1. Mikroba Neraka

2477 Kata
Daftar Impian Trio Bencana Sewaktu SMA: Topan: Masuk kuliah sendiri, pulang bertiga (saya, istri, dan anak). Badai: Masuk surga (bismillah aja dulu). Gempa: Masuk universitas bergengsi jurusan Kedokteran (aamiin). Namun, realita mereka: Sekali pun Topan belum pernah pacaran, berkebalikan dengan rumor yang laris di pasaran. Dan Gempa adalah siswa kafir alias anti belajar-belajar club, dia lebih pro mendekati larangan guru, dan menjauhi perintahnya. Sementara itu, Badai ... "Lo aja yang salat, gue lagi nggak." Bisa dibayangkan bagaimana kondisi mereka sekarang? Yang dulunya seperti itu, dan tetap begitu, sampai-sampai papa ambil solusi perjodohan, dengan Badai sebagai tokoh utama dadakan. Tentu saja, Badai uring-uringan. "Bangsaaat!" Dia meledak. Dilirik oleh tiga kawannya di bangku seberang. Meja warkop tongkrongan. Area kampus, tetapi di luar gerbang. "Kalem, Sahabat!" "Apa, sih, apa? Cerita dong, Dai." "Tau, nih. Dari tadi b*****t-b*****t teros, tapi nggak jelas ngebangsatin apaan. Aing, kan, jadi makin kepo, Bestai." Mulai dari Azam, Raffa, dan Brian. Tiga teman tongkrongan Badai di kampusnya. Badai mendengkus. "Masa bujang gue terancam punah, kambing!" "Kenapa, lo? Mau wafat?" "Hush!" tegur Azam, si paling alim di antara mereka. Setidaknya. Di saat Ramadan tiba, hanya Azam yang puasa, sisanya nggak. Terkhusus Badai. "Nggak boleh ngomong sembarangan, Raffa. Kalo diaminin malaikat Raqib dan Atid, gimana? Bisa-bisa beneran dijemput sama Ijrail nanti." Brian tertawa. "Gue serius!" geram Badai. Tadi katanya minta cerita. Sekarang Badai sudah speak up, mereka malah bercanda. Teman macam apa? "Oke, serius ini serius!" sahut Raffa, "jadi, kenapa bisa terancam? Lo diincer tante-tante, Dai? Ditawar harga berapa sampe sebegini dilema?" Tentang masa bujangnya. Seketika Badai mendelik. "Serius, Dai?" Ini lagi manusia satu, ikut-ikutan jalan pikiran Raffa. Badai makin mendengkus. Yang kemudian dia teguk es teh rendah gulanya. Well, rambut sebahu badai dikucir rapi. Di mana detik itu ponsel Badai berbunyi. Dari papa. Fix. Masa lajang Badai punah tanpa bisa dilestarikan lagi. "Iya, iya, ini Badai otewe pulang!" Begitu katanya, mengangkat panggilan, lalu diputus kemudian. "Eh, cepet banget, Dai? Es teh lo belum nambah dua, tuh!" Tak Badai indahkan, lekas dia beranjak dari kumpulan kawan setongkrongan. Alih-alih langsung pulang sehabis kuliah usai, Badai justru nongki dulu bersama gengnya. Terlebih, ini adalah hari di mana papa bilang, "Besok jangan telat pulangnya, kita ke rumah calon istri kamu habis asar." ARGH! *** "Apa-apaan ini, Papa?!" Badai histeris. Bagaimana tidak? Papa menyuruhnya pakai baju koko + sarung + peci. Bukannya lebay, tetapi memang Badai anti sama yang berbau kerohanian. "Apanya yang apa-apaan?" balas Awan, kalem. Sedang Badai, dia melotot menatap seperangkat pakaian di atas ranjangnya. Bahkan, papa sendiri yang memastikan Badai pakai baju itu atau nggak. "Ini ... Badai cuma mau ngelamar anak orang aja, kan? Bukan mau cosplay jadi ustaz." Catat! Ngelamar. Iya, Badai disuruh lamaran hari ini. Nggak habis thinking lagi sama papa, padahal ada Topan yang lebih siap buat membangun rumah tangga, ini malah Badai yang kena aksi perjodohannya. Mahasiswa semester dua, mahasiswa abadi katanya. Namun, Badai tak bisa menolak, sebab papa mengancam dengan, "Segala aset kamu, Papa bekukan." Oh, tidak! Aset adalah fasilitas yang papa berikan, dan itu modal Badai buat jadi arogan. Badai nggak bisa meninggalkan lingkungannya, di mana orang-orang seolah tunduk padanya. Dan "kaya" merupakan salah satu tunjangan Badai dalam menikmati hidupnya. Iya, Badai nggak sanggup jatuh miskin. Yeah, Badai nggak ingat saja dulu saat balita sampai SD dia itu beli tahu bulat saja susahnya minta ampun mesti nangis-nangis dulu ke mama, gara-gara perekonomian yang memprihatinkan. "Udah, cepet dipake! Baju itu bukan buat dikomentari, tapi buat dipakai dengan sepenuh hati," kata Awan, "buru! Papa liatin." Entah apa faedahnya, papa benar-benar mengawal Badai sampai beres berpenampilan. "Nah ... gini, kan, ganteng--" "Emang ganteng! Nggak gini juga tetep ganteng," pangkas Badai, sebal. Akhirnya Badai keluar kamar dengan penampilan seperti itu, betul saja, Topan dan Gempa menertawakan di tempatnya. Dua manusia julid itu seolah bahagia jikalau salah satu kembarannya sengsara. "Semangat, Dai!" kata Topan. Gempa cengengesan. Badai sudah geram ingin membungkus mereka, lalu dikirim ke mamang pos untuk ditindak ke Antartika. s**t! "Pa, Badai nggak mau nikah." Awan yang berjalan di depannya, berhenti. Dia berbalik, menatap Badai seraya bilang, "Fine. Siniin kunci mobil, motor, hape, kartu--" "Ck! Iya, iya. Canda. Dah, yuk, berangkat ke rumah dia!" decak Badai memangkas ucapan papanya. Toh, cuma nikah, kan, ya? Dalam hati Badai menggerutu. Iya, cuma nikah. Dan artinya dari kata "cuma" itu kehidupan Badai yang bebas ini bisa wasalam. Ajig! Badai nggak bisa kalau nggak ngomong kasar. Bicara-bicara, setahu Badai, nikah itu penyatuan dua keluarga. Dan harusnya dua pihak menunjukkan keadaan yang sebenarnya, sementara Badai sekarang seolah bukan dirinya. Papa membuat Badai terlihat agamis, padahal mah dih! Dalam hati, lagi, Badai mengomentari tindakan papa yang tak patut ini. Pasti saat mengajukan perjodohan kepada pihak perempuan, sosok Badai digambarkan budiman. Padahal, kan, aslinya bergajulan. Mungkin itu yang membuat pihak wanita mau menerima perjodohan papanya. Kasihan. Si cewek nggak tahu saja cowok seperti apa yang akan menjadi imamnya. Di sini, Badai menyeringai. Ancur dah ancur masa depan cewek itu. Di perjalanan. Ada mama juga yang duduk di kursi belakang bersama Rinai yang minta ikut ingin lihat calon istri abangnya. "Ma, namanya Aruna, kan, ya?" Telinga Badai dipasang tajam, dibuka lebar-lebar. Oh, Aruna, ya? "Iya. Masih inget, ya? Dulu pernah main sama Rinai. Tapi cuma sekali, itu juga pas kalian masih kiyowo." Sudah tak aneh bilamana bahasa mamanya campur sari dengan kosakata milenial. Pergaulan mama nggak jauh-jauh dari Rinai si centil soalnya. Ingat. Dan bukan Rinai yang ingat itu, melainkan Badai. Sumpah! Si Aruna ini, yang baru Badai tahu namanya sebab dulu sama sekali nggak tahu nama, hanya tahu wujud saja, muslimah banget orangnya. Sejak kecil sudah pakai jilbab panjang yang membuat Badai panas hareudang melihatnya. Baju yang Aruna kenakan pun sama panjangnya sampai debu di lantai tersapu oleh kain itu. Iya, hal tersebut yang membuat Badai nggak mau tahu soal teman Rinai yang sekali-kalinya berkunjung ke rumah dulu. Iyuh. Bukan tipe Badai banget. "Nah, sampai ...." Badai praktis menoleh ke luar jendela. Ramai. Dan bukan hanya Badai yang pakai baju koko berikut sarung di sini. Oh, atau jangan-jangan ... "Pernikahannya nggak dilangsungkan sekarang, kan, Pa?" Wajah Badai sudah semrawut. Takut disuruh ijab kabul hari ini. Gila! Dia ketar-ketir dalam diamnya. Kalau mau tahu, hari ini niatnya Badai mau aksi supaya perjodohan bisa batal. "Ya, nggaklah. Yuk, keluar!" ajak papa. Membuka sabuk pengaman. Mama dan Rinai sudah keluar lebih dulu. Fix. Good bye masa lajang! *** "Aruna." Hari itu, sebelum asar tiba. "Iya, Bu?" "Sudah tau nanti akan ada yang bertamu, kan?" Aruna mengangguk. Perempuan dengan khimar berwarna navy itu duduk di sebelah ibunya. Diana. Ibu angkat lebih tepatnya. Selepas mereka lengang dari kesibukan. Duduknya pun di kamar, sebab di luar lumayan ramai. Hendak melangsungkan selametan ke-100 hari kepergian orang tua Aruna, di kediaman Diana. Mata Diana lambat laun mulai berkaca. "Maafin Ibu, ya, Una." "Eh, kenapa, Bu? Ibu nggak ada salah sama Una," katanya. Yang Aruna genggam lembut jemari tangan ibu. Perempuan setengah baya itu malah terisak. Lekas Aruna berikan dekapnya. Sungguh .... Dalam diam Diana tergugu. Sekilas tentang Widya Aruna, yang kerap disapa Una itu adalah gadis 18 tahun, baru saja lulus SMA, harusnya lanjut kuliah, tetapi keadaan justru membuatnya harus menikah. "Dia anaknya temen Ibu. Orang tuanya baik, pasti akan sayang sama Una." Isak tangis Diana mulai mereda, dekap sudah dilepas, tetapi tangan masih saling bertaut. Kali ini Diana yang menggenggam jemari Aruna. "Namanya Tante Ainara, Ibu yakin dia akan memperlakukan Aruna persis seperti ke anak sendiri nanti. Una inget, kan? Atau udah lupa? Dulu Ibu pernah ajak Una main ke rumah mereka." Waktu Diana masih berstatus sebagai tante, alih-alih ibu angkat seperti sekarang, untuk Aruna. "Iya, mamanya Rinai, kan, Bu? Una ingat." Sedikit. "Om Awannya juga baik," imbuh Diana. Namun, ... Aruna tersenyum. Lelaki yang akan dinikahkan dengannya itu, melihat gelagat ibu, tampaknya memang agak sesuatu. Iya, Aruna paham. Itulah yang membuat air mata ibu angkatnya ini meluruh. Tampak berat, tetapi harus melepas Aruna, agar menerima perjodohan yang ada. Demi kehidupan yang lebih baik, harapannya. Diana menghela napas seiring dia sudahi tangisnya. "Kata almarhum abi, manusia nggak ada yang sempurna, kesempurnaan hanya milik penciptanya." Aruna angkat bicara. Dia menunduk. "Dan kalau nanti Una dapet jodoh yang bukan cerminan diri, bukan yang lebih baik dari Una, kata abi, Una tetep harus terima. Apa yang udah Allah sajikan, baik atau buruk, itu pasti yang terbaik buat makhluk-Nya. Una hanya perlu menerima, Bu." Diana bergeming. Sedang Aruna lanjutkan, "Dan kalau memang dia untuk Una, mau sekarang Aruna tolak pun, pasti nanti bakal balik lagi. Sebaliknya, kalau dia bukan untuk Una, sebaik apa pun Aruna menerima, pasti akan dijauhkan nantinya. Dengan cara apa pun." Intinya, untuk sekarang ini, Aruna hanya perlu menerima. Anggaplah karena keadaan yang membuatnya ambil keputusan demikian. Apa hal yang ibu khawatirkan, tentang lelaki yang katanya "minus akhlak" itu, Aruna tenangkan dengan petuah almarhum abi. "Jadi, Ibu jangan merasa bersalah, ya? Una nggak apa-apa." Daripada tinggal di sini, yang tak bisa Diana kendalikan omongan keluarga kecilnya, terhadap Aruna yang memang Diana putuskan untuk dia angkat sebagai anaknya. Namun, ternyata, hanya Diana yang menyukai gagasan itu. Suami beserta tiga putrinya menolak keberadaan Aruna, yang sempat Diana tulikan telinga, tutup mata, hingga akhirnya Diana merasa menemukan jalan keluarnya. Pertemuan dia dengan Ainara di sekolah kala pengambilan rapor tiba. Oh, hari itu ... tahu-tahu kata perjodohan tercetus dari mulut Ainara dan Diana sahuti dengan, "Jodohin aja sama anak angkat aku, Ai." Itulah awal mulanya. "Tapi, Bu ...." Suara Aruna, kembali Diana atensikan padanya. "Una, kan, nggak sendiri." Ah, iya. "Kalau Una menikah, boleh nggak, ya, Una ajak Alvi juga?" *** Anjir! Siapa lagi jika bukan Badai orangnya? Dalam hati sudah misuh-misuh bilang anjir teruntuk papa. Asli, dia berdosa banget. Namun, Badai tak pedulikan itu. Biarlah perhitungan amal baik dan buruk menjadi tugas malaikat, Badai nggak perlu ikutan pusing memikirkannya. Iya, si paling Badai. Yang mana kini di tangannya ada sebuah buku kecil, buku yasin lebih tepatnya. Hal yang membuat Badai berkeringat, seolah sedang dipanggang di Padang Mahsyar. Perut pun melilit seakan habis makan cabai setan berbutir-butir. Cuma gara-gara nimbrung baca yasin. Papanya tega banget. Badai, kan, nggak lancar baca tulisan Arab. Untungnya di buku yasin terdapat terjemahan dan latin, Badai baca itu saja. Meski demikian, suara Badai nggak keluar, hanya bibir saja yang terbuka berlagak pandai membaca Al-Qur'an. Usut punya usut, alasan Badai pakai baju koko plus sarung begini karena sekalian diajak ikut datang ke acara 100 hari meninggalnya orang tua calon istri. Eh, apa tadi? CALON ISTRI?!!! "Nah, Badai ...." Disebut namanya. Tanpa terasa kini telah tiba saat di mana maksud tujuan keluarga Badai hadir di sini, saat semua sudah berlalu, sisa Awan, Ainara, Rinai, dan Badai berikut keluarga inti Diana. Khususnya, Aruna. Disampaikan. "Ini Aruna." Yang Badai tatap orangnya. Dari tadi hanya menunduk, kecuali saat bicara dengan mama, atau sesama perempuannya. "Aruna." Oh, itu suaranya. Dan saat memperkenalkan diri, si Aruna Aruna itu sama sekali tidak menatap Badai. Cih, nggak sopan! "Badai." Tangan Badai bahkan terjulur, tetapi Aruna tak membalas, ralat, dibalas dengan dua tangan menyatu di depan d**a. Badai lupa. Calon istrinya, kan, ukhti-ukhti salihah! Jadilah Badai tarik kembali juluran tangannya. Ditertawakan Rinai di sebelah mama. Ah, sudahlah! "Aruna, Badai ini yang nantinya jadi suami kamu," kata Ibu Diana. "Dia lebih tua empat tahun dari kamu, jadi panggil abang aja." Badai melihat Aruna mengangguk. "Tapi sebelum itu ...." Badai bicara, membuat atensi seluruh penghuni ruang tamu ini terarah padanya. Kecuali Aruna, tentu saja. Yang malah menunduk. Sementara Papa Awan sudah memelototinya. "Aruna harus tau dulu, Tante, Om." Teruntuk mereka. Badai menatap tepat di tundukkan kepala Aruna. "Hari ini gue terpaksa pake baju koko, sarung, apalagi peci." Makin melotot mata papa, Badai bahkan merasa sebuah cubitan di lengannya dari mama. Tak Badai indahkan. "Tante sama Om mungkin udah tau. Mama cerita, kan? Tentang gimana Badai yang katanya mau jadi suami Aruna ini. Tapi, Om sama Tante udah menyampaikan itu belum ke Aruna?" Mustahil banget soalnya Badai diterima. Sungguh. "Sudah, Nak Badai." Itu Om Wiryo yang menyahut. "Dan Aruna menerima," imbuhnya. Nggak. Badai menggeleng. "Badai mau denger langsung dari Arunanya." Lalu Badai melirik papa, di mana tatapan papa seolah bilang: Lambenya, plis! Diem. Nggak usah ngomong apa-apa. Yang Badai abaikan. Kembali Badai tatap Aruna yang duduk di depannya, menunduk dalam, bahkan tangan Aruna saling bertautan meremas jari-jemari, kelihatan sama Badai di sini. "Aruna, angkat kepala lo." Terkesiap. "I-iya ...." Namun, tetap tidak menatap Badai. Ish, ish! Sebal. "Yang sopan dikit, sini matanya lihat gue." "Ma-maaf, Bang." Aruna gugup. "Kita belum mahram, haram bagi Una buat lihat Abang," cicitnya. Pelan sekali. Untung bisa Badai dengar meski duduknya berseberangan. Plis, deh! Badai mendengkus. Fine. "Lo serius mau nerima perjodohan ini? Mau, lo, nikah sama gue?" Aruna bergeming, menunduk lagi. "Badai--" "Papa diem, Badai belum selesai." Ainara sampai menepuk jidatnya. Aduh .... Anak siapa, sih, ini?! "Asal lo tau, ya, Aruna. Gue nggak baik buat lo. Catet, gue sering dihukum papa karena pulang malem, gue masih kuliah semester dua, sedangkan orang yang seangkatan sama gue udah pada wisuda. Dari dua hal itu aja udah kebayang, masa depan gue suram." "Astagfirullah ...." Bagus, Aruna sudah istigfar. Badai yakin, semakin dia beberkan keburukannya, semakin positif Aruna akan menolak dijodohkan dengannya. "Bukan cuma itu, lingkungan main gue tuh--" "Cukup, Badai!" Papa memangkasnya. Sedangkan, dua orang tua angkat Aruna tampak tidak keruan di sana. Yang satu mengusap-usap punggung Aruna, satu lagi memalingkan muka. Memang betul, seberandal itu dirinya. Badai. "Plis, Pa. Aruna harus tau jelas gimana tabiat calon suaminya. Jangan sampe dia terjerumus gara-gara nerima Badai jadi suaminya." Nih, ya .... "Gue pernah mabok, Run." Iya. Aruna, kan, namanya? Sebut saja Run, sok akrab dalam sekejap. Badai terus nyerocos. "Nggak pernah salat, gak bisa ngaji, suka balapan, yakin lo mau sama cowok kayak gue? Lo terlalu masya Allah buat gue yang astagfirullah. Pikirin baik-baik." Dalam hati, Badai tersenyum penuh kemenangan. Mampus, lo! Udahlah, nggak usah mikir. Langsung aja mundur. Sementara itu, Rinai geleng-geleng akan semua pengakuan abangnya. Si paling pintar, Badai, lihat saja nanti, pulang dari sini pasti habis tititnya disunat mama. Tuh, tengok saja. Mama mode meledak. Sudahlah, pasrah. Awan benar pasrah. Dia embuskan napas pelan. "Sudah?" Teruntuk Badai. "Udah, Pa. Silakan dilanjutkan!" Oke. Sejenak hening tercipta. Yang Badai tatap lamat-lamat sosok Aruna. Dari segi fisik, dia cantik, tubuh yang dibalut pakaian gimbrong pun masih dapat Badai nilai 85 dari 100. Perawakannya bagus, meski Badai nggak lihat jelas lekukan tubuh itu. Kulit Aruna putih, kayaknya mulus. Sekilas juga tadi saat bertatapan, yang cuma sedetik, sorot mata Aruna seteduh nuansa di bawah pohon rindang. Sayang, bukan tipe Badai banget. "Jadi ... gimana, Aruna?" Mama Nara yang bicara. "Masih mau, nggak, jadi mantu Mama? Buat nikah sama anak Mama yang paling astagfirullah ini." Yailah, sudah 'mama' saja sebutannya. Eh, tapi, bagus. Mama sudah lemah, letih, lesu suaranya. Badai makin bahagia. Apalagi saat Aruna bilang, "Insya Allah ... masih, Tante." Badai manggut-manggut. Giliran dia yang menunduk, menyembunyikan senyum senangnya. Masih belum sadar dia. Hingga Aruna lanjutkan, "Bismillah, Una terima perjodohannya." WHAT THE FAK! Badai menoleh cepat. "ANJIR. LO WARAS, KAN, RUN?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN