Hari itu, sengaja Aruna pulang agak sore. Entah apa Bang Badai sudah pulang duluan atau belum selepas meninggalkannya di jalanan, eh, nggak, itu permintaan Aruna agar dia diturunkan di sana. Namun, ketika dia turun dari ojol di depan gerbang rumah mertua, saat memasuki halamannya, tahu-tahu ada motor Bang Badai melintas dan mendahului langkah kakinya. Sampai ketika Aruna masuk rumah, langkah suami ada di belakangnya.
"Cieee ... yang abis jalan-jalan berdua."
Siapalah kalau bukan Rinai, adik Badai, meledek pasangan itu. Tak tahu saja bagaimana kondisi sebenarnya dari rumah tangga mereka.
Badai cuma senyum, langsung masuk kamar, pun dia rebahan di sana. Di satu sisi, Aruna mau nggak mau juga masuk ke ruang yang sama dengan lelaki itu.
Uh ... berat hati, lepas menyapa mertua dan iparnya, Aruna masuk juga ke kamar yang Badai masuki tadi.
Perasaan Aruna masih berkecamuk, tetapi dia berusaha tidak terpengaruh dengan segala apa yang mengusik emosinya perihal lelaki ini.
"Ke makam siapa tadi?"
Eh?
Aruna berbalik, menatap Badai yang nyeletuk tanpa menatapnya, justru melihat ponsel.
"Abang ngikutin aku?"
"Kalo orang nanya dijawab," katanya.
"Ayah ibu."
Hening. Sampai kemudian ponsel itu tampak diletakkan, tatapan Badai tepat jatuh di bola mata Aruna seraya bilang, "Habis itu?"
"Abang ngikutin aku," tukasnya.
"Gue tanya."
Ya ampun!
Aruna menghela napas pelan. "Mampir ke rumah ibu angkat."
Badai pun mengangguk. Aruna jujur. Memang iya tadi Badai ikuti, meski nggak mau ngaku secara gamblang, tetapi Badai tidak mengelak saat Aruna bilang: Abang ngikutin aku.
Namun, sudah. Tak ada kata maaf setelah itu, baik dari Badai ataupun Aruna. Sekarag istri Badai yang jilbabnya panjang menutupi d**a, padahal masih kelihatan tonjolannya walau tak begitu jelas, memasuki kamar mandi dalam kamar mereka.
Ya, pastinya mandilah. Ada handuk dan pakaian ganti yang Aruna bawa. Dipikir-pikir ....
Sudah halal, kan, kalau Badai lihat Aruna telanjang?
"Lo gak usah repot-repot ganti baju di kamar mandi, apalagi pakaian lo sepanjang dan seribet itu. Ganti di sini aja lain kali."
Di detik Aruna beres dengan urusannya. Dia tampak segar selepas keluar dari sana. Aruna dan Badai pun bertatapan lagi.
"Nggak apa-apa. Nggak merasa repot, kok."
"Lo malu karena ada gue di sini?"
"Soal ganti baju?"
"Iya. Lo malu?"
Aruna senyum. Jujur, dia sedang malas menanggapi, tetapi kenapa lelaki itu megajaknya bicara terus sejak tadi? Nggak dijawab, takut dosa.
"Malu, sih, nggak. Cuma nggak pengin aja."
"Kenapa?" Entah kenapa, detik itu Badai merasa tatapan Aruna agaknya mengintimidasi. Dan, kenapa juga Badai merasa terintimidasi?
"Aku mau ke Alvi dulu," tukas Aruna, menyudahi.
Hell. Di situ Badai merasa ... apa lagi ini? Kok, nggak terima, ya? Sejak pertengkaran di jalan, Badai merasa ada sekelumit yang tidak menyenangkan di hati. Makanya dia balik lagi mengikuti jejak Aruna yang syukurnya mudah Badai temukan. Masih merasa nggak enak, Badai alihkan dengan bertanya itu-ini, sekarang malah makin nggak keruan. Sumpah! Ada yang nggak beres dengan sesuatu di dalam dadanya.
Argh!
