Prolog
Asrama Putri.
Plis banget jangan salah paham dulu, tentang dua kata di atas yang merupakan nama salah satu grup chat di w******p milik Badai, alias bukan "asrama putri" sungguhan. Yang sedang dia simak isinya. Ngomong-ngomong, Badai adalah makhluk batangan one and only di grup itu. Grup yang sebelumnya diberi nama "Barisan Para Mantan" telah berubah menjadi "Asrama Putri" seperti sekarang. Bukan Badai yang membuat grupnya.
"Badai!"
Itu suara mama.
Manusia nomor wahid yang Badai kasihi sepanjang masa, tak peduli di luaran sana Badai adalah ketua dalam perkumpulan Tamansafuckboy di sekolahnya, tetapi di rumah dia tetap anak mama.
"Iya, Ma!" sahutnya. Segera meletakkan ponsel di meja, Badai hampiri mamanya. Mama Ainara, perempuan kecintaan Papa Awan. Yap, orang tua Badai.
"Jawab jujur! Kamu ngerokok, ya?"
"Nggak, Ma."
"Nih, cium! Baju kamu, kan, itu?" Yang mama lemparkan seragam sekolah Badai, tepat ditangkap oleh empunya.
Badai menghidu aroma yang semerbak di sana, bau nikotin. Mama nggak salah, tetapi Badai berani sumpah ... "Bukan Badai yang ngerokok, Ma."
Badai kembalikan pakaian kotornya, yang pasti hendak mama cuci. Badai menerangkan tentang dia yang sebelum pulang main dulu di warkop, lalu di sana ada beberapa temannya yang perokok, mau tak mau baju Badai jadi kecipratan baunya.
Mata Nara memicing menatap Badai, anak nomor dua dari enam bersaudara.
"Awas kamu kalau bohongin Mama!" serunya. "Habis kamu nanti Mama sunatin," imbuhnya memberi ancaman.
Namun, tak mempan. Badai menyahut, "Ya, itu pun kalo Mama mau nggak dapet cucu dari Badai, silakan aja."
Iya, Badai namanya.
Badai Dwirama Semesta.
Yang Nara jitak kepala putranya. "Pinter banget dijawabin!"
Bukannya apa, tetapi Badai memang agak meresahkan anaknya. Semakin tumbuh, Badai semakin mengkawatirkan ranah pergaulannya.
Pernah sekali, oh, lebih kayaknya ... Badai pulang dalam keadaan bau alkohol. Pernah juga pulang larut malam akibat ikut balapan. Parahnya, sebagai ibu, Nara nggak pernah lihat Badai sujud sama Tuhan. Ya Allah, tolong!
Nara pun pernah sampai mau pingsan ketika dapat kabar bahwa Badai diamankan pihak kepolisian gara-gara tingkahnya itu, balapan.
Makanya, Nara makin protektif sekarang. Khusus sama Badai. Baju kotornya saja sampai Nara endus-endus aromanya.
Sekadar informasi, sekarang pun Badai sedang menjalankan hukuman dari papa gara-gara pulang jam satu dini hari. Karena katanya, ceramah saja sudah tidak mempan untuk Badai, makanya perlu ditindak lebih agresif, seperti mengurung Badai seharian di rumah, misalnya? Lalu uang jajan dikorting, motor disita, bahkan ponsel menjadi ancaman selanjutnya, hingga di sekolah pun papa menyuruh Topan dan Gempa--kembaran Badai--untuk selalu mengawasinya.
Itu Badai ketika kelas 3 SMA.
Sekilas perkenalan tentang anak Awan Putra Semesta dan Ainara Saskya Lorenzo yang nomor dua.
Beranjak pada Gempa, bungsu gagal mereka. Oh, iya, Gempa Trisatya Semesta namanya. Anak nomor tiga.
"Bisa-bisanya nilai bahasa Indo kamu tujuh, padahal itu pelajaran paling mudah. Gempa, yang serius, dong, sekolahnya!" geram Awan, sang papa. "Jangan ikut-ikutan Badai!"
Yeu, selalu Badai yang dinotice kalau urusan kejelekan.
"Coba tengok abang kamu! Bang Topan."
Nah, itu. Jika perilaku baik, maka Topan yang disebut. Dan orangnya sedang makan sekarang, khidmat. Tahu nggak, sih? Hal itulah yang selalu membuat Topan tinggi hati, terlalu percaya diri. Beuh, si Topan si paling sopan. Itu kalau kata Badai.
Gempa meringis saja.
Awan pun menghela napas panjang. Dia tengah memberikan kultum ala papa kepada anaknya yang minus dalam keterampilan belajar.
"Padahal dulu waktu kecil, Gempa ini rajin dan suka baca buku, lho. Kok sekarang gedenya kayak gini? Ikut-ikutan Badai, ya?"
Ya Allah, Pa. Plis, deh.
Suara hati Badai, tak terima dinotice teros kejelekannya. Pakai "o" biar nendang. Ya, tapi Badai akui kalau yang papa ucapkan benar semua. Iya, Badai mah apa atuh. Berandal.
Secara terang-terangan pula papa menasihati Gempa dengan membandingkan Badai dan Topan. Jauh, Kawan! Langit dan bumi. Ibarat Topan adalah kupu-kupu surga, nah, Badai ini mikrobanya neraka.
Astagfirullah, Bestie! Untungnya Badai nggak sakit hati, dia mah anti baper-baper club. Makanya, nggak pernah tobat. Karena tak merasa tersinggung.
"Papa nggak tau aja, di sekolah Topan tuh dia suka mojok, Pa. Pacaran terus."
"Nggak usah ngomong kamu kalau nggak ada data!"
Oke, sip. Badai mingkem.
Si paling durjana. Ngomong aja nggak boleh. Sabar, Badai, namanya juga sering mengecewakan orang tua. Yeah, apalah daya, Badai nyaman dengan lingkungannya.
Topan bisa makin sombong dan super percaya diri. Lihat saja nanti, Badai 100 persen yakin tanpa diskon.
Ah, iya, kembali pada Gempa. Yang papa maksud itu nilai dari kertas ulangan bertajuk simulasi untuk bekal UN nanti. Dan menurut Gempa, yang penting lulus, urusan nilai belakangan. Dalam artian, mau dapat 7 kek, 6, 5, bahkan nol sekali pun, Gempa tak acuh. Yang penting dia naik kelas. Lulus tepat waktu. Secetek itu pemikirannya.
Hingga waktu tak terasa cepat berlalu, padahal rasanya baru kemarin trio bencana pakai seragam putih biru.
Kini ....
Topan dan Gempa sudah kuliah di semester akhir, mereka sedang garap skripsi. Iya, cuma Topan dan Gempa. Lalu, Badai?
Si paling santuy dalam menjalani perannya sebagai mahasiswa, dia tertinggal di semester dua. Bisa-bisa kalah oleh adiknya, Rinai Hujan.
Dari sudut pandang Awan, yang terus mengeluh kepada istrinya terkait anak-anak, apalagi Badai si paling saleh. Ironi dalam menggambarkan sosok putra Awan yang itu.
Oh, Awan putuskan, "Salah satu dari kalian, Papa jodohkan."
Membuat segala kunyah dalam mulut penghuni rumah itu terjeda. Ya, mereka sedang makan malam bersama.
"Bukan Rinai, kan, Pa?"
Satu-satunya princess di deretan anak Awan bicara. Awan senyum.
"Skip, Abra udah punya pacar."
Nah, itu Abrasi. Bungsu gagal setelah Gempa. Sebab bungsu sesungguhnya adalah dia, Magma, diam saja.
"Yang jelas bukan Badai. Mau dipikir gimana pun, Badai belum cocok jadi suami. Ngimamin diri sendiri aja nggak bisa, apalagi ngimamin anak gadis orang, kan?"
"Siapa ceweknya, Pa?" tanya Gempa. Lain dengan deklarasi Badai sebelumnya.
Topan memilih lanjutkan makan sambil tetap menyimak papanya.
"Anak angkatnya Bu Diana, temen Mama dulu pas di kampus." Ini suara mama mereka. Senyum.
"Oh, yang udah almarhum itu?" celetuk Badai. Dia tahu.
"Iya, orang tuanya yang udah almarhum. Yang waktu itu pernah diajak main ke sini, tuh. Inget, nggak?"
"Yang pake kerudung lebar bin panjang bukan, sih, Ma?" tanya Gempa lagi. Ingat-ingat lupa soalnya.
Mama makin lebarkan senyuman.
"Bukannya dia masih sekolah, ya? Iya, kan? Sepantaran Abrasi? Eh, apa Rinai?" Gempa berharap, semoga bukan dia yang dijodohkan.
"Rinai. Dia udah lulus, kok," timpal papa.
Di sana ... Topan mengangguk-angguk, senyum segaris.
"Nah, itu, calon istri Badai."
Uhuk, uhuk!
Yang terbatuk bukan Badai, melainkan Topan. Gempa sudah feeling. Sedangkan, Badai langsung berdiri.
"Nggak--"
"Duduk, Badai," sergah mama.
Badai patuh, tetapi tetap menyanggah. "Nggak bisa gitu, Pa!" Dadanya naik-turun kepanikan. "Badai masih kuliah, masa depan masih remang-remang, kasian nanti anak orang. Papa mikir ke sana, kan?"
Yang Badai paparkan sisi negatif dan nggak ada positif-positifnya tentang dia atas gagasan papa barusan.
Nikah?
Sama ukhti-ukhti?
Lagian, nih, ya ... "Mana ada orang tua, angkat sekali pun, menjerumuskan anaknya buat nikah sama cowok kayak Badai gini. Jadi, Pa--"
"Mereka setuju, kok."
"Pasti stres semua," gumam Badai. Dia geleng-geleng kepala tak habis pikir.
"Dijaga omongannya, Sayang," tegur mama.
Badai melengos sebal.
Asli, ini nggak masuk akal. "Ma ...."
Gelengan kepala menyambut aduan Badai kepada sang mama. Maka, Badai menatap Topan.
"Lo aja yang nikah, Pan. Lagian, masa Badai ngelangkahin abang? Gak gitu, kan, ya, konsepnya?"
"Gak pa-pa. Kamu ngeduluin, nanti Abang nyusul." Selepas batuknya reda, Topan keluarkan smirk-nya.
Anjim. Si paling menghanyutkan. Percayalah, diam-diam meong garong Topan itu, menurut Badai. Dia kembali menatap papa. Yang belum apa-apa, papa sudah mendahului bilang, "Besok kita ke sana. Nah, pagi-paginya ke salon dulu, tuh, potong rambut gondong Badai."
"No! Sorry, ini aset. Jangan sentuh rambut Badai!"
Yup, si paling gondong.
Sekarang saja Badai dikucir. Memang panjang rambutnya, sebahu kalau dikira-kira.
Kembali lagi pada gagasan papa. Badai menggeleng. "Jangan bikin Badai jadi orang jahat, Pa. Cukup berandal aja, Badai nggak mau jadi berengsek juga."