Rahang Denallie mengeras, tangannya mengepal namun tersembunyi di bawah, dan matanya terasa panas ketika Jiro bertanya tentang sumber dari foto tersebut. Tidak habis pikir, pertanyaan pertama justru terdengar seperti ingin mencari pembelaan. Apa pentingnya sumber foto tersebut kalau kenyataannya itu merupakan bukti yang valid.
“Jawab Dena, kamu dapat dari mana semua foto-foto ini?” tanya Jiro setengah memaksa.
“Apa itu penting?” tanya Denallie balik dengan suara gemetar.
“Jelas, karena ini semua rekayasa. Aku nggak bisa terima kalau ada orang yang sengaja mau fitnah aku. Apalagi kamu sampai percaya, jelas aku keberatan.”
Tanpa bisa ditahan lagi, tangan Denallie dengan cepat mengambil gelas berisi sisa minuman miliknya. Denallie menyiram Jiro tanpa ada keraguan hingga membuat laki-laki itu terkejut. Bahkan beberapa orang yang disana langsung mengarahkan pandangan ke meja mereka. Ditambah beberapa pelayan mulai mendekat, seolah tidak ingin ada keributan yang bisa mengganggu tamu yang lain.
“Apa-apaan ini? Kenapa kamu siram aku?”
“Masih nanya kenapa aku begini? Kamu pantas aku siram, bahkan lebih dari ini juga nggak masalah!”
Jiro mengambil serpet untuk mengeringkan wajahnya yang basah. Laki-laki itu nampak tidak bisa menahan emosi karena dipermalukan oleh Denallie.
“Jadi kamu nggak percaya sama aku? Kamu lebih percaya foto nggak jelas ini, hah?”
Salah satu sudut bibir Denallie terangkat, menyunggingkan senyum remeh. “Kalau selingkuh, ngaku saja. Nggak perlu cari banyak alasan karena nggak mempan.”
“Kamu belum jawab dari mana sumbernya?”
“Nggak penting! Kamu harus tahu, aku nggak sebod0h itu untuk kamu bohongin. Sepandai-pandainya kamu bermain api di belakangku, ada banyak mata yang bantu aku buat lihat semuanya.”
“Aku bisa jelasin semua ini, Dena.”
“Jelasin apa lagi?” tanya Denallie menantang. “Selama ini kesibukan kamu, aku pikir karena kamu lagi kerja keras untuk masa depan kita. Nyatanya kamu sibuk main bahkan check-in di hotel. Aku juga masih berpikir positif, menunggu dengan sabar sampai kamu siap kenalin aku ke keluarga kamu. Tapi apa, karena kamu memang nggak mau serius sama aku.”
Jiro beranjak dari duduknya lalu mendekati Denallie. “Bukan itu alasannya. Semua ini Cuma salah paham, kamu harus dengar juga cerita dari sisiku, Dena.”
“Enggak mau. Aku sudah muak sama kamu, Jiro. Aku mau kita putus sekarang juga.”
“Aku nggak mau, nggak bisa!” balas Jiro. “Kamu nggak bisa mencampakkan aku seperti ini. Siapa kamu sampai berani buat aku malu dengan tuduhan nggak benar?”
Lagi-lagi Denallie menampakkan senyum remeh. Ia beranjak dari tempat duduknya, lalu menatap Jiro dengan lekat. Tangannya yang mengepal terangkat, dengan penuh semangat mendaratkan pukulan ke wajah Jiro. Meski tangannya ikut sakit, tapi ia merasa puas sudah melampiaskan kemarahan dan rasa kecewanya.
“Kamu berani pukul aku?” ucap Jiro sambil memegang pipinya.
“Iya, kamu kira aku nggak berani, hah!” Denallie mendekati wajah Jiro hingga nyaris tidak berjarak. “Aku ini Denallie, tapi bukan berarti kamu bisa meremehkanku, Jiro. Mulai saat ini, kita nggak ada hubungan lagi. Bye!”
Denallie meninggalkan Jiro yang sedang menahan sakit akibat pulukannya. Rasanya sangat puas dan lega. Meski akhirnya air matanya jatuh, mengingat lagi kenangan manis dengan laki-laki itu. Hubungan yang dikira akan berjalan indah, justru harus berakhir tragis.
“Nggak apa-apa, Dena. Jiro nggak pantas buat kamu. Kamu terlalu berharga untuk disakiti sama orang sebrengsek dia,” batinnya.
Pada akhirnya Denallie harus menjilat ludahnya sendiri karena berakhir di Purple. Dulu, saat ada pengunjung yang mabuk akibat patah hati, ia selalu membatin. Menganggap betapa bod0hnya orang-orang yang melampiaskan rasa sakit di tempat yang berbahaya. Sekarang, ia melakukannya. Setelah berhasil memberikan balasan kepada Jiro, ia pergi ke Purple sendirian tanpa ada teman yang menemani.
“Jangan banyak minum, Na. Kamu sendirian di sini, bahaya,” ucap seorang bartender yang bekerja di Purple. Denallie mengenalnya dengan baik, karena mereka bekerja di tempat yang sama. Bedanya, hari ini ia sedang libur. “Atau aku telpon Abila biar jemput kamu ke sini?”
Denallie segera menggeleng. Mimik wajahnya menyiratkan ketidaksetujuan. Jika Abila melihatnya seperti ini, maka habislah menjadi bahan ledekan.
“Jangan kasih tahu siapa-siapa. Aku Cuma mau minum sedikit, nggak banyak, kok,” balasnya dengan nada bicara sedikit kurang jelas.
“Tapi janji, ini yang terakhir. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.”
“Sssttttt! Kamu ini bawel sekali, sama kayak Abila.”
Dalam keadaan setengah mabuk, Denallie meraih gelas berisi minuman beralkohol. Namun, ada tangan besar yang mencegahnya melakukan kekonyolam dalam situasi ini.
“Apaan, sih!” protes Denallie.
Gentala berdecak sambil menggeleng pelan. “Ada saja orang yang ganggu waktu saya. Harusnya saya nggak datang ke sini biar nggak ketemu kamu.”
“Siapa juga yang mau ketemu kamu. Pergi sana, cari meja yang lain,” balas Denallie ketus. Ia kembali menarik gelasnya tapi tidak berhasil. “Nggak punya uang, ya? Kenapa kamu ambil milikku?”
Bukannya menjawab, Gentala malah meneguk minum milik Denallie. Sontak tindakannya semakin membuat wanita itu kesal.
“Heh! Kamu pencuri, ya!”
Gentala tidak bisa menahan senyum saat melihat tingkah Denallie yang lucu karena mabuk. Meski marah, tapi justru menggemaskan. Benar-benar menjadi hiburan saat ia merasa penat akan aktivitas sebagai dokter.
“Sebaiknya kamu pulang sekarang. Semakin lama di sini, semakin bahaya,” ajak Gentala.
“Enggak mau! Jangan sok peduli, kita nggak saling kenal.”
“Aku yang antar.”
Denallie menolah bahkan mengibaskan tangan saat Gentala ingin menyentuhnya. “Jangan pegang aku. Kamu sama saja dengan Jiro. Kalian bersaudara, sama-sama b******k!”
Melihat bagaimana agresifnya Denallie meski dalam keadaan setengah sadar, Gentala tidak mau ambil risiko. Ia mengambil dompet di saku celananya, lalu mengeluarkan kartu untuk membayaran minuman Denallie.
“Anda kenal dia?” tanya teman kerja Denallie yang tadi.
“Iya. Saya mau antar dia pulang.”
“Kalau boleh tahu, nama Anda siapa? Saya sering lihat Anda ke sini, tapi saya nggak tahu nama Anda.”
Gentala terkekeh, paham dengan maksud laki-laki itu. “Gentala. Kalau ada yang cari Dena, bilang saja saya yang antar pulang.”
“Oh baik kalau begitu.”
Setelah selesai membayar, Gentala membawa Denallie dengan terpaksa. Wanita itu memberontak tapi tenaganya sudah melemah akibat pengaruh minuman. Untung tubuhnya tidak terlalu berat, sehingga bisa membawanya ke dalam mobil.
“Cowok b******k! Tukang selingkuh. Awas saja, aku potong adiknya biar nggak bisa kawin.”
Ocehan Denallie membuat Gentala kaget. Ia memandang wanita yang duduk di sebelahnya, yang kini sudah tertidur. Siapa sangka di bawah alam sadarnya, Denallie sebar-bar ini. Mengatakan hal yang tidak ia duga.
“Sadis juga cewek ini,” gumamnya.
Sepanjang perjalanan mengantar Denallie pulang ke kos, banyak hal yang melintas di pikirannya. Mengenai pertemuannya dengan Denallie yang tidak terduga, segala hal yang terasa kebetulan dan juga ia selalu terlibat dengan wanita ini meski tidak ingin. Seperti malam ini, ia tahu bukan jadwal Denallie manggung, tapi ia tetap datang untuk melepas penat. Siapa sangka akan bertemu wanita ini dan membuatnya iba sehingga mau mengatarkan pulang.
“Kira-kira kalau dia tahu aku yang antar pulang, gimana reaksinya?” tanya Gentala pada dirinya sendiri. Ia kembali menoleh, melihat Denallie tertidur pulas. “Dia pasti ngamuk dan nuduh aku yang bukan-bukan.”
Setelah usaha yang melelahkan, akhirnya Gentala bisa membawa Denallie berbaring di atas kasur yang ada di kamar wanita itu. Kunci kamarnya ada di dalam tas tapi sialnya ia tidak tahu yang mana kamarnya. Untung masih ada penghuni yang belum tidur dan sedang ngobrol di luar, sehingga Gentala bisa tahu letak kamar Denallie dari mereka.
“Anak ini benar-benar menyusahkan,” gumamnya.
Setelah menutup tubuh Denallie dengan selimut, Gentala mengedarkan pandangan matanya ke sekitar kamar. Ruangan yang tidak terlalu besar, dengan keadaan sedikit pengap. Gentala tidak pernah tinggal di tempat seperti ini, sehingga timbul rasa kagum karena Denallie betah menempatinya.
“Pasti berat hari-hari yang kamu lalui karena Jiro. Tapi semoga kamu segera dapat obat penawar dari rasa sakitmu, Dena.”