9. Aruna Single?

1774 Kata
"Run! Cepetan!" "Iya, Abang. Bentar!" "Buruan, elah!" "Iya, iya. Ini udah ...." Gegas Aruna menghampiri Badai yang sudah siap di motor untuk pergi ke kampus bersama. Yup, sudah tiba waktunya mereka berguru di salah satu kampus kenamaan ibu kota, kebetulan jadwal kelas Aruna sama kayak Badai, masuk pagi. "Lama banget, sih!" "Iya, maaf. Ini aku masukin bekalnya di tas Abang, ya." Badai berdecak. "Jangan protes gitu. Ini, kan, karena keuangan kita belum mumpuni, biar di kampus nanti nggak jajan terus, aku siapin bekel. Hemat, Bang." "Oh, lo nyuruh gue kerja?" Hah? "Emang aku ada bilang itu, ya?" "Secara gak langsung." Aruna diam. "Ya udah, cepetan naik!" "Oh, iya ...." "Nanti gue turunin di pertigaan," katanya. "Iya." Aruna sudah siap. Oke, sip. Mereka pun beranjak. Pintu rumah sudah Aruna kunci, dia juga sudah berpakaian sopan dan rapi beserta tas gendong di punggung, sementara Badai tampil keren sekali, seperti pentolan-pentolan cowok kece di n****+-n****+ yang suka Aruna baca kalau senggang. Oh, ya, soal keuangan ... memang iya masih ditanggung orang tua suami, sejujurnya Aruna enggan, tetapi gimana, ya? Yang jadi suaminya saja masih begini. Maka dari itu, sempat Aruna berpikir untuk membuat kue dan didagangkan. Dulu waktu di rumah ibu angkat, selalu Aruna yang masak, jadi dia jago urusan dapur dan hasilnya enak. Hobi juga. Nah, Aruna rasa dia bisa mencoba untuk itu sementara suaminya ini masih segolongan beban keluarga. Eh? Astagfirullah. Maaf, bukan gitu maksudnya. Ya, senggaknya, biar Aruna bisa bermanfaat untuk keluarga Bang Badai, terutama orang tua gerangan. Aruna nggak enaklah, di sini dia hidup enak tanpa ada yang bisa dia suguhkan kemanfaatannya untuk mereka. Hingga kini tak terasa mereka sudah tiba di lokasi penurunan Aruna dari motor itu, alias di pertigaan jalan menuju kampus Aruna diturunkan. Niat hati mau cium tangan dulu, eh, Badai langsung berlalu. Aruna bahkan masih memakai helmnya, dia hanya bisa memandangi kepergian lelaki itu. Ya sudah, Aruna ambil ponsel buat pesan ojol. Ribet, ya? Maklum, dari rumah mesti berangkat bersama karena lokasi rumahnya di perumahan yang sama dengan mertua. Kata Bang Badai, kalau ketahuan berangkat secara terpisah, nanti Mama Ai ngomel. So, buat antisipasi, beginilah jadinya. Tiba di kelas, Aruna bertemu lagi dengan Ara. Mereka kesenangan begitu tahu hal ini. "Wah ... kita sekelas, Una!" "Iya! Seneng ketemu kamu lagi." "Me too!" Ara langsung menggamit lengan Aruna dan mereka duduk bersebelahan. "Oh, ya, kamu rumahnya di mana, Na?" Aruna menoleh. Dia menyebut nama perumahan yang menjadi tempatnya tinggal. Pikirnya, Ara nggak bakal sampai nekat datang, kan? "Oh ... daerah situ. Ternyata kita beda arah, Na. Kalo searah, kan, enak nanti bisa berangkat bareng." Ara nyengir. "Lho, emang kamu nggak berangkat sama kembaran?" "Ya, bareng. Tapi Raga suka nyebelin, kalo aku lelet dikit, dia ninggalin. Kan, misal deket sama rumah kamu, biar aku minta izin papa buat bawa kendaraan sendiri aja gitu, nggak ngintilin Raga lagi. Papa aku agak lain, sih," cerocosnya panjang-lebar. Aruna senyum. Ara orang yang sangat terbuka sepertinya. Baru juga kenal beberapa hari, dia sudah banyak cerita. "Bukan agak lain, Ara. Tapi begitulah papa kamu menyayangi anak gadisnya. Agak susah buat bepergian kalo nggak sama temen atau kembaran." Aruna terkekeh. "Iya kali, ya?" Mereka tertawa. Sementara itu, Badai, di lain tempat. "Udah pada nyarap belum kalian? Laper banget, nih, gue. Cari makanan dulu, yuk, mumpung masih ada sekitar lima belas menitan lagi?" kata Azam. "Magerlah, Zam," sahut Raffa. "Lo aja sana sama Badai, tuh. Gue masih sibuk membunuh musuh di dunia lain," tukas Brian, sibuk main game maksudnya. Azam berdecak, lalu menatap Badai, harapan satu-satunya. Namun, Badai malah bilang, "Gue udah sarapan." Yah .... "Iya, deh, yang udah--" Dipelototi Badai sebagai ajang peringatan. Nyaris saja Azam keceplosan jika Badai sudah ada istri, makanya bisa sarapan, apalagi istrinya semodel Aruna--yang kapan hari Badai kenalkan--pastilah persoalan sarapan Badai sudah ditunaikan. "Dahlah, gak jadi. Nanti kalo gue kena maag, salah kalian, ya!" Badai, Raffa, dan Brian kompak berdecak. "Lo laki bukan, Zam? Nyari makan sendiri aja kenapa, sih, elah?" celetuk Brian. "Ya udah, ya udah, cepet! Gue anter." "Mau-maunya lo, Dai," kata Raffa. Badai cuma melengos. Sedang Azam, dia kegirangan. Oke, sip. Mereka pun berlalu. Lorong demi lorong dilewati, hingga kaki membawa mereka ke tempat di mana Azam membeli asupan pagi. Dimakannya di kelas. Well, Badai serius sudah sarapan. Pagi-pagi sekali Aruna bangun dan masak, bahkan sampai menyiapkan bekal. Sampai ketika jam makan siang tiba, Badai buka bekalnya, tanpa dia tahu bahwa Brian di belakangnya melongok. "Ajib! Beres ij--aw--sorry, kehidupan lo berubah seratus delapan puluh derajat, ya, Dai?" Dari yang nggak pernah bawa bekal, sekarang dia bawa. Ngomong-ngomong, kok, bisa Badai mau berteman dengan makhluk ember kayak mereka? Nyaris saja Brian notice ijab. Similikiti memang! "Bedeuuh! Kayaknya enak, tuh, Dai. Nyicip, dong!" Langsung dicomot, Raffa pun menyuap bola-bola entah apa .... "Enak, njir. Lagi, ya, Dai?" Langsung Badai geplak punggung tangan Raffa yang mau mencomot bola-bola tahu lainnya. Iya, itu bola-bola tahu. Dicampur sayuran dan ayam. Begitu Aruna mempresentasikan menu makan mereka pagi tadi. "Mana sini gue nyoba, Dai. Lo jangan pelit-pelit amatlah jadi orang." Azzam ikut mencomot. Namun, gegas Badai amankan. "Ini punya gue, ya. Kalian kalo mau, sana cari is--f**k!" Bahkan dia sendiri ketularan ceplas-ceplos kayak mereka. Hampir saja nyebut istri. Dahlah, Badai cari tempat aman buat makan. Diakui, masakan Aruna memang juara. Namun, tetap, ya! Dari lambung nggak bakal naik ke hati, sosok Sella tetaplah yang Badai sukai. Yang demikian itu, Badai menghubungi sosoknya. "Udah makan?" tanya Badai. Kalau sedang begitu, tiga kawan Badai mundur dan nggak mau ganggu kegiatan rutin perbucinan ala bestie ke bestie. Yoi! Sella adalah bagian mereka, dan hanya Sella di antara mereka yang tidak tahu bahwa Badai menyukainya. Soalnya ... Badai pandai menyamarkan perasaannya dengan berpacaran bersama cewek lain, di tengah perasaan sukanya kepada Sella. "Mau aku bawain makanan, gak, abis ngampus?" "Boleh emang?" "Bolehlah." "Udah izin sama Aruna belum?" Badai terdiam, sejenak henti mengunyah. Kata Sella, "Aku gak mau, lho, ya, jadi duri di hubungan kalian. Kita emang sahabatan, Dai. Tapi inget, kamu udah ada istri." Sella boleh sebutkan status Badai karena cewek itu jauh di sana. "Dia ngizinin, kok. Dia ngerti sama keadaan kita." "Emang keadaan kita gimana?" "Sahabatan." Sella terkekeh. "Oke, deh. Bawain yang banyak, ya ... aku mau es krim jugalah, ngelunjak." Di situ, Badai senyum. "Iya, nanti aku kabarin kalo udah otewe." "Sip. Thanks, ya, Brodie." Sekali lagi, Badai senyum. *** "Enak?" "Enak banget ini, sih, gila! Lo bikin sendiri, Na?" tanya Ara, melahap bekal makanan Aruna. Gara-gara itu, seketika makanan Aruna jadi viral di hari pertamanya masuk kelas. Tetangga kursi melipir, minta icip. Karena Aruna baik dan sekalian memasarkan hasil masakannya, jadi dia rela nggak makan banyak. Ibaratnya, biarlah satu kelas mencicipi, testi. Besok-besok Aruna jualan ini kalau perlu. Ehe! "Besok aku bawain menu lain, ya. Kalian boleh icip juga," kata Aruna. "Iya, enak, Run." Ada yang menyebut 'Na', ada juga yang 'Run'. "Lo pinter masak, ya?" Aruna mengangguk dan senyum. "Besok bawa yang lebih banyak, Na!" seru Ara, dia cengengesan. Aruna terkekeh saja. Tidak apa-apa, pertama-tama Aruna akan membuat mereka kecanduan dulu sama makanan buatannya. Besok-besok kalau sudah lumayan dekat dengan teman satu kelas, Aruna akan memulai bisnisnya. Ya ... istilahnya, cari relasi dulu. Next time bisa meranjah ke kelas-kelas lain kalau sudah punya banyak teman. Siapa tahu nanti teman-temannya bisa bantu promosi dari mulut ke mulut. Eh, eh, kok, pikirannya sudah jauh sekali, ya? Tanpa sadar, Aruna senyum-senyum sendiri. "Ara!" Oh, Aruna refleks menoleh walau bukan dia yang dipanggil, tetapi sobatnya. Kalau nggak salah .... "Ayah bilang, duit gue di lo. Mana?" Araga, kembaran Arasya. Karena itu bukan urusannya, Aruna langsung mengalihkan atensi. Entah mereka bahas apa, meski kedengaran, tetapi Aruna tidak memperhatikan. Dia sibuk dengan ponsel sekarang. [Bekalnya udah dimakan, Bang?] Betul sekali. Aruna mengirimkan pesan kepada suami. Abang: Kenapa? Mau minta dibalikin? Lho? Aruna: Nggak. Kalo belum, ya, dimakan. Suuzan terus, heran! Dan cuma dibaca. Idih, sok jual mahal sekali! Aruna nanya gini, kan, sebagai bentuk perhatian istri. Oh, kayaknya nggak perlu, ya? Dasar cowok menyebalkan! "Na." Eh? Aruna terkesiap. Cepat-cepat dia kunci layar ponselnya. "Kenapa, Ra?" "Ada yang minta nomor hape kamu." "Siapa?" Di hari pertama masuk kelas? "Araga." Oh .... *** Tiba di jam pulang, Aruna melewati jalan yang sama dengan Badai rupanya. Dia melihat sosok itu keluar dari kelas yang hendak Aruna lewati, lalu sosok itu tampak berbalik, mungkin ada yang ketinggalan, membuat tatapan keduanya berpapasan .... Aruna langsung menunduk, sedang Badai melengos, sampai akhirnya mereka berpapasan. Tatapan Badai lurus ke depan, tatapan Aruna lurus ke lantai. Sudah, arah mereka saja yang bersinggungan, tidak dengan sorotan matanya. "Eh, Una!" Si--sisiuk dasar! Badai mengutuk Brian dalam hati. Pake segala disapa! Namun, langkah Badai pantang berhenti, lain dengan Brian yang tadi sempat berjalan selaras dengannya, tetapi karena tepak makan Badai ketinggalan di kelas, dia sendiri balik lagi. Mana tahu jika Brian ikut putar balik. Fix, mereka ngobrol. Badai sudah masuk kelasnya, ambil tepak makan, terus kembali ke lokasi Brian, ternyata Aruna masih di situ. "Dai, Aruna ajak, ya?" Anj-- "Sepupu lo, kan, sepupu kita juga. Ya, gak, Raff?" imbuh Barian, cengengesan. What the hell ... SEPUPU?! Ya, itu lebih baik. Raut tegang Badai yang memperingati kawanannya, kini melunak. "Gak usah," decaknya, "repot. Biar dia balik aja." Oke, sip. Sepupu. Dengan ini, Badai pikir semisal dia boncengan sama Aruna sampai tempat parkir juga aman. Yeah ... mungkin. Namun, buat apa dia mikir ke arah sana? "Jangan gitulah, Dai--" "Nggak pa-pa, Kak. Aku pulang aja," tukas Aruna, memangkas ucapan Raffa. "Eh, kenapa, Run? Takut ceweknya cuma sendirian, ya? Santai ... Badai mau jemput Sella, kok." Dengan polosnya, Azzam bilang gitu. Aruna alih melirik suami. Ah, ya ... suami. "Aku pulang aja." "Ok. Gue anter." Badai yang bilang. Aruna mengangguk. Sudah telanjur begini, kan? Cosplay jadi sepupu jauh lebih baik daripada sok-sok kayak orang asing. Begini lebih natural. "Yah ...." Suara Raffa, Azzam, dan Brian kompakan. Awas saja, lihat nanti, tiga curut itu akan Badai beri pelajaran. Membuat skenarionya dengan Aruna di lingkungan kampus kacau balau di hari pertama. Oh, sial! Tanpa mereka sadari, dalam langkah Aruna yang mengekori Badai di depannya, ada tatapan lain yang tertuju pada mereka di parkiran itu. "Kata lo, dia single." "Iya ... emang. Harusnya iya ...." "Ck. Lo aja ragu!" Ara terdiam. Tapi, Aruna memang jenis orang yang gak akan punya pacar, kan? Maksudnya, nggak akan pacaran karena terlihat terlalu muslimah. Dasar saja Raga yang terlalu nekat, pakai acara pengin mendekat, dan itu ... apa, ya? "Perlu gue tanyain ke orangnya?" Terkait lelaki yang berjalan di depan Aruna, juga memberikan tumpangan di motor besarnya. Ganggu banget, sumpah! Yang mana di sana, Aruna duduk manis plus jaga jarak dengan sang pengendara. Besok-besok kalau ditanya lelaki ini siapa, akan Aruna jawab sepupunya. Sosok yang saat itu berucap, "Lo ... nyusahin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN