Suara melengking yang bersumber dari ponsel yang tergeletak di atas lantai, berhasil membuat Denallie menggeliat pelan. Tubuhnya yang meringkuk di atas tempat tidur, terbalut dengan selimut yang tidak terlalu tebal dan warnanya sudah memudar. Wanita itu mengerang pelan, merasa tidurnya yang nyenyak harus diganggu oleh telepon entah dari siapa. Ditambah dengan suara mangkok yang dipukul sendok dari pedagang bubur yang lewat, seakan bekerja sama membangunkan Denallie.
“Ya Tuhan, aku Cuma mau tidur tapi kenapa ada saja yang ganggu. Lima menit lagi, aku pasti bangun kok,” keluar Denallie.
Seiring dengan suara yang mereda, Denallie berusaha menarik kembali selimutnya. Melanjutkan tidur yang terganggu. Namun pada kenyataannya, benda pipih itu kembali berdering hingga akhirnya Denallie menyingkap kembali selimutnya diiringi dengusan kasar.
“Siapa, sih? Nyebelin banget pagi-pagi sudah ganggu orang!”
Tangannya mengusap matanya agar penglihatannya sedikit jernih. Maklum saja, Denallie masih mengantuk akibat pulang larut malam setelah dari rumah sakit. Setelah kesadarannya sudah pulih, ia meraih ponsel yang letaknya tidak jauh dari tempat tidur. Begitu tahu siapa yang menghubungi, Denallie langsung menghela napas panjang.
“Bila? Ya Tuhan, orang ini,” gerutu Denallie.
Tanpa menunda lagi, Denallie langsung menjawab panggilan telepon dari Abila. Keningnya mengkerut dan memasang raut wajah kesal meski temannya itu tidak melihat kondisinya.
“Halo Bil, ngapain ganggu sepagi ini? Aku masih ngantuk, butuh tidur,” sembur Denallie.
“Pagi? Heh, kamu ada di negara mana? Ini sudah siang dan kamu ada job!”
Denallie menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara melingking Abila membuat indera pendengarannya sakit. Tidak lama, ia kembali sadar. Segera tangannya menyentuh layar ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Betapa kagetnya Denallie saat waktu menunjukkan pukul 11 siang. Panik dan bingung bercampur jadi satu.
“Loh, gimana sekarang, Bil? Kok alarmku nggak nyala, ya?”
“Nggak usah mikirin alarm, sudah lewat, Na. Sekarang kamu mandi dan siap-siap. Acaranya satu jam lagi dan kamu butuh waktu 30 menit ke lokasi. Aku nggak mau kena komplain sama panitianya.”
“Oke-oke. Aku tutup telponnya.”
“Hati-hati, Na.”
Tanpa pikir panjang, Denallie langsung beranjak dari tempat tidur. Sialnya ia harus jatuh akibat kakinya yang masih terbelit selimut. Mengaduh pun percuma karena saat ini ia harus bergegas demi tidak terlambat datang ke acara pesta makan siang sebuah perkumpulan ibu-ibu arisan elit. Abila mencarikan job ini karena bayarannya lumayan menggiurkan dan durasinya tidak terlalu lama.
“Kayaknya aku mimpi pasang alarm makanya aku nggak tahu dan nggak dengar. Aku nggak boleh terlambat, Bila udah berbaik hati cariin aku job tambahan,” ucapnya saat sampai di kamar mandi kos yang ada di luar.
Denallie sudah dalam keadaan rapi dan juga penampilannya begitu cantik. Mengenakan pakaian kasual tapi tetap memperlihatkan bagaimana anggun wanita itu. Tambahan riasan minimalis, semakin memperlihatkan pesonanya sebagai seorang penyanyi. Meski hanya melakukan pekerjaan di kafe atau bar serta event kecil, Denallie selalu berusaha untuk melakukannya dengan sepenuh hati.
“Loh, dompetku mana?”
Ketika sudah selesai bersiap-siap dan akan berangkat, tiba-tiba Denallie tidak bisa menemukan dompetnya. Ia mengeluarkan isi tas yang digunakan tadi malam namun dompetnya tetap tidak ada. Dengan perasaan panik, Denallie menggeledah kamar kosnya, berharap bisa menemukan benda berbentuk panjang dengan warna hitam.
“Kok nggak ada, ya? Kira-kira jatuh di mana, ya?” gumam Denallie panik sekaligus bingung.
Karena buru-buru, mau tidak mau Denallie harus menunda pencarian dompet miliknya. Ia harus segera pergi ke tempat acara agar tidak terlambat. Meski dalam keadaan tidak tenang, mau tidak mau ia harus bersikap profesional.
Denallie terdiam dengan pikiran menerawang. “Jangan-jangan jatuh di rumah sakit. Semalam sebelum pulang dari bar masih ada kok, tapi kenapa sekarang nggak ada.”
Begitu selesai dengan pekerjaannya, Denallie buru-buru pergi ke rumah sakit yang didatangi semalam. Berharap ia menemukan dompetnya di sana. Ada rasa pesimis, tapi harapan itu masih berusaha ia jaga. Uang yang hilang mungkin tidak seberapa, tetapi ia tidak mau menambah pekerjaan untuk mengurus beberapa surat penting yang ada di dompet tersebut.
“Jadi nggak ada info penemuan dompet ya, Pak?”
“Nggak ada Mbak. Biasanya kalau ada kehilangan atau penemuan pasti bagian informasi selalu dikasih tahu. Tapi dari semalam kami nggak dapat laporan apa-apa.”
Denallie mengangguk lemah, semuanya tidak sesuai harapannya. “Ya sudah Pak, terima kasih atas infomasinya.”
Keluar dari ruangan informasi, Denallie berjalan dengan lemas dan murung. Pikirannya menerawang, mencoba mengingat tempat yang mungkin jadi lokasi dompetnya hilang.
“Jangan-jangan jatuh di mobil yang semalam. Ya, itu satu-satunya tempat yang tersisa. Aku yakin pasti jatuh di sana.”
Seketika harapan itu kembali muncul. Denallie segera berlari menuju tempat parkir mobil yang ia bawa semalam. Tetapi ia kembali dibuat lemas karena mobil itu sudah tidak ada.
“Aku harus cari di mana lagi?” ucapnya putus asa. “Kalau jatuh di mobil itu, harusnya dikembalikan, kan?”
***
Dua hari setelah kehilangan dompet, Denallie memutuskan untuk mengikhlaskannya. Ia pergi ke kantor polisi untuk mencari surat kehilangan agar bisa segera mengurus beberapa identitas penting yang tidak bisa ditunda lebih lama. Beruntung semuanya berjalan lancar sehingga tidak perlu menunggu lama di sana.
“Iya Jiro, aku sudah selesai kok. Sekarang tinggal urus yang lain, semoga bisa selesai hari ini,” ucap Denallie melalui sambungan telepon.
Jiro ingin sekali menemani, tetapi harus menemani klien untuk makan siang, sehingga Denallie melarang laki-laki itu. Tentu saja pekerjaan lebih penting daripada menemaninya.
“Nanti aku kabari lagi. Semoga makan siang sama klien berjalan lancar, ya.”
Setelah selesai bicara melalui sambungan telepon, Denallie kembali menyimpan ponsel ke dalam tas. Akan tetapi, benda pipih itu justru kembali berdering dan memaksa wanita itu menjamahnya.
“Ibu?”
Denallie agak menyesal sudah berpikir malas saat teleponnya kembali berbunyi karena ternyata ibu panti yang menelepon. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab.
“Halo Bu, selamat siang.”
“Siang, Dena. Kamu lagi apa?”
“Aku lagi ada urusan sedikit tapi sudah selesai. Ada apa Bu? Maaf aku belum sempat pulang. Kondisi Ibu sudah membaik, kan?” tanya Denallie khawatir.
“Sudah, Nak. Ibu telpon buat nanya kamu, kira-kira bisa datang ke panti sekarang? Ada yang mau ketemu sama kamu.”
“Ketemu aku? Siapa Bu?”
“Nanti kamu juga tahu. Tolong luangkan waktu sebentar, ya. Orangnya lagi nunggu kamu di sini. Padahal Ibu sudah bilang kalau kamu mungkin sibuk dan nggak bisa datang.”
Denallie mengangguk dengan raut wajah sedikit tegang. “Iya Bu. Aku usahan segara pulang ke panti.”
“Ya sudah, Ibu tunggu, ya. Kamu hati-hati ya, Sayang.”
“Baik Bu.”
Denallie terdiam di pinggir jalan, menebak-nebak siapa yang datang ke panti untuk bertemu dengannya. Ia sama sekali tidak punya petunjuk sehingga membuatnya merasa sedikit penasaran.
“Tapi semoga saja salah satu calon donatur. Kalau benar, berarti Tuhan sudah jawab doaku,” gumam Denallie penuh harap.
***
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di panti. Dengan menaiki ojek online, Denallie akhirnya sampai di rumah tempatnya tumbuh dewasa. Ia pun bergegas masuk untuk menuju ruangan Lulu – ibu panti. Perasaannya saat ini masih gugup dan penasaran akan tamu yang menunggunya.
“Selamat siang,” sapa Denallie setelah mengetuk pintu lebih dulu.
Lulu tersenyum melihat kehadiaran Denallie. “Selamat siang. Silakan masuk Dena.”
“Iya Bu.”
Saat kaki wanita itu melangkah pelan, pandangan matanya tertuju pada sosok laki-laki yang duduk di sofa dan wajahnya nampak tidak asing bagi Denallie. Ia terdiam dengan ekspresi kaget. Ternyata orang yang dimaksud oleh Lulu adalah laki-laki yang sempat ia tolong pada malam itu.
“Loh, Pak? Kok, Anda di sini?”