Kayak ada yang menggebu-gebu, tetapi entah apa itu. Kayak ada yang meluap, tetapi entah itu terlalu asing. Sebab Badai yakin, nggak mungkin dia naksir cewek secepat ini. Apalagi di saat nama Sella masih Badai simpan dan itu sudah lama ada.
Oh, pasti ini perihal benci. Status Aruna yang mengubah kehidupan bebas Badai membuatnya begini. Mungkin Badai dendam sama cewek berjilbab itu, jadi bawaannya serba nggak terima.
Badai bolak-balik di kamar sepeninggal Aruna menuju Alvi. Badai mikir, kira-kira gimana caranya biar Aruna makin nggak betah berada di sini?
Fix!
"Badai mau mandiri sama Una, Pa."
Tepat saat makan malam tiba.
Aruna yang nggak tahu apa-apa pun menoleh. Dia duduk di sisi Alvi, melayani adiknya, pun melayani Badai yang telah jadi suami. Tadi sajian di piringnya, Aruna yang ambilkan. Bagaimanapun, lelaki menyebalkan itu adalah orang yang harus Aruna perlakukan begini, tak peduli hati Aruna merasa berat di sana. Tepatnya, setelah tahu bahwa ada wanita lain dalam hubungan rumah tangga ini.
"Maksudnya, tinggal pisah sama Papa dan Mama?" tanya Papa Awan.
Badai mengangguk. Tiba-tiba juga dia menggenggam tangan Aruna, membawanya ke atas meja sambil bilang, "Una juga udah setuju. Kami pengin hidup mandiri buat pernikahan ini."
Sejak kapan?
Nggak ada bahasan itu, tuh!
Namun, Aruna tidak bisa ambil bagiannya untuk bicara. Tangannya diremas lembut oleh Badai. Ya ... kodelah pasti. Biar Aruna nurut saja.
Meski demikian, dalam diamnya Aruna berpikir, memang baiknya tinggal terpisah agar Alvi tidak tahu dan tidak lagi mendengar omongan tidak sedap dari kakak iparnya.
"Bener begitu, Una?" tanya mama mertua.
Aruna siap siaga, dia tersenyum di sana. "Iya, Ma."
"Bilang aja kalo dipaksa Badai," tukas papa.
Aruna menggeleng. "Kami udah bersepakat, kok."
Tangan Aruna dielus-elus. Badai senyum juga. Kok, tumben jawaban Aruna nggak bikin dirinya sensi?
"Mama sebetulnya masih keberatan. Mengingat sikap Badai yang ...." Badai dipelototi. "Yah ... tapi kalo emang kalian yang bikin kesepakatan dan Una nggak terpaksa, Mama nggak bisa nolak kemauan itu. Toh, rumah kalian masih di satu kompleks sama kita. Mama bakal sering-sering jenguk Una."
"Makasih, Ma." Saat dapat mertua yang baik, kenapa suaminya nggak yang baik juga, ya?
"Ya udah. Besok Papa kasih kuncinya. Kapan rencana mau pindahan?"
"Besok aja, Pa. Pengin cepet-cepet mandiri," kata Badai. Tangan Aruna sudah dia lepas.
Sekarang Aruna menghadap Alvi, agak berkaca-kaca anak itu. Aruna menenangkannya dengan senyum dan usapan di punggung.
"Alvi juga bisa main atau nginap kalo kangen sama Kak Una," imbuh Badai, pun tiba-tiba.
Jujur, Aruna merasa harus makin waspada. Dia menoleh dan dapati senyum Badai di sana. Eh, kok ... ngeri, ya?
Sayang, putusan itu sudah final dan tak bisa banting setir.
Oh ....
Malam kian larut, beres dinner bareng keluarga suami, lalu menghabiskan waktu dengan Alvi, Aruna masuk kamarnya dengan Badai kini.
"Rencana jahat apa yang lagi Abang susun?"
"Maksud lo?" Badai tentu menoleh, dia sedang asyik main hape dan sekarang benda itu Badai letakkan di nakas.
Aruna naik ke ranjang, duduk di tempatnya. Tepat di sisi Badai yang pasti.
"Kenapa tiba-tiba pengin mandiri?" Ditekannya satu kata terakhir.
