu gerbang. Keadaan yang sudah larut malam dan tidak membawa kunci pintu, tidak memungkinan untuk berteriak serta mengganggu penghuni panti yang lain. Felicia yang memang menunggu kedatangan Denallie, bergerak cepat ketika tahu saudaranya menunggu di depan.
“Ibu mana? Gimana kondisinya?” tanya Denallie tidak tenang.
“Ibu sudah tidur, jadi sebaiknya kamu tengok besok saja,” jawab Felicia.
Denallie yang khawatir, pada akhirnya menuruti saran Felicia. “Baiklah. Aku juga lagi capek sekali, baru pulang kerja.”
“Ya sudah, ayo ke kamar saja,” ajak Felicia.
Denallie dan Felicia pergi ke kamar yang ditempati mereka berdua sejak kecil hingga sekarang. Besar bersama-sama di tempat ini, membuat hubungan mereka sangat dekat seperti saudara kandung. Meski Denallie lebih muda satu tahun dari Felicia, namun sikap Denallie jauh lebih dewasa daripada saudaranya.
“Na, kamu sudah makan atau belum?”
“Sudah, kok. Aku dapat makan di tempat kerja,” jawabnya. Denallie lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan ukuran 120.
“Jangan tidur dulu. Kamu harus mandi, biar tidurnya jadi lebih nyaman.”
Denallie mengurungkan niat berbaring, memilih duduk di pinggir kasur. Menatap Felicia dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu.
“Mandinya nanti saja. Sekarang kamu cerita apa yang terjadi sama Ibu? Kenapa Ibu mendadak sakit?” tanya Denallie penasaran.
Wajah Felicia langsung berubah sendu saat ditanya demikian. Entah tepat jika harus bercerita sekarang, disaat adiknya baru pulang bekerja, dan nampak sangat lelah.
“Kita lagi dalam masalah besar, Na. Kita …”
Denallie terdiam. Wajahnya langsung tegang. Menunggu Felicia melanjutkan kalimat, membuatnya gelisah.
“Masalah apa, Fel? Apa ini ada hubungannya dengan sakitnya Ibu?”
Felicia mengangguk pelan. “Tadi sore waktu pulang kerja, aku mampir buat bawa makanan untuk anak-anak. Terus Bi Pita bilang kalau Ibu lagi sakit. Tapi Ibu sengaja nggak kasih tahu kita karena takut malah jadi beban pikiran aku dan kamu. Tahu sendiri gimama sifatnya ibu yang kadang bikin kita kesal,” tuturnya.
“Lalu?”
Raut wajah Felicia semakin tidak tenang. Wanita itu menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya.
“Ibu demam terus tekanan darahnya naik. Kata Bi Pita, Ibu juga mual dan susah makan. Ternyata asam lambungnya juga naik.”
“Fel, langsung saja. Ada masalah apa sampai buat Ibu sakit?” tanya Denallie gemas dan tidak sabar.
“Oke baiklah, aku jelaskan semuanya,” ucap Felicia gugup. “Jadi Panti kita dalam masalah. Kata Bi Pita, panti terancam tidak punya donatur tetap. Selama ini ada Pak Jimmy yang sudah menganggap tempat ini sebagai bagian dari keluarganya. Tapi, kemarin malam Pak Jimmy dan menurut pengacaranya, semua harta warisan, jatuh ke anak dan menantunya. Pak Jimmy tidak membuat wasiat tentang panti karena kematiannya mendadak padahal selama ini sehat-sehat saja. Dan keluarganya tidak berniat untuk melanjutkan kebaikan beliau. Itu yang jadi penyebab, ibu mengalami stres dan bingung dengan nasib tempat ini,” jelasnya.
Begitu mendengar penjelasan Felicia mengenai apa yang terjadi pada panti, wajah Denallie nampak tegang. Ia mencoba mencerna dengan baik, meski otaknya sulit diajak berpikir dalam keadaan terkejur. Bahkan jantungnya berdegup kencang, reaksi atas berita yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya.
Denallie tidak habis pikir akan keputusan ibunya untuk menyembunyikan masalah ini darinya dan juga Felicia. Jelas-jelas ia dan kakaknya bukan anak kecil lagi. Sudah cukup dewasa untuk tahu masalah panti. Bahkan memiliki hak untuk terlibat mengenai hal yang menyakut rumahnya ini.
“Kamu kaget ya, Na? Aku juga sama kok, bahkan reaksiku langsung nangis,” ucap Felicia sendu. “Aku bingung, gimana caranya membuat panti keluar dari kesulitan ini. Apalagi kondisiku yang baru dapat pekerjaan lagi setelah nganggur sekian lama,” gumam Feli sedih.
Denallie masih belum bicara. Menatap Feli dengan tatapan menerawang. Banyak hal yang menyerbu kepalanya tapi sulit dijabarkan.
“Aku nggak bisa bayangin gimana nasib adik-adik kita di sini, Na. Mereka berhak mendapat kehudupan yang baik, agar mereka bisa mengubah nasib mereka.”
Begitu menyelesaikan kalimatnya, terdengar isak tangis dari Felicia. Hati wanita itu jauh lebih lembut dan sensitif dari Denallie. Salah satu alasan Felicia jarang bisa menyembunyikan masalah dari Denallie karena adiknya jauh lebih dewasa dalam menyikapi segala kesulitan dibanding dirinya.
“Jangan nangis dong, Fel. Kalau kamu nangis, uang bisa datang dari langit?” sindir Denallie pedas. Meski terdengar sinis, tetap saja ia tidak bisa mengabaikan saudaranya. Denallie lalu memeluk kakaknya. “Aku tahu kamu sedih, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku yakin, masalah ini pasti ada jalan keluarnya. Coba pikirkan yang baik-baik, agar yang datang menghampiri juga hal yang baik.”
“Gimana nggak nangis, hatiku nggak sekuat kamu. Apalagi Bi Pita bilang, kalau tabungan panti jumlahnya nggak terlalu banyak. Untuk biaya sehari-hari dan juga keperluan sekolah, pasti akan cepat habis.”
Denallie mengurai pelukannya, lalu berusaha tersenyum. Mengusap wajah Felicia yang basah, agar berhenti menangis.
“Tenang saja. Nggak mungkin aku duduk diam saat ada masalah seperti ini. Aku akan cari cara agar anak-anak tidak mengalami kesulitan dan tetap bisa fokus sekolah. Percaya sama aku, Fel.”
Setelah tahu masalah yang menimpa panti, kini Denallie merasa gelisah dan tidak bisa tidur. Meski mencoba kuat dan tenang di hadapan kakaknya, tetap saja ia lemah saat ingat penghuni panti yang masih kecil dan belum tahu apa-apa selain sekolah.
Denallie akhirnya terpaksa keluar kamar, agar tidur Felicia tidak terganggu akibat dirinya yang gelisah. Ia berjalan menuju kamar yang ditempati saudaranya yang lain. Menyapukan pandangan ke dalam kamar dengan model memanjang dan terdapat beberapa tempat tidur bertingkat. Di sana adik-adiknya tidur dengan lelap tanpa ada beban yang berarti.
“Kalian adalah keluargaku dan juga tanggung jawabku. Aku pastikan, kalian akan tetap sekolah dan makan tanpa merasa kekurangan. Menikmati masa kecil kalian dengan bahagia, tanpa merasa kecil karena besar di panti asuhan. Aku yang mencari jalan keluar untuk masalah ini, bantu ibu agar bebannya sendikit berkurang. Apa pun, akan aku lakukan untuk kalian, gumam Denallie.