Di sebuah bangunan lantai satu, terlihat kondisinya cukup berantakan. Beberapa benda seperti meja, kursi, dan lemari, baru saja disusun dengan rapi. Lampunya masih menyala terang dan terdapat tiga orang tengah berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun mereka seakan enggan untuk beranjak dari tempat ini.
Gentala Daneswara nampak fokus melihat beberapa dokumen yang baru dikeluarkan dari kotak yang digunakan untuk penyimpanan selama pindah tempat praktik. Habis kontrak di tempat lama, membuatnya harus mencari tempat baru untuk menjalankan profesinya sebagai dokter anak. Selain bekerja di sebuah rumah sakit swasta, ia juga ingin melayani anak-anak yang butuh bantuan di tempat praktiknya sendiri.
Masih berkutat hingga hingga saat ini karena Gentala hanya memiliki waktu di malam hari. Pagi hingga siang ia harus bertugas di rumah sakit dan sore hingga malam ia membuka parktik. Dan seminggu ini ia sudah tutup karena belum selesai pindah tempat. Gentala tidak sendiri, melainkan dibantu dua orang asistennya. Sejak awal ia tidak memaksa, tetapi Kania dan Tika sangat semangat membantu agar semuanya cepat selesai.
Laki-laki berusia 32 tahun itu meregangkan ototnya yang terasa kaku. Bagaimana tidak, sejak pagi belum sempat istirahat. Niatnya pergi bersama teman-temannya harus ditunda hingga proses pindahan selesai. Sebenarnya ia sudah menyewa orang untuk membantu, tapi Gentalla merasa kurang dengan hasilnya. Akhirnya ia ikut turun tangan agar sesuai dengan apa yang ia inginkan.
“Dok, mau saya ambilkan minum?” tanya Kania.
Genta tersenyum, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi ambilkan air putih saja.”
“Baik Dok,” jawabnya. “Tika mau minum nggak?”
“Boleh. Yang dingin ya, Nia.”
“Oke.”
Kania datang dengan membawa tiga gelas air putih dari pantry room. Tidak perlu camilan, karena mereka baru saja menyantap burger untuk makan malam. Kania bekerja sebagai perawat yang mendampingi Gentala. Sedangkan Tika membantu dibagian administrasi pasien. Sudah hampir empat tahun Kania menemani Genta sehingga hubungan mereka cukup dekat. Sedangkan Tika, baru bergabung selama tiga tahun terakhir.
“Terima kasih,” ucap Genta.
“Dokter Genta kelihatan capek. Apa sebaiknya dilanjutkan besok saja?”
Gante meletakkan gelas air putih, setelah isinya diteguk setengah. “Kalau istirahat, yang ada pembukannya malah mundur lagi. Kamu sudah capek?”
Kania menggeleng keras. “Nggak kok, Dok. Tenaga saya masih banyak.”
“Kalau kalian capek, sebaiknya pulang saja. Biar sisanya saya yang kerjakan,” ujar Genta.
“Santai saja, Dok. Kami ini masih masih semangat, kok. Lagi pula, saya pribadi pingin cepat buka. Kangen terima pasien. Enggak enak kalau nggak ada kerjaan,” ucap Tika.
“Baiklah. Kita selesaikan segera.”
Suasana yang hening, mendadak riuh karena suara dering dari ponsel milik Gentala. Raut wajah Gentala datar saat tahu siapa yang menghubungi. Dengan santainya laki-laki itu menjawab panggilan telepon dari seorang wanita, yang sebenarnya tidak memiliki hubungan baik dengannya.
“Iya Tante, ada apa? Jangan suruh saya pulang karena lagi sibuk,” ucapnya dingin.
Tiba-tiba wajah Gentala berubah tegang setelah mendengar penjelasan dari Anne – ibu tirinya.
“Papa di rumah sakit apa?” tanyanya hingga memancing rasa penasaran Kania dan Tika.
Setelah mendengar kabar tentang ayahnya, Gentala langsung beranjak dari duduknya. Pekerjaan yang ingin diselesaikan, terpaksa harus ditinggalkan. Wajahnya panik dan juha tegang.
“Siapa yang masuk rumah sakit, Dok?”
“Papa saya,” jawabnya sambil mengenakan jaket. “Saya harus ke rumah sakit, kalian nggak masalah kalau saya tinggal?”
Tika mengangguk. “Nggak apa-apa, Dok.”
“Sebaiknya kalian pulang saja. Kita lanjutkan besok. Sebelum pulang, jangan lupa pastikan semua aman,” ucap Gentala setengah panik.
Tika mengangguk paham. “Baik, Dok.”
“Dokter Genta, biar saya temani ke rumah sakit.”
“Tidak usah, Kania. Saya sendiri saja. Maaf kalau saya ninggalin kalian di sini.”
Kania mengantar Gentala sampai depan, menunggu sampai mobil yang kendarai laki-laki itu menghilang. Tidak bisa ditutupi bagaimana khawatirnya Gentala saat ini.
“Semoga papanya Mas Genta nggak kenapa-kenapa,” gumam Kania.
***
Gentala bergegas menuju ruangan, di mana ayahnya di rawat. Setelah mendapat penanganan di IGD, ayahnya dipindahkan ke kamar perawatan. Wajah Gentala nampak sangat cemas karena memang ayahnya memiliki penyakit asma. Apalagi sudah seminggu lebih tidak pulang disebabkan mereka tinggal terpisah, jadi semakin besar rasa bersalahnya.
“Papa.”
Wanita yang tengah duduk di sofa di dalam kamar tersebut, beranjak dari tempatnya saat Gentala datang. Sosok yang menjadi istri Petra selama lima tahun terakhir. Masih terlihat muda dan cantik.
“Papa kamu sedang tidur,” ucap Anne.
Petra tengah berbaring dengan mengenakan selang oksigen. Gentala sangat sedih melihat ayahnya seperti ini. Tetapi, ia tetap berusaha tegar dan tidak ingin menujukkan kesedihannya.
“Kenapa Papa bisa kambuh? Apa yang terjadi?” tanyanya pada ibu tirinya.
“Tante nggak tahu, Ta. Papa kamu memang pergi bersama teman-temannya dan Tante nggak ikut. Karena sampai malam belum juga pulang, jadi Tante berusaha telpon. Waktu diangkat, yang bicara laki-laki. Katanya ketemu Papa kamu di jalan dalam keadaan sesak napas,” jelas Anne.
Gentala mengernyitkan dahinya. “Laki-laki?”
“Iya. Tapi setelah Tante sampai sini, orang itu sudah pergi. Dan perawat bilang, ada perempuan juga yang mengantar.”
“Papa punya pacar?”
Anne menghela napas. “Entahlah. Tapi sepertinya tidak. Tante yakin dua orang itu jujur, bertemu untuk menolong papa kamu.”
“Lalu mobilnya?”
“Ada di parkiran dan kuncinya sudah Tante bawa,” jawab wanita itu.
Gentala kembali melihat ayahnya, lalu menghela napas panjang. “Besok aku urus kepindahan Papa. Kita bawa ke rumah sakit tempat biasa, biar dirawat sama dokternya papa.”
“Iya.”
“Tante kalau capek, pulang saja. Biar saya yang jaga papa di sini.”
“Enggak Genta. Sebaiknya kamu yang pulang. Tante tahu kamu capek ngurus tempat praktik yang baru.”
“Saya baik-baik saja,” jawabnya dingin.
Anne menghela napas, kemudian mengangguk pelan. Ia tahu bagaimana keras Gentala dan sampai saat ini pun, masih menjaga jarak dengannya. Daripada berdebat, lebih baik Anne menuruti perkataan anak tirinya.
“Baiklah kalau begitu.”
***
Sesaat setelah menemani ayahnya, Gentala pergi keluar untuk membeli kopi dekat rumah sakit. Ada minimarket yang buka selama 24 jam. Demi menghalau kantuk, ia harus meneguk kopi. Setidaknya, saat ini perasaannya sedikit lega karena ayahnya baik-baik saja.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar dua orang itu berniat baik atau sebenarnya mereka yang menyebabkan sesaknya papa jadi kambuh?”
Dilanda penasaran, akhirnya Gentala pergi ke tempat di mana mobil ayahnya berada. Gentala akan melihat rekaman dari kamera dashboard di mobil ayahnya. Siapa tahu dengan cara itu, bisa mendapatkan petunjuk.
Setelah dicek, ternyata tidak ada yang mencurigakan. Namun ia bisa melihat sekilas rekaman wanita dan laki-laki yang nampak panik.
“Sepertinya benar. Mereka memang datang untuk menolong. Kalau memang berniat mengambil barang, sudah pasti mobil ini dibawa pergi. Tapi siapa sebenarnya dua orang ini? Kenapa nggak ninggalin identitas apa pun,” gumam Gentala penasaran. Ia menghela napas panjang, lalu melihat ke sekitar mobil. Saat kakinya bergerak, Gentala merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Merasa curiga, tangannya meraba ke bawah. “Apa ini?”
Gentala melihat apa yang ada di tangannya, sambil ia berpikir keras. Lantas ia membuka untuk melihat isi di dalamnya. Berharap menemukan sesuatu dari benda yang didapatkan.
“Siapa pemilik benda ini?” tanya pelan. “Apa mungkin benda ini jatuh saat dia mengemudikan mobil papa?”