Entah sudah berapa kali Denallie menguap hingga membuat kedua matanya berair. Sambil merapikan beberapa barang, ia menunggu Abila keluar dari toilet. Malam ini mereka tampil rutin di bar yang sudah mengontraknya selama satu tahun. Semuanya berjalan lancar. Pengunjung yang ramai sangat enjoy menikmati minuman sambil ditemani lagu yang Denallie bawakan bersama dengan teman-temannya. Hal yang membanggakan bisa memberikan kepuasan bagi pemilik bar dan juga pengunjung.
“Perutku mules, Na. Kayaknya gara-gara makan ayam geprek tadi siang.” Abila baru saja keluar dari dalam toilet dengan wajah meringis. “Untung tadi masih bisa ditahan.”
Denallie berdecak heran karena hal ini. “Perut kamu kan sensitif, Bil. Tapi kenapa kamu nggak pernah sadar diri. Selalu saja begini, heran.”
“Jangan ngomel, Na. Kamu kayak mamiku, bawel.”
“Dikasih tahu malah ngatain aku bawel,” ucap Denallie sebal.
“Eh iya, kok tumben cowok yang biasa datang ke sini, malam ini malah nggak ada. Biasanya selalu rajin.”
Denallie mulai berjalan keluar dari tempat itu. “Kok kamu perhatian sekali, Bil? Naksir, ya?”
“Enak saja. Yang benar itu, dia tertarik sama kamu. Matanya melotot nggak kedip liatin kamu. Dan yang paling penting, dia itu ganteng dan cool, jadi nggak sulit buat ingat wajahnya.”
“Aku aja lupa sama wajahnya. Lagian, bukan Cuma dia yang lihatin aku. Pengunjung yang lain juga sama. Wajar sih, yang nyanyi cantik seperti ini, sulit untuk dilewatkan,” ujar Denallie percaya diri.
Kesombongan Denallie langsung ditanggapi tawa remeh dari Abila. “Jadi menurut kamu, aku dan yang lain nggak menarik?”
“Menarik, tapi mungkin aku lebih menarik.”
“Dasar sombong!”
Keduanya akhirnya keluar dari bar, menemui Sada dan Varo. Dua orang itu nampak asik bicara sambil menikmati sebatang rokok di tangan masing-masing.
“Na, kamu jadi pulang sama aku?” tanya Varo.
Denallie mengangguk. “Jadi. Nggak masalah kan, kamu antar aku dulu?”
“Nggak kok. Si butut juga kangen bonceng cewek cantik.”
“Si butut apa elo?” sindir Sada.
“Jangan iri.”
Sada berdecis. “Dih!”
“Stop! Jangan berdebat lagi karena ini sudah malam. Sebaiknya kita pulang sekarang.” Abila sebagai penengah yang tengah mengalami gangguan pencernaan. “Please, perutku mules banget. Da, buruan antar aku pulang.”
“Pasti salah makan lagi,” keluar Sada.
Sementara itu, Denallie pulang diantar oleh Varo dan motor vespa kesayangan. Ia mengenal Varo saat mendapat job disalah satu acara ulang tahun dan laki-laki itu sebagai tamunya. Sejak saat itu, mereka menjadi teman dan bertemu dengan Sada serta Abila. Jadilah mereka berempat membentuk band untuk mendampingi Denallie. Vero, Sada dan Abila mengambil job manggung untuk menyalurkan hobi karena mereka sudah punya pekerjaan utama di perusahaan yang tentu hasilnya jauh lebih banyak.
Denallie menyandarkan kepalanya pada punggung Varo. Hari ini ia merasa sangat lelah dan juga mengantuk. Belum lagi teringat dengan keadaan panti, semakin menambah beban di pikirannya. Meski keadaan belum sangat parah karena masih ada sisa tabungan, tapi mau sampai kapan hidup dalam keadaan was-was seperti ini. Kabar baik pun belum kunjung datang. Untungnya minggu depan sudah ada pekerjaan tambahan yang dicarikan oleh Abila.
