"Bisa diem nggak, sih, anjir, gue ngantuk!"
Aruna terkesiap. Dia langsung diam, kaku, selepas tadi tidurnya hadap kiri, balik kanan, terus begitu sampai sekarang nggak ada posisi yang membuatnya tenang. Rasanya sungguh tegang. Ah, malah dihadiahi bentakan.
Well, itu malam pertama mereka.
Badai tidurnya menghadap pintu, sedang Aruna di sisi sebelahnya yang dekat dinding. Badai memunggungi. Sengaja tidur sampai mentok ke ujung kasur. Girls! Seumur-umur mengikuti jejak Om Wala jadi bayi buaya, baru kali ini Badai boboknya sama wanita.
Gila.
Jantung sudah heboh seperti lupa cara kerja semula, detakannya di luar ritme biasa. Ini semua gara-gara papa. Awalnya Badai mau ngungsi tidur di kamar Gempa karena kalau ke kamar abangnya; Topan galak maksimal tak mengizinkannya menumpang, terus ketahuan papa, telinga Badai dijewer sampai ke depan kamarnya sendiri sambil diomeli.
"Temenin istrinya, Ganteng. Kasian dia baru di rumah ini, baru jadi anggota keluarga kita. Dah, sana! Biar Alvi tidurnya sama Magma."
Yup, Alvi, adiknya Aruna. Sementara Magma, itu adalah adik bungsu Badai.
Hingga malam itu, di sinilah Badai sekarang. Berdecak sebal karena Aruna nggak bisa diam.
"Tidur yang tenang! Grasak-grusuk mulu dari tadi, heran."
Aruna makin ciut di dalam selimut.
"Kalo nggak suka tidur di sebelah gue, sana pindah ke lantai! Kamar gue gak sedia sofa, jadi yang nipak aja tidurnya."
Mata Aruna berkaca-kaca. Dia belum terbiasa dengan kata-kata pedas dari lelaki di sisinya, lelaki yang pagi tadi mengucapkan kalimat sesakral kabul dalam akad yang membawa-bawa namanya. Akad nikah.
Detik itu Badai berbalik, terkesiap sebab ternyata Aruna rebah menghadapnya, tepat di belakang punggungnya tadi, kini berhadapan. Aruna mengerjap, mata yang berembun itu berganti dengan rona kemerahan di pipi.
Anj-%#^@**!
Badai maki-maki dalam hati.
"Gak usah caper! Jelek."
Kontan saat itu juga, Aruna menutup wajahnya. Nangis dia. Melihat raut Badai yang tampak benar-benar membencinya. Sungguh, air matanya jatuh bukan murni karena ucapan-ucapan itu, tetapi oleh sebab rasa takut dan tertekannya dia di hadapkan dengan dilema pernikahan.
"Jiah ... cengeng," desis Badai. Kembali dia punggungi. Kesal. "Gitu aja nangis."
Malah makin terdengar suara isak tangisnya. Badai mencebik. Dengan demikian, dia kembali berbalik, menghadap Aruna lagi. Perempuan yang baru kemarin lulus SMA itu tidur berbalut jilbab navy.
"Ya elah ...," decak Badai. Yang lalu dia mendekat, ogah-ogahan Badai beranikan diri mendekap. Eh, gak pa-pa, kan? Badai peluk tubuh yang saat ini menegang, Aruna sampai hentikan isakan. "Gak usah baper. Udah biasa gue peluk-peluk cewek, asal lo tau."
Di sana, Aruna menggigit bibirnya. "Tapi ini pelukan pertama aku ...," cicitnya. "Dari laki-laki selain almarhum ayah."
Oh ... gitu?
Satu detik.
Dua.
Badai berdeham-deham.
Sialan.
Lekas Badai lepaskan. Dia menatap garang wajah Aruna yang sembap habis cengeng barusan. Nggak tahu kenapa, Badai suka--juga nggak suka--dengan apa yang seketika itu batinnya berperang.
Fix, Aruna memang sedap dipandang. Namun, Badai nggak suka karena gara-gara Aruna, dia jadi kehilangan banyak gebetan, hingga terikat dalam sebuah tali-temali perkawinan di saat dirinya belum siap. Makanya dia bilang, "Murahan."
Teruntuk Aruna yang kini mengerjap. Tanpa Badai tahu, hati perempuan itu mencelus mendengarnya.
Detik itu Badai melengos sambil lanjutkan, "Dipeluk, langsung berhenti nangis. Kesenengan, kan? Murah amat--argh!"
Dipukulnya punggung itu, Aruna serius layangkan bogem serupa kepalan tangan, tepat jatuh di punggung suami barusan.
Sakit hati?
Iya, Aruna akui.
So, Aruna beranjak dan bilang, "Aku tidur di lantai aja." Gegas dia pupus sisa air mata. Kesal. Dan hatinya tercubit.
Tanpa menoleh atau membalas tatapan lelaki itu lagi, Aruna turun dari ranjang, mendekat pada ranselnya. Pakaian Aruna nggak banyak, dia cuma bawa satu koper dan satu ransel. Itu pun campur dengan pakaian adiknya; Alvi.
Saat itu Aruna langsung ambil sajadah. Nggak pa-pa, kan, dipakai untuk alas tidur? Tanpa bisa dicegah matanya berembun lagi. Aruna tahan setengah mati biar nggak terjun dan dikata cengeng seperti tadi. Aruna pun letakkan ranselnya di sana, dia jadikan bantal, juga mukena sebagai selimut. Ah, sudahlah. Besok Aruna akan beli selimut di pasar. Memang ada selimut hasil seserahan dari suami di pernikahan tadi, tetapi sama sekali kesemua barang itu tidak berani Aruna sentuh. Dari rumah ibu angkat pun nggak bawa t***k-bengek itu.
Sementara di ranjangnya, Badai melongo. Sekejap saja. Kini dia terusik melihat kelakuan istri--fuceklah, ya. Istri banget nggak, tuh?!
"Bangun!"
Aruna mengeratkan cekalan pada mukena yang dia pakai menutupi tubuh dari dinginnya malam. Soalnya mukena itu ditarik-tarik Bang Badai. Ehm!
"Bangun, Run!"
Rapat-rapat Aruna pejamkan mata dan tutup mulut. Sudah. Dia capek. Mau tidur sungguhan. Tak ditanggapinya celetukan-celetukan suami yang bilang ....
"Bangun! Pindah ke tempat tadi, buru! Nggak usah ngambek sampe tidur di lantai gini. Nanti lo sakit, gue lagi yang kena omel mama. Cepet bangun!"
"Aruna, bangun! Sakit nanti nyusahin gue, awas lo, ya." Sambil Badai towel-towel punggung Aruna dengan ujung jari telunjuknya. Posisi Aruna tidur membelakanginya. "Ck! Bangun sendiri atau gue bangunin pake cara gue?"
Masih hening.
Cuma Badai yang berisik.
Aruna tak mengindahkan segala ocehan Badai dan itu membuatnya kesal.
"Aruna, gue itung sampe tiga, ya. Gak nurut sama gue, gak bangun dan pindah ke tempat tadi, gue perkosa--nah, pinter. Gitu, kek, dari tadi." Badai berdecak, tetapi akhirnya Aruna bangun dan langsung pindah ke kasur tempatnya semula tiduran di sana.
Yap, memunggungi. Aruna juga diam sekali. Lagian serem amat ancamannya. Perkaos, cui! Si amat saja nggak seseram itu.
Ah, bodoh amat, deh.
Dari tadi kayaknya Badai terus yang sensi?
Sudah. Mending Badai juga tiduran lagi, memunggungi, pun tak berucap apa-apa hingga kesadaran benar-benar digadaikan di alam mimpi.
Tercatat malam itu, malam pertama pengantin baru, yang satu pakai baju tidur panjang plus berjilbab, satunya lagi pakai piama abu dan mendengkur halus sepanjang malam berlalu.
Tanpa tahu saat pagi datang, tidurnya ada yang mepet-mepet sampai dipepet balik oleh lawan rebahan. Catat, tanpa sadar. Entah kapan dan bagaimana sejarahnya, begitu mata Badai terbuka, posisi wajahnya tepat berhadapan dengan gunung-gunungan.
Badai mengerjap. Di sana empuk. Serius. Terhalang kain serupa jilbab pun--a***y gurinjay! Badai langsung terduduk detik itu juga. Coba ulangi, tadi dia bilang apa? Empuk?!
Badai merinding sebadan-badan. Melirik sosok Aruna yang masih rapat terpejam, nyenyak sekali, padahal malam ini dia tidur di kamar buaya jantan.
***
"Alvi, kok, nggak mau makan, sih? Ini Kakak udah siapin, lho." Aruna sedang membujuk adiknya yang pagi ini merajuk gara-gara tidak diizinkan tidur satu kamar dengannya. "Alvi, ayo makan dulu," imbuh Aruna, berbisik.
Nggak enak sama keluarga besar suami. Ehm. Aruna sadar kini dia sudah ada yang mengimami, makanya tadi mengajak salat Subuh jemaah, tetapi imamnya menolak dengan bermacam alasan. Ujung-ujungnya nggak salat. Aruna malas berdebat, yang semalam saja dia masih keki. Namun, yeah ... Aruna sadar posisi. Sebagai istri, dia tidak sampai mendiami suami.
"Nggak mau. Kakak udah nggak sayang lagi sama Alvi." Bibir bocah itu melengkung ke bawah. Tanda-tanda mau nangis. "Bobok aja nggak mau bareng Alvi. Jahat!"
Tuh, kan, nangis.
Cepat-cepat Aruna tenangkan adiknya. Duh, nggak enak banget ini. Dia masih kaku di rumah itu, membuat kebisingan tentulah Aruna segan. Ini Alvi pakai acara nangis segala.
"Ssst ... udah, udah. Kakak minta maaf kalo itu bikin Alvi sedih, tapi jangan salah, dong, Al. Kakak sayang banget, kok, sama Alvi. Jadi, nanti malam kita boboknya bareng, ok? Dan sekarang Alvi makan dulu."
Begitu.
Urusan dibolehin atau nggak Alvi ikut tidur dengannya, itu gimana nanti.
Iya, sekarang yang penting adiknya makan saja dulu. Aruna pun menyuapi. Untunglah Alvi ini tipikal adik baik hati.
Di lain tempat, Badai mengamati. Tak lama, dia diledek Gempa. Di situlah Badai langsung menoyor adik kembarnya, lalu melenggang dan sibuk dengan ponsel di tangan.
Barisan para mantan banyak yang mengucapkan selamat atas pernikahan, sedang jajaran gebetan satu per satu kirimkan Badai pesan berupa hujatan.
Yeu, dasar!
Badai balas dengan emotikon kiss jauh.
Sudah, dia pun melenggang memilih masuk kamar. Kembali tidur panjang ... andai papa tidak memanggil dan mengajaknya bicara tentang:
"Hadiah pernikahan, Papa udah beliin kalian rumah di deket sini. Bisa kamu tempati mulai besok. Papa lagi minta tolong orang buat beresin rumah itu dulu. Oh, ya, nggak besar, sih. Tapi cukup kalau buat kamu, Una, sama adiknya. Jaga baik-baik mereka."
Badai mendengkus sebal. "Insya Allah kalau inget."
Dijitaklah kepalanya oleh papa.
Ah, papa, nih! Mainnya kekerasan.
"Papa serius. Dijagain merekanya, di sini kamu yang paling dewasa."
"Nggak janji tapi, ya!" tukas Badai. Salah sendiri memilihnya, bukan Topan yang jauh lebih siap--di mata Badai--untuk mengemban tanggung jawab seberat pernikahan.
Papa ikut-ikutan mendengkus.
"Pokoknya, Papa titip mereka sama kamu. Ini pesan mama. Tadinya Papa pengin kamu sama istri dan Alvi tinggal di sini aja dulu, tapi mama bilang biar kalian mandiri dan lebih saling mengenal lagi, baiknya dikasih rumah sendiri."
Badai memilih diam.
"Terus kamu, tuh, ya, jangan galak-galak jadi orang. Masa semalem kedengeran banget bentak-bentakin Una? Gak boleh itu. Dosa. Apalagi istri kamu, kan, yatim piatu. Kasian jugalah, Dai."
"Lha, nyalahin Badai? Salah Papalah ini, siapa suruh nikahin bocah sama bocah. Dosa ditanggung Papa lho, ya--ampun! Canda, Pa. Canda!" Badai mengacungkan dua jarinya tanda damai.
Oh, dia sekarang ada di ruang kerja papa. Diajak ngobrol di sana.
"Papa sumpahin kamu cinta mati sama Una, ya, Dai. Ati-ati."
Hell. Nggak takut, tuh!
Papa pikir ini zamannya Malin Kundang atau batu belah gitu yang mana sumpah-sumpahan berlaku keras pada masa itu. Huh, sori dori mori stroberi. Nggak mempanlah pasti.
Badai pun balik ke kamarnya lagi, entah berapa lama dia di dalam ruangan papa, sampai saat kakinya tiba di kamar, ranjangnya sudah terisi Aruna dan Alvi.
Baru Badai mau buka mulut, Aruna lekas beranjak dan tahu-tahu mencekal lengannya. Badai tersentak--jujurly, agak kaget dia--Aruna membuatnya tersudut ke tembok dengan dua tangan menggenggam erat telapak tangan Badai.
Aruna bilang, "Maaf, Bang. Tapi untuk saat ini, izinin Alvi tidur di sini, ya? Apalagi kayaknya semalem dia nggak bisa tidur, jadi sekarang Alvi ...." Super lirih, Aruna kelihatan panik juga, yang mana dia mengode agar Badai menatap ranjang di sana, ada Alvi tengah nyenyak di atasnya. "Maaf."
Dan ....
"Tolong, ya?" Aruna memelas.
Saat itu Badai menarik tangannya dari cekalan Aruna, pun Badai membuat Aruna melangkah mundur sebab dia berjalan maju menggusur posisi semula. Badai berdecak.
"Buat hari ini aja."
Yes!
Nggak tahu saja dia, Aruna bersorak dalam hatinya yang mulia.
"Makasih," bisiknya.
Badai cepat-cepat melenggang ke kamar mandi di sana, menutup rapat pintunya, meninggalkan Aruna yang tersenyum senang dan kembali pada Alvi.
Tuh, kan, sebetulnya suami Aruna itu baik, kok. Cuma ... agak galak saja.
***
Sorenya ....
"Ngapain lo--"
"Bang!" Lembut suara Aruna menegur, memangkas pula omongan Badai yang baru akan meluncur. Aruna mendekat, memberikan tatapan memohon agar Badai tidak lanjut bicara. Tahu kenapa?
"Itu Alvi, bukan aku. Nggak pa-pa ngebentak kalo itu ke aku, tapi tolong jangan bentakin Alvi, ya?" Super lirih, lepas Badai ditarik tangannya menuju luar kamar. Tepat di depan pintu kamar Badai. Sepi di situ. Hanya ada Alvi di dalam.
Dan Badai menggeram. Mengetatkan rahang. Dia kesal maksimal.
"Nggak peduli siapa, tapi tolong kalo nggak mau dibentak, ya, kelakuannya dijaga."
"Alvi masih kecil, Bang."
"Sekecil apa?"
Aruna diam.
"Tolong banget, ya, Run. Kalian itu di sini cuma numpang. Inget, numpang. Apalagi di kamar gue. Jadi jangan, deh, sekali-sekali nyentuh barang-barang gue tanpa izin. Khususnya adek lo itu. Ngerti? Gak usah nangis!"
Aruna mengangguk. Menahan desakkan panas di hati, pun mata, seperti ada cambuk besi panas yang melibas di bagian relung terdalamnya ini. Ucapan suami terdengar seperti ... apa, ya?
Aruna cukup tahu diri.
"Iya, maaf." Pelan sekali, Aruna pun menunduk, air matanya menumpuk.
Memang dia semudah itu untuk menangis, tetapi percayalah ... hatinya jauh dari kata kuat. Aruna menghela napas ketika langkah kaki Badai menjauh, Aruna beristigfar lirih, juga menyemangati diri.
Nggak pa-pa, Run.
Ini jauh lebih baik daripada saat kamu di-bully keluarga ayah angkat.
Ini nggak seberapa. Kamu udah ngalamin yang jauh dari kepahitan kata-kata Badai.
Jadi, tetap kuat dan tampil muka tembok aja. Yuk, bisa, yuk! Demi kehidupan yang baik untuk Alvi.
Aruna butuh keluarga ini.
"Kakak ...."
Aruna berikan senyumnya. Dia meraih Alvi ke dalam dekapan. Kasihan, masih kecil sudah jadi yatim piatu. Walau Aruna sendiri juga begitu.
"Hayo ... tadi mainin apa? Punya Kak Badai, ya? Gih, simpan lagi ke tempatnya."
"Mobil-mobilannya bagus!" seru Alvi, dia kelihatan senang sekali.
Di kamar ini memang banyak mobil mini, katanya itu koleksi, tetapi di mata Alvi nilainya jadi berubah seperti mainan anak usia dini.
"Gimana kalo sekarang kita beli? Kakak punya banyak uang, lho."
"Serius?!"
Alvi makin happy.
"Yuk! Beli yang kayak itu, yuk! Alvi mau yang merah, Kak. Bagus warnanya."
Aruna mengangguk saja. Lepas itu, dia kembalikan koleksi mobil-mobilan Badai ke tempat semula. Aruna tahu harga mobil mininya pasti tidaklah murah. Makanya, dia sempatkan untuk lihat-lihat. Syukurlah, tak ada yang cacat.
"Mau ke mana, lo?"
Kaget banget.
Aruna kontan berbalik, menghadap sumber suara, dengan dia yang menuntun tangan kecil adiknya.
"Hush! Sama istri, kok, gitu? Yang lembut, dong."
Oh, ternyata ada mama mertua juga. Aruna mendekat, mencium tangan mereka yang mana Badai tampak berdecak. Alvi ikut-ikutan cium tangan.
Aruna pun bilang, "Izin ke luar dulu, ya, Bang, Ma. Alvi minta jajan."
"Lho, berdua aja? Sana, Dai, anterin!"
Badai disenggol mama. Duh, makin ke sini punya istri malah makin nyusahin. Ya, kan? Mana mama dan papa berpihak pada istrinya alih-alih sama Badai yang notabene anak mereka pula!
Ketimpangan keluarga macam apa itu?
Badai masih disenggol-senggol sebelum dia putuskan, "Iya, iya." Sambil berdecaklah tentu. Badai pun alih ke Aruna untuk berkata, "Tunggu, gue ambil kunci motor dulu."
"Kok, gue? Aku-kamu, dong, Bang!"
Itu curut satu malah keluar dari sangkar. Rinai ... Rinai. Badai jitak juga benjol itu nanti. Sok-sokan meledek, huh!
"Cepet naik!"
Tahu-tahu sudah di halaman, motor itu sudah Badai tumpangi. Memberi Aruna dan Alvi tumpangan. Well, ini motor schoopy. Punya Rinai soalnya.
"Bensinin full tank, lho, inget!" teriak empunya.
Badai abaikan, dia sibuk membantu Alvi naik ke motor bagian depan. Berdiri di situ.
Yang samar-samar ... Aruna mendengar, "Dasar, ngerepotin."
Sedetik berlalu, Bang Badai berkata, "Pegangan yang bener, dong! Jatoh nanti, gue lagi yang kena."
Selalu begitu andalannya.
Kenapa, sih?