Badai malah tertawa. "Kenapa emang? Bukannya hal lumrah buat urusan rumah tangga, ya? Apa lo lebih seneng tinggal sama mertua?"
"Karena aku tau niat Abang nggak baik."
Tawa Badai hilang seketika. "Oh ... nggak salah, sih."
Aruna istigfar dalam hati. Ya Allah ... jika memang inilah cobaannya, maka Aruna minta diberi sabar yang lebih, juga kuat yang lebih pula. Karena cobaan yang Tuhan beri bukan dari sosok yang bisa Aruna lawan dengan berani, ada label suami yang membuat Aruna harus menjaga tindak dan ucap. Salah-salah, Aruna bisa berdosa. Artinya, lawan Aruna tak bisa dia hajar dengan emosi, tetapi harus dihadapi dengan pikiran dan tetap lembut hati.
"Jadi lo persiapkan diri aja." Begitu katanya.
Aruna senyum.
Fine.
Rupanya bendera perang mulai dikibarkan, sampai nanti salah satu dari keduanya ada yang mengibarkan bendera putih duluan.
Tuhan ... sekali lagi Aruna tanya, ini pernikahan macam apa?
***
"Dijagain Unanya, ya, Badai," kata Mama Ai. "Ternyata tetangga kalian cowok seumuran. Ganteng."
Badai mengerling, sedang Aruna sibuk merapikan barang pindahan. Well, ada kembaran berikut adik-adik Badai juga di sini.
"Minta pindah pasti karena mau bebas berduaan, kan, Dai?" celetuk Gempa, mencolek-colek p****t Badai secara tidak sopan.
"Serah gue!"
Topan sampai melirik.
Papa mereka masih di halaman jadi mandor dari tukang angkat-angkat barang. Sementara itu, Rinai membantu Aruna menata letak perabot dapurnya.
"Biar kalo anu-anu nggak kedengeran orang lain, ya, Dai?"
"Hush!" tegur mama mereka. "Gegem tau anu-anu dari mana?"
Gempa nyengir. "Badai, Ma."
Ditampollah sosok Gempa oleh Badai di sana. "Sembarangan aja!"
"Tapi, ya, nggak pa-pa, sih, kalo Badai. Cuma ... jangan putusan sepihak, ya, kalo soal itu. Diskusi dulu sama Aruna, soalnya istri kamu mau kuliah dan pasti susah kalau sambil hamil."
Mendengarnya, Badai seolah kesetrum. Ha-hamil, ya?
Ehm!
Badai pura-pura nggak denger.
Ya elah ... cuma bahas soal hamil, kok!
Malah perang batin dia.
Anjir, hamil!
Tatapan Badai refleks tertuju pada Aruna yang melintas, senyum ke mama, lalu bantu-bantu angkat perabotan dan seketika itu dilarang, tahu-tahu Badai kena omel. Namun, kali ini Badai nggak banyak omong. Justru dia jadi ikut bantu-bantu Aruna menata panci dan wajan di dapur. Rinai seketika menyingkir.
"Aku bisa sendiri."
"Gue diomelin kayak tadi makanya sekarang gue di sini."
Aruna mingkem.
Sesekali, Badai lirik-lirik Aruna. Dia curi-curi pandang, sekilas menatap area bokongnya. Ehm! Naik terus ke punggung. Memang pakaian Aruna tertutup, tetapi gara-gara omongan mama, tatapan Badai jadi nakal. Betewe, rambut Aruna panjang apa pendek, ya?
"Abang, bisa menyingkir sebentar?"
"Hah?"
"Mau masukin ini ke kolong meja dapur di situ," katanya, menunjuk area yang terhalang kaki Badai.
"Oh." Badai pun bergeser.
Aruna langsung jongkok, tepat di depannya. Badai menunduk. Merasa ada yang aneh, Aruna mendongak.
"Kenapa?"
Posisinya begitu. Eh, bentar. Ada hal yang baru Badai sadari. Dia ikutan jongkok. Aruna mengernyitkan kening.
"Lo ... pake apa?" Mata Badai memicing.
Aruna belum konek. "Apanya?"
"Muka lo."