“Kamu ngantuk, Na?” tanya Varo sesekali menoleh singkat ke belakang. Memastikan kalau temannya baik-baik saja.
“Ro, makasih sudah antar aku pulang.”
“Lah, kenapa jadi gini? Biasanya juga kamu santai aja pulang denganku atau yang lain.”
Denallie menghela napas panjang. Angin malam yang menerpa wajahnya, membuatnya ingin menutup mata. Andai bisa, ingin hatinya tidur dengan lelap.
“Ya nggak apa-apa. Memangnya salah kalau aku bilang makasih?”
Varo tertawa renyah dan tetap fokus mengendarai vespanya. “Nggak salah tapi aneh.”
“Sudah jangan bawel! Bawa si butut dengan baik biar aku selamat sampai kos.”
Keduanya kembali diam. Suasana jalan yang mulai sepi, semakin menambah kesan asing pada malam ini. Tetapi bagi Denallie, ia menyukai sepinya malam setelah ingar bingar suasana kafe dan bar. Menenangkan pikiran atau merenungkan segala hal yang terjadi, inilah momen yang paling tepat. Menjernihkan isi kepalanya yang kadang berisik.
“Mobil itu kenapa?” celetuk Varo. “Lampunya kedap-kedip, pintunya setengah terbuka. Jangan-jangan kena rampok.”
Denallie sadar dari lamunannya. Badannya kembali tegak, lalu mencari tahu apa yang dimaksud oleh Varo.
“Yang mana?” tanyanya penasaran.
“Tuh, di depan sebelah kiri.”
“Coba pelan-pelan, aku pingin lihat.”
“Tapi kalau rampok, bahaya. Bisa-bisa kita juga kena sasaran. Siapa yang berani nolong, bisa jadi itu modus,” sahut Varo ngeri.
Tangan Denallie menepuk pundak laki-laki itu dengan keras. “Kamu cowok, masa nggak punya nyali! Lagian belum tentu rampok. Bisa saja mobilnya mogok dan butuh bantuan.”
Mau tidak mau akhirnya Varo menuruti apa yang diminta oleh Denallie. Vespanya melamban dan mulai menepi. Tidak ada siapa-siapa di sekitar mobil dan ini artinya kemungkinan di rampok atau di begal sangat kecil.
“Biar aku turun,” ucap Denallie barani.
“Tunggu. Aku juga ikut.”
Keduanya melihat ke bagian pintu yang sudah terbuka. Denallie dan Varo sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengalami sesak napas. Raut wajahnya nampak kesakitan dan butuh pertolongan. Denallie langsung tahu karena salah satu adiknya di panti juga punya penyakit asma.
“Astaga! Ro, kita harus bawa ke rumah sakit. Om ini butuh pertolongan.”
“Iya aku juga tahu, Na. Tapi keadaannya cukup membayahayakan kalau nggak ada pertolongan pertama.”
Denallie setuju dengan temannya. “Om, bawa inhaler nggak?”
Laki-laki itu tidak menjawab tapi tangannya mengarah ke bagian belakang mobil. Varo yang paham segera bergerak membuka pintu belakang dan mencari obat di sana.
“Ini ya, Den?” tanya Varo sambil menunjukkan alat.
Denallie mengangguk. “Benar. Kita coba dulu, semoga sedikit membantu.”
Setelah melakukan pertolongan, Denallie memutuskan untuk segera membawa laki-laki tersebut ke IGD. Denallie sendiri yang mengendarai mobil mewah milik orang itu. Sedangkan Varo mengikuti dari belakang. Laki-laki yang kondisinya masih belum stabil, duduk tak berdaya di sebelah Denallie.
“Sabar ya, Om. Sebentar lagi kita sampai di IGD.”
Entah dari mana datang keberanian Denallie untuk mengendarai mobil mewah dengan kecepatan tinggi. Ia sendiri bisa mengemudi karena diajari oleh Sada dan tidak terlalu profesional. Tetapi karena Varo tidak berani mengemudi sambil menjaga orang sakit atau meninggalkan vespa kesayangannya, jadilah wanita itu yang mengemudi.
Butuh waktu 15 menit bagi Denallie untuk sampai di IGD salah satu rumah sakit. Laki-laki itu langsung mendapat penanganan oleh dokter yang sedang berjaga. Denallie dan Varo menunggu dengan cemas, berharap orang mereka tolong bisa diselamatkan.
“Kamu keren sekali, Na. Dalam keadaan panik, bawa mobil ngebut dan sampai IGD dengan selamat,” puji Varo.
Denallie menghela napas, masih dengan wajah pucat dan tangan gemetar. “Keadaan yang memaksa, Ro. Kalau lagi waras, mana berani bawa mobil mewah itu dalam kecepatan tinggi. Apalagi bukan milik sendiri.”
“Tapi kira-kira om tadi bisa selamat nggak, ya?”
“Jangan mikir negatif. Dia pasti baik-baik saja,” ucap Denallie cemas.
“Eh, kita nggak hubungi keluarganya?”
Denallie tidak ingat dengan hal ini. “Oh iya. Tapi gimana caranya? Kita nggak tahu siapa keluarganya.”
“Nggak mungkin orang dengan mobil semewah itu, nggak punya hape. Kita pinjang hape-nya terus telpon keluarganya.”
“Kita tunggu dokter selesai menangani. Setelah itu, baru pikirkan soal ini.”
Varo mengangguk setuju. “Baiklah.”
Tidak lama, dokter yang menangani datang menemui Denallie dan Varo. Keduanya cukup gugup, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Kalian berdua keluarga pasien?”
Denallie dan Varo menggeleng bersamaan. “Kami ketemu pasien di jalan dan sudah dalam keadaan sesak, Dok.”
“Bagaimana keadaan pasein, Dok?” tanya Varo.
“Dalam keadaan stabil. Sudah kami tangani dengan baik. Tapi harus dirawat untuk mendapatkan pengawasan,” jawab di dokter. “Kalian bisa bantu untuk memberitahu keluarganya?”
“Gimana, ya?” Varo bingung.
“Dok, apa tadi Dokter sempat lihat pasien bawa hape?”
“Sepertinya tidak ada. Saya tidak yakin.”
Denallie menyikut Varo. “Kita coba cek di mobil, siapa tahu ada di sana.”
Benar saja, setelah Denallie mencari di mobil, ponsel milik laki-laki itu ada di sana. Tergeletak di bawah. Mungkin sempat ingin digunakan, tapi malah terjatuh.
“Eh, hape-nya bunyi. Ro, istrinya nelpon.” Denallie mendadak panik.
“Jawab dong, Na.”
Denallie menggeleng. “Kamu saja. Kalau aku yang jawab, takut jadi salah paham.”
Akhirnya Varo yang menjawab panggilan telepon tersebut. Menjelaskan apa yang terjadi mengenai keadaan suaminya. Untungnya semua selesai dengan baik, sehingga mereka memutuskan untuk pergi dari rumah sakit.
***
Begitu sampai di kamar kos, Denallie menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Rasanya nyaman sekali bisa berbaring seperti ini. Hari ini benar-benar luar biasa bagi Denallie. Pengalaman pertama menolong orang asing yang sedang mengalami musibah. Mendapati orang itu sesak napas, mengingatkan Denallie pada adiknya. Itu sebabnya ia tidak bisa mengabaikan begitu saja, tanpa memberikan bantuan.
“Andai aku dan Varo nggak menolong orang itu, kira-kira apa yang terjadi?” gumamnya sedih. “Aku nggak bisa bayangin, om itu mengalami sesak napas dan tidak mendapat pertolongan. Dia pasti sangat kesakitan.”