"Mpan."
Yang disebut menoleh. Ya, dia Topan, namanya dilontar oleh lisan Badai. Oh, hari ini mereka kumpul di rumah baru Badai.
Tentu, Badai yang meminta dua kembarannya datang ke sana. Toh, jaraknya dekat. Dan Badai ingin diskusi.
"Lo kalo jadi gue ...."
Topan melengos.
"Atau Gempa, deh," tukas Badai. Menatap Gempa kali ini. "Kalo lo jadi gue, dijodohin sama cewek yang sama sekali gak lo suka, di lain sisi hati lo udah ada isinya dan lo suka sama dia ... gimana?"
"Oh, jadi gitu?" Gempa malah bilang, "Laporin papa, ah!"
Yeu, si Bambang!
Badai toyor saja bahu Gempa. "Serius nanya ini!"
"Karena itu yang kamu alami, kan, Dai?" sahut Topan.
Badai mendengkus.
Tidak bisa bilang iya, apalagi nggak.
Fine! Gempa katakan, "Apa pun situasi dan kondisinya, gue tim istri sah!"
Lo-gue memang panggilannya, beda sama Topan yang saya-kamuan.
Mendengar apa kata sang kembaran, Badai mendesah. "Meski lo gak cinta, Gem?"
"Alah ... cinta mah urusan belakangan, Dai. Apalagi kalo istrinya macem Aruna, ya, bukannya gimana, nih, sorry. Tapi istri lo cantik, Dai. Coba, deh, lo perhatiin lebih. Udah gitu paket lengkap salihah lagi ...." Gempa senyum-senyum sendiri tanpa sadar. "Adem liatny--aw!"
"Dijaga mata lo, Gegem Soleh!" tegur Badai, tahu tadi tatapan Gempa larinya ke mana di saat ada Aruna yang berjalan di halaman habis belanja sayuran.
Oh, ini masih pagi. Sekalian olahraga tadi mumpung kegiatan kampus Badai masih belum dimulai. Pulangnya mampir di sini. Ide Badai juga olahraga itu, dan dua kembarannya bersedia datang menghampiri buat cus lari pagi bareng sampai ending-nya terdampar di teras rumah baru ini. Memang maksud dan tujuan Badai meminta kehadiran mereka itu buat bahas hal-hal seperti tadi.
"Itu yang kamu bilang gak suka, Dai?" Topan sampai berdecak di setelah ledekannya untuk Badai keluar.
Geram, Badai melengos saja dari sorotan mata Topan yang menyebalkan.
"Tau, nih! Baru juga gue yang liatin Una, udah sewot aja lo, Dai. Gimana yang lain?"
Tak hanya Badai, Aruna yang memang mendengar namanya disebut tertarik dengan ucapan Gempa. Ada apa sehingga kembar tiga itu membicarakannya?
Sadar dengan keberadaan Aruna yang mau masuk rumah, tetapi sempat menoleh di detik Gempa bicara, Badai langsung sewot. "Napa, lo? Kepo?"
Dih!
Aruna beristigfar.
Tanpa menjawab, dia pun langsung merampungkan langkah masuk rumah. Sekilas, dia cuma respons dengan senyum ramah.
"Dai."
Nah, kali ini Topan yang memanggil Badai. Gantian. Badai menoleh. Mereka bertatapan.
"Alih-alih mempertanyakan hal kayak tadi, harusnya kamu bersyukur."
Kening Badai mengernyit. Jujurly, agak nggak terima. Sepersekian detik Badai pun menyahut, "Gak semua hal bisa disyukuri, Mpan. Salah satunya pernikahan gue ini."
"Tapi gue setuju sama Mpan, sih, Dai. Lo harusnya bersyukur."
Badai berdecak. "Apa yang bisa disyukuri dari pernikahan paksa? Sedang di lain sisi, ada orang yang udah kita rencanain buat masuk di list masa depan hidup kita? Pastinya, bukan si dia yang sekarang ada di sini."
"Kalian nikah, kan, bukan karena dipaksa, Dai. Gak enak banget bahasanya, Aruna denger bisa sedih dia."
"Kenyataannya, kok, Gem. Bukannya kalian tau sendiri, ya, penolakan gue dan usaha papa waktu itu biar gue mau dijodohin?"
Topan dan Gempa terdiam. Nah, kan? Memang tidak ada yang bisa disyukuri!
"Senggaknya, Dai ...." Topan belum menyerah adu pendapat, kembali dia berucap dan menatap Badai tepat di mata. "Orang-orang yang terlibat dan berkemungkinan buat bikin kamu jatuh cinta itu, orang-orang yang Tuhan restui. Dan andai nanti kamu putuskan buat suka sama istri kamu sekarang ini, semesta mengizinkan."
Sayang, Badai malah menertawakan. "Geli, ah, Mpan. Apaan, sih? Kok, jadi puitis gitu?"
Paham dengan kalimat Topan, Gempa julurkan tangan, mengusap-usap bahu sang kembaran. "Udah, udah. Kayaknya perkara bersyukur itu bukan cuma Badai aja, tapi kita semua. Kalau mau adu nasib, kalian lebih baik dari gue yang sampe detik ini naksir sama cewek yang diajak maju susah, mundur juga susah, sedang dilepas nggak mungkin sanggup. Akhirnya, gak jelaslah ...."
Dasar, ya?
Waktu telah berlalu dan dewasa kini mereka sudah diterpa semilir asmara. Kehidupan yang tak lagi monoton, tetapi justru suram dan berbatu jalanan romantic mereka.
Iya, bukan rahasia lagi kalau Topan jatuh cinta kepada tantenya, orang yang haram dia jadikan ratu di hidupnya yang ingin menikah muda. Gara-gara itu, Topan urungkan cita-citanya buat masuk kampus sendiri dan pulang bertiga. Habisnya, selain Nirwana--tante mereka--Topan nggak mau dan nggak akan bisa. Setidaknya untuk saat itu, pun saat ini.
Ah, lalu Badai?
Giliran kehidupan cintanya nggak setragis Topan, tetapi di sini gak jauh beda, dengan orang yang dicinta, Badai tak direstui semesta. Buktinya, dia malah menikah dengan Aruna, padahal hati maunya Sella.
Kok, Tuhan jahat, ya?
Eh?
Terus, Gempa?
Dengar-dengar ... dia naksir sahabatnya, dan status itu membuat Gempa dilema.
Kini, mereka terpekur. Jadi, sebenarnya siapa yang lebih layak untuk bersyukur?
Tentu, diri sendiri menyebut "aku", tetapi mulut dan kepala menggeleng--menolak itu. Pokoknya, bagi Topan, Badai lebih beruntung. Bagi Gempa, dia lebih nelangsa. Dan bagi Badai, kayaknya fix, sih, dia yang paling sengsara.
Sementara, Aruna?
Dia asyik di dapur. Masak hidangan pagi buat sarapan bersama. Oh, ya, sekalian masak untuk Alvi, Aruna sayang sekali kepada adiknya hingga dia rela berkorban, dan dalam pengorbanannya itu, Aruna sangat bersyukur.
Setidaknya ... dia dan Alvi hidup enak di sini.
Ya, tak peduli yang lain.
Hingga tak terasa waktu membawa mereka pada hari sibuk, saat-saat Badai mulai mengisi Kartu Rencana Studi semester 3-nya, pun Aruna yang mulai diospek, juga Topan dan Gempa yang kembali ke habitat mereka.
Detik itu ... kisah ini seakan baru dimulai.
"Seneng, lo?" cibir Badai, melihat raut Aruna yang tampak semringah mempersiapkan perlengkapan kuliahnya.
Gimana nggak? Dia keterima di kampus dan sebentar lagi akan jadi mahasiswa. Ah, senangnya! Aruna pun mengangguk.
Badai mencebik. Posisinya berdiri dan bersandar ke kusen pintu kamar, sedang Aruna di dalam sana. Badai mengehela napas sejenak. Tak lama, dia berucap, "Tepati janji lo."
Aruna kontan menoleh. "Soal menjadi orang asing di lingkungan kampus, kan? Abang jangan khawatir, aku pandai akting, kok."
"Jangan sampe ada yang tau hubungan kita," tekannya.
"Iya, nggak akan." Aruna berucap menjanjikan.
Badai berdecak, sangsi. "Dan misal kita papasan, gak usah ngelirik. Terus itu cincin lo juga gak usah dipakelah."
Mendengarnya, seketika Aruna genggam tangan sendiri di mana yang ada cincinnya di sana. "Maaf, Bang. Kalau cincin, Una mau tetep pake."
"Jangan g****k! Nanti kalo ketauan status lo, gimana?"
Jahat memang. Suami Aruna jahat banget mulutnya. Namun, untuk kata-kata kasar itu, Aruna biarkan masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan. Sebab dia belum bisa mengendalikan tutur kata suaminya, jadi biarlah Aruna kendalikan diri sendiri saja--yang bisa dia kendalikan tentunya.
"Abang jangan khawatir, sekali pun cincinnya gak aku lepas, hubungan kita nggak akan kebongkar. Paling cuma status aku aja yang kecium udah punya suami, dan aku nggak masalah, justru itu tujuan aku. Asalkan siapa suami aku itu, orang-orang nggak tau."
Badai mengacak gemas rambutnya, kenapa Aruna susah sekali diomongin, sih?!
"Punya Abang aja yang dilepas," imbuh Aruna.
"Jelas! Sejak hari pertama beres akad, itu cincin udah gak pernah gue pake," sewotnya.
Aruna lirik jari-jemari pria itu. Kelihatan dari sini. Ah, iya ... nggak ada.
"Awas aja kalo sampe nanti kebocoran gara-gara cincin yang lo pake itu," dumal Badai.
Aruna cuma senyum.
"Oh, ya, satu lagi." Badai menatap istrinya, bulu mata Aruna memang lentik dan tatapannya sangat teduh, padahal Badai melihat dari jauh. Sayang, Badai naksirnya sama Sella, bukan gadis berjilbab ini. "Misal nanti lo denger kabar gue jalan sama cewek lain, pacaran, atau apa pun itu ... jangan ganggu, jangan usik, dan jangan ikut campur."
Sekali lagi, Aruna tersenyum.
Pun, saat itu Badai melenggang.
Ah ... kisahnya benar-benar baru dimulai, ya?
***
OSPEK hari pertama.
Belum ada mahasiswa tingkat 3 di sana, Badai belum masuk kampus selain untuk mengurus berkas kenaikan semesternya; seperti KRS, laporan nilai semester 2, dan lainnya yang bisa disetorkan kapan saja ke jurusan saat jadwal telah dibuka. Kalau masuk kelas, sih, belum.
Dan waktu-waktu itu digunakan untuk mengospek mahasiswa baru, salah satunya Aruna. Perempuan jilbab abu itu dengan semangat penuh mengikuti segala kegiatan di sana. Baik per regu maupun individu.
Mulai dari situ, Aruna kenalan dengan orang-orang. Dia sibuk mengumpulkan teman baru. Tentu, hanya yang satu gender saja.
"Arasya, panggil aja Ara. Kembarannya Araga. Tuh, yang di sana itu kembaran aku," katanya.
Aruna sontak melirik ke sosok yang Ara tunjuk. "Wah, iya, kalian mirip!"
"Jelas! Kan, kembar. Gimana, sih, Aruna!" Sambil tertawa.
Tapi yang di rumah mertua, ada tiga yang kembar, cuma nggak ada mirip-miripnya, salah satunya suami Aruna. Demikian monolog batin Aruna yang lalu menanggapi Ara dengan tawa lembutnya.
"Mohon perhatian!"
Itu kakak tingkat yang mengospek mereka.
"Para Maba sekalian, coba dicek w******p-nya. Udah pada masuk grup MABA semua, kan?"
Ya, itulah awal mula di mana nomor ponsel Aruna tersebar secara luas. Tahu-tahu besoknya, besoknya lagi, dan seterusnya ....
"Hape lo bunyi terus, berisik!" semprot Badai.
Oh, ini sudah malam dan Aruna sudah di rumah tentunya. Tadi adalah hari terakhir ospek. Next, Aruna tinggal masuk kelas dan itu sangat dia nanti-nantikan.
"Maaf. Ini aku silent."
Saat itu Badai sudah masuk selimut, ngantuk, dia mau tidur, tetapi ponsel Aruna dering dan getar terus--caper banget minta dibelai yang punya. Sedang yang punyanya, boro-boro caper, lepas jilbab saja NEHI!
Ya, tapi gak pa-pa, sih. Badai ora urus. Selagi itu bukan Sella, Badai tidak akan peduli. Sampai sini paham?
"Kenapa lo senyum-senyum?"
Oh?
Aruna terkesiap. Melirik suami. Dia kira Bang Badai sudah larut ke alam mimpi, tetapi kok tahu kalau Aruna senyum-senyum sendiri tadi? Sambil lihat ponsel yang pasti.
"Ini ... grup MABA aku ramai. Seru. Sampai ada yang japri."
Ya elah ....
Badai mencebik. "Katrok," celetuknya.
Aruna manyun. Namun, dia senyum-senyum lagi. "Bukan katrok, tapi bahagia."
"Bahagia lo norak!"
Ya Allah ... jahat.
"Tipe bahagia orang itu beda-beda," timpalnya, seraya mengetik balasan pesan di sana.
Membuat Badai berdecak. Ada saja sahutannya, tuh. Kayak nggak mau kalah. Ah, sudahlah! Mending merem. Tadi, kan, rencananya mau tidur.
Namun, ....
"Lo gak tidur?"
Eh?
Aruna melirik lagi, tetapi tidak terkesiap sekarang. Di sisinya, Bang Badai sudah rebahan, sedang Aruna masih asyik main hape plus sandaran di kepala ranjang.
"Tidur," jawab Aruna.
"Ya udah, ayo!"
Diliriknya lagi sosok pria itu. Aruna jawab, "Sebentar." Tak lagi dia fokus pada Badai. "Abang tidur duluan aja."
"Gue nyuruh lo tidur bukan karena peduli sama jam tidur dan kesehatan lo, ya, Run. Terserah mau tidur jam berapa juga. Tapi ... suara cekikikan lo bisa, nggak, gak usah nyampe ke kuping gue?"
Bibir Aruna rapat seketika.
Ah, iya ....
Waktu senyum-senyum, sesekali Aruna juga terkikik. Ingin tertawa, tetapi ditahan, jadinya ngikik. Duh. "Maaf."
"Kalo merasa bersalah, ya, tidur!" Badai jadi geram, asal-asal dia nyeletuk, "Apa perlu gue tidurin?"
H-hah?