"Oh ...." Aruna pegang-pegang pipinya. "Aku belajar make up mulai hari ini." Dia senyum. "Nanti mau jadi mahasiswa soalnya." Bibir pun Aruna kulum, dia poles dengan lipcream sebelum pindah ke sini. Betul-betul merias diri.
Di situ Badai mendengkus. Berdiri lagi.
"Kata mama, riasannya bagus, cocok di aku. Apa iya?" Artinya, Aruna berhasil dandan meski baru coba sekali.
Eh, Badai tertawa. Agak sinis. "Jelek."
Dan, dia langsung pergi. Meninggalkan perkakas dapur yang mulanya mau Badai bantu rapikan.
Dasar. Aruna mencebik. Ya, memang komposisinya cuma bedak, maskara, eyeliner, dan lipcream saja, sih! Pasti belum sebagus itu. Aruna tahu jawaban mama mertua cuma mau membuatnya senang. Nggak mungkin juga Mama Ai bilang jelek kayak Badai tadi. Mama, kan, punya hati. Suami Aruna hatinya nggak tahu tergadaikan di mana.
Ah, Aruna refleks usap bibir. Memupus warna lipcream di sana.
Tapi ... masa iya jelek, sih?
Astagfirullah!
Aruna terkesiap.
Tadi ... dia peduli?
Omongan Badai, kan, nggak mesti dia konsumsi, cukup jadikan angin lalu saja. Bodoh amat mau jelek atau nggak, memangnya Aruna tampil cantik buat dia?
Ya ... iya.
Argh!
Dia jadi cemberut.
Kan, masudnya ... kalau Aruna bisa dandan saat dia resmi jadi mahasiswa, kelak ketika rahasia pernikahannya terbongkar, minimal suami dinilai beruntung punya istri cantik kayak Aruna.
Gitu.
Sampai lupa, kemarin ada perdebatan yang sempat melukai hatinya.
Sumpah, ya, Aruna!
Dia tepuk-tepuk kepalanya.
Kan, nggak perlu!
Nggak usah juga begitu.
Tampil cantik, ya, tampik cantik saja untuk diri sendiri. Ngapain Aruna memikirkan suami yang nggak punya hati?!
***
Malamnya, habis acara kepindahan rumah baru itu, Alvi menginap. Namun, tampak sengaja papa membelikan rumah yang kamarnya cuma satu, alhasil mau nggak mau Badai dan Aruna tidur di satu ruangan lagi. Berbagi ranjang. Kali ini sama Alvi.
Betapa canggungnya Aruna. Dia merasa nggak enak juga. Ditambah nggak tersedia sofa dalam kamar ini.
Badai pun menggerutu, papa sengaja banget kayaknya. Membuat Badai harus punya penghasilan sekadar buat beli sofa di ruang depan. Huh, menyebalkan! Masa ruang tamu isinya kursi yang tidak kekinian? Badai ngomel-ngomel secara pribadi sama papa di ruang pesannya.
"Alvi udah tidur ...," kata Aruna, pelan maksimal.
Badai baru saja masuk kamar. Dia lihat ada bocah SD yang meringkuk menghadap kakaknya.
"Maaf," cicit istri Badai lagi.
Di situ Badai menghela napas. Nggak mungkin dia sok-sokan ngalah bobok di lantai pakai alas selimut. Lebih baik seranjang bertiga. Toh, nggak ngapa-ngapain. Cuma ....
"Geser," tekan Badai.
"Oh, iya." Aruna bergeser. Tidurnya jadi mepet-mepetan. Posisi Aruna di tengah, terimpit Alvi dan Badai.
Kok, gini amat, ya?
Badai langsung rebahan. Capek. Baru selesai ngomelin papa dan merengek sama mama di chat. Badai berdecak kecil. Melirik Aruna, cewek itu tidur menyamping memunggungi Badai, dengan jilbab yang masih menutupi kepala.
"Run."
"Hm?"
Bisik-bisik.
"Nggak gerah?"
"Nggak."
Ada AC, sih. Namun, Badai pikir tidur pakai kerudung itu nggak nyaman. Kok, bisa Aruna nggak risi, ya?
"Kalