2. Apa Kabar Nasib?

1911 Kata
Nggak masuk akal banget. Papa mau mendisiplinkan Badai yang super astagfirullah ini dengan harapan bisa berubah jadi masya Allah melalui jalur perkawinan. Apa papa nggak mikir ke depannya seperti apa, andai Badai malah semakin b***t di ranah rumah tangganya sebab dia belum siap? Ibaratnya, buat mimpin diri sendiri ke jalan yang benar saja Badai repot, apalagi ada makmum yang menjadi followers-nya? Bisa-bisa nanti Badai menjadi kepala rumah tangga yang ngajak sesat sama istrinya. Aduh, Gustiii. Semakin tua papa semakin tidak rasional, menurut Badai. Mulai dari Badai yang nggak mau kuliah, dikuliahkan, padahal Badai maunya masuk akademi militer. Sayang, restu papa merujuknya ke dunia manajemen. Argh! Badai nggak bisa diginiin. Cukup dunia pendidikannya saja yang disetir oleh papa, jangan jodoh juga. Badai resah berantakan. Belum lagi, ini yang mau papa kawin silangkan dengan Badai adalah remaja tanggung, eum, atau anak baru gede? Soalnya baru lulus SMA, kan, ya? Iya, si Aruna Aruna itu baru lepas dari seragam putih abu. Dan Badai sendiri masih umur 22. Bukankah itu masih teramat muda, Miskah? Papa benar-benar salah ambil ide untuk cerita hidup Badai. Sialnya, Badai nggak bisa ngapa-ngapain jika dan hanya jika fasilitas hidup mewahnya diancam musnah. Dobel sial. "Mpan ...." Memanggil Topan, dia menoleh, menatap Badai yang dari tadi bolak-balik kayak setrikaan di kamar Topan. Nggak tahu apa faedahnya. "Kita, kan, kembar nih," kata Badai, lalu duduk di sebelah kursi belajar Topan dengan menyeret alat musik pukul berupa boks kayu. "Nah--" "Wajah kita nggak sama," sergah Topan, memangkas seolah tahu ke mana arah Badai bicara. "Jadi, buang jauh-jauh ide gila kamu. Saya nggak mau." Untuk bertukar peran ala-ala sinetron yang mungkin pernah tayang. Badai mengacak gemas rambutnya. "Kalo gitu ... plis, Pan. Bantuin gue, cari ide jitu buat menggagalkan perjodohan ini. Lo nggak kasian, apa, masa bujang gue terancam punah!" "Itu derita kamu." "Fuckkk!" maki Badai, lost control. Topan masa bodoh. Kembali dia sibuk belajar, Topan mau masuk S2. Dia bahkan sudah ada rencana untuk lanjut sampai S3 nanti. Sebab cita-cita Topan belum tercapai: Masuk kuliah sendiri, keluarnya bareng anak istri. Ehm! Sayang, belum ada perempuan yang srek di hati, kecuali .... Astagfirullah. Itu Topan. Lain dengan Badai yang super gelisah sekarang. "Anjing emang, perjodohan ini bisa aja batal andai si Aruna sialan ... argh!" Badai maki-maki nggak jelas, menyalahkan siapa saja yang menurutnya patut disalahkan. "Bocah bau kencur gaya-gayaan siap nikah, bangsattt!" Seburuk itu, kata yang tak layak didengar, makanya Topan cepat-cepat menyumpal telinga dengan earphone-nya. Biarlah Badai nyerocos sendiri. "Anj@$*#&^!" Ah, entahlah. Kalau didengar mama, bibir Badai bisa maju beberapa senti sebab dicipok sama p****t panci. Napas Badai memburu, capek dia maki-maki. Lalu guling kanan dan kiri di kasur Topan saat ini. "Nggak mau nikah, Ya Allah ...." Namun, apalah daya Badai yang tak punya kuasa, hingga tiba hari di mana dia menjabat tangan itu dalam sebuah pelafalan kabulnya yang berbunyi, "SAYATERIMANIKAHDANKAWINNYAWIDYAARUNABINTI ...." Asli, ngomongnya nggak pakai spasi. Ekspres seperti kereta yang melaju pesat sekali. Dan kalian tahu? Wajah Badai tampak tertekan maksimal, tegang, seperti kewalahan nahan hajat besar. Ugh! "... DIBAYAR TUNAI!" Akhirnya .... "Bagaimana, Saksi? Sah?" "Sah!" "Sah! Sah!" Demikian hingga doa dipanjatkan, keringat sebesar biji jagung meluncur di pelipis Badai secara hiperbolis. "Silakan kepada pengantin perempuan untuk dipanggil dan duduk di sebelah mempelai laki-laki." Jantung Badai makin heboh ngedrumnya. Ya Allah .... Di lain tempat, Aruna menangis dipeluk ibu angkat. Statusnya sudah berganti. Make up-nya mau nggak mau dibenahkan lagi, sedikit, sebab tangis Aruna terkondisi dengan baik. Langkah demi langkah Aruna ayunkan kaki, meniti pijakan begitu perlahan, fokus menunduk melihat jalanan yang dilalui menuju bangku akad, hingga tepat di sebelah suami ... di situlah Aruna mendudukkan diri. Ibu kota panas sekali, tetapi tangan Aruna dingin tanpa peduli di mana dia tinggal saat ini. Di mana detik itu ... tangan Badai terjulur, tepat menyentuh ubun-ubun istrinya. Dalam hati Badai meringis. Istri, ya? Aruna menunduk, duduknya agak menyerong, menghadap Badai dalam sebuah lantunan doa. "Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltahaa alaih." Percayalah, lidah Badai tergelincir saat melafalkannya. Berat. Ini sungguh berat. Bukan level Badai. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan atas yang Engkau ciptakan. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah) Demikian sampai akhirnya Badai kecup kening itu, oh ... jantung. Jebol kayaknya karena brutal berdentum. Aruna terpejam di tengah euforia orang-orang. "Wah, wah ... met pecah telor, ya, Badai!" Saat sudah duduk di pelaminan, banyak orang bertandang, mengucap selamat juga ledekan. Awas saja nanti! Gini-gini Badai itu ketua di perkumpulannya. "Mantaps, Bos! Jan lupa sharing tutorial bikin debay kalo udah eksplor nanti, ya!" Badai ber-smirk saja. Alias tersenyum miring. "Akhirnya kita punya ibu negara. Ya, gak, Gaes?" kata kawan Badai lainnya, kompak datang semua. Entah siapa yang mengundang, tetapi Badai yakin bocornya pernikahan ini dari Gempa. Oh, atau Topan? Sementara itu, Aruna tersenyum dan berterima kasih saja atas tamu-tamu yang mengucapkan selamat barusan. "Ini kado dari kita, Dai. Semoga bermanfaat ...." Disertai senyum menjengkelkan. Namun, Badai tetap bilang, "Thanks." "Eh, Dai--" "Udah, udah, sana!" pangkas Badai, jengkel lama-lama. "Sana prasmanan! Jangan di sini terus, tersumbat tuh antrean gara-gara kalian." Begitulah hari itu, yang mana diakhiri dengan kedipan jail salah satu teman Badai kepada Aruna yang berdiri di sebelah ketua mereka. Sontak saja Badai colok mata kawannya. "Anjir!" Mengumpat pelan. Yang tak Badai pedulikan, dia melengos dan menghadapi tamu lainnya. Aruna meringis pelan. "Kenapa? Capek?" Eh? Runa menoleh. "Ng ... nggak, Bang." "Baguslah. Toh, kalo capek, telen sendiri aja. Siapa suruh mau nikah," ketusnya menanggapi, Badai bertutur pelan penuh keki. "Gue ke sana dulu," imbuhnya. Meninggalkan Aruna di pelaminan itu sendiri. Dan yang Badai tunjuk hingga dia hampiri adalah kawan seperkumpulannya tadi. Di sini, Runa terdiam, ini baru awal. So, dia semangati diri sendiri. Yakin bahwa putusannya adalah hal tepat. *** "Ini udah lewat berapa tahun, sih, Mpan, dari zamannya Tante Wana pergi?" "Abang," ralat Topan. Rinai semakin dewasa semakin memudarkan embel-embel abang kepada trio bencana. Bibir Rinai mengerucut. Habisnya, tiap Rinai jalan sama salah satu abang kembarnya itu, nggak pernah dikira kakak-adik, yang nggak tahu selalu mengira bahwa mereka adalah pacar, selingkuhan, dan mas crush. Kan, jadi keenakan. Biar makin dikira Rinai punya gebetan, gonta-ganti pula, Rinai menghayati sampai-sampai pudar sebutan abangnya. "Iya, iya, Abang! Jadi, udah lewat berapa tahun sejak Tante Wana pergi dan Bang Mpan yang ganteng ini masih keliatan galau tiap waktu? Sekarang aja kayaknya iri liat Bang Badai di pelaminan." Oh, Rinai sudah tahu perihal kasus yang pernah menggemparkan keluarga Semesta, terkait Topan dan Nirwana, yang mana lulus SMP dulu, tante Topan yang itu pergi jauh ... entah sekolah di mana. Nggak ada yang memberi tahu Topan. "Biasa aja," katanya. "Nggak mungkin! Aku liat Abang nangis pas Tante Wana--hehe, maaf, maaf." Dipelototi Topan, Rinai langsung acungkan dua jari tanda damai. Jujurly, Rinai risi melihat sosok abangnya yang nomor wahid, terobsesi dengan dunia perkuliahan karena punya cita-cita "masuk sendiri keluar bertiga", pernah ditulis di satu kertas yang sama plus dibaca bersama-sama saat itu antara Bang Badai, Bang Topan, dan Bang Gempa. Risinya, katanya pengin masuk sendiri keluar berempat di dunia perkampusan, I mean: Pas daftar kuliah itu alone, pas wisudanya bertiga sama istri dan anak. Yap! Itu impian Topan. Namun, yang Rinai lihat, nggak pernah, tuh, Bang Topan dekat sama perempuan. Minimal mau pacaran. Ya, gimana mau menggapai cita-cita kalau sama cewek kelihatan ogah-ogahan? Kecuali .... Rinai pernah melihat histori pencarian media sosial Bang Topan, di situ masih nama Nirwana di urutan teratas. Masih penasaran di mana keberadaan tantenya, yang juga bisa dibilang ... mantan? Eh, tapi nggak dianggap mantan sama Bang Topan. Makanya dia selalu bilang "belum pernah pacaran", padahal dulu ... meski kabarnya cuma berlangsung satu hari, ya. Itu pun nggak full karena keburu sadar bahwa perasaan mereka penjijikkan. Ya, Topan dan Nirwana. Topan yang merupakan anak Papa Awan, dengan Nirwana yang merupakan anak Papi Alam, alias kakeknya Topan. Sebut saja Nirwana itu tante. Sekarang Topan cuma berdecak. "Bang." "Nggak usah ngomong, deh, Nai, kalo cuma mau bahas itu." "Jiah, udah sensitif aja kayak p****t baby!" Topan hanya mendengkus. "Belum move on, ya?" "Nggak usah sok tau. Udah, sana!" Topan sedang asyik menyendiri di pernikahan Gempa, Rinai malah datang mengusiknya. Kalau kalian ingin tahu, Topan bukannya belum move on, dia cuma merasa ada rasa yang tertinggal, serupa perasaan bersalah. Topan belum minta maaf kepada Nirwana, dan Topan stuck di sana, di perasaan bersalahnya. Dia menganggap ini belum selesai, makanya nggak berani dekat dengan perempuan, apalagi kalau sampai pacaran, menikah ... no! Topan mau selesai dulu, rasa yang tertinggal ini mesti dibuat tuntas dulu agar kelak pasangannya tidak merasa sakit. Iya, seperti itu. Dan dibilang mantan ... kayaknya nggak pantes. Nggak, Nirwana itu tante, bukan mantan. Sampai kapan pun nggak akan pernah Topan anggap demikian. Meskipun dulu .... Topan SMP kelas 3. "Oke, kita pacaran." Jantung Topan bergemuruh kencang. Di depannya, Nirwana tampak tak percaya, tetapi lalu dia langsung memeluknya. Dan saat itu, Topan balas rengkuhannya. Bukan di sekolah, itu saat Nirwana mengajak ketemu dan Topan mau. Mereka pergi main. Ya, dulu. Saat itu. Tangan Topan langsung digandeng, Nirwana sangat ceria hari itu, kegembiraannya jelas terlihat, entah kenapa ... Topan senyum karenanya. Ada perasaan yang menggelitik di d**a. Namun, nggak lama. Sampai akhirnya Topan dilema dan sadar bahwa ... itu tidak benar. "Kita udahan aja." "Anggap nggak pernah pacaran." "Anggap nggak pernah terjadi apa-apa." Setelah semua yang dilakukan hari itu. Sejujurnya, lidah Topan kelu. Namun, dia harus tega untuk bilang, "Udahan, ya? Udahin aja semuanya, termasuk perasaan Tante ke aku. Tolong ... udah. Sampe di sini aja Tante bikin aku ikut-ikutan punya rasa yang menjijikkan." Di situ air mata Nirwana jatuh. Apalagi saat Topan lanjutkan, "Hapus semua memori soal kita, termasuk aku. Maaf aku harus bilang ini, tapi serius ... cintanya kamu ke aku itu, jijik banget." Banget. Dan esoknya, semua berubah. Drastis. Hingga Topan tidak lagi menemukan keberadaan tantenya yang itu, sudah bertahun-tahun lewat pun, bahkan saat Hari Raya, Nirwana tidak pernah ada. Pun, di hari ini. Hari pernikahan Badai. *** "Nggak usah sok imut!" Aruna tersentak. Kaget banget. Dia memasang ekspresi apa memang tadi sampai-sampai dibentak begitu? "Kaki aku sakit," katanya. "Caper!" tukas Badai. Melenggang ke kamar mandi. Iya, sedang momen pergantian kostum pengantin di kamar, pun sebagai ajang istirahat. Aruna menggigit bibir bagian dalam. Ini serius sakit, Aruna pun lepaskan selopnya. Ada luka di tumit. Eh, atau apa ini namanya? Bagian belakang kaki. Perih. Makanya tadi Aruna pasang ekspresi yang ... mengernyit? Atau bibirnya dimajukan? Ah, entah. "Nggak mau pakai sepatunya, boleh, nggak?" Ketika Badai keluar habis buang urine. "Pakai sandal aja boleh, kan, Bang?" Toh, ini acara mereka. Nggak ada aturan mutlak wajib pakai sepatu pengantin, kan? Aruna memelas. "Makanya jadi cewek, tuh, yang imut-imut aja kakinya! Segala kaki gajah begitu. Nyusahin. Minggir!" Aruna menahan napas. Masih belum terbiasa dengan sifat suami. Oh, iya ... suaminya. Jujur, agak cekit-cekit di hati. Omongannya tega sekali. "Nggak usah cengeng! Ini mau gue ambilin sendalnya." Eh, eh, Aruna malah makin pengin nangis. Namun, kuat-kuat dia tahan. Terlebih, menikah dengan Badai, kan, itu keputusannya. Jadi, tahan, Una. Nggak boleh cengeng. "Sini mana kaki lo!" Tersentak lagi, datang-datang bawa sandal dan kaki Aruna ditarik, Badai jongkok memasangkan sandal tersebut seraya ngomel .... "Besok-besok kalo udah kerasa sakit, ya udah, nggak usah sok kuat. Sekarang kaki lo berdarah gitu nanti gue yang disalahin. Jangan bilang-bilang mama, awas! Tutupin baik-baik luka lo." Termasuk luka di hati? Aruna lekas mengangguk. Tuhan .... Jika awal saja sudah begini, apa kabar untuk kehidupan mereka ke depannya nanti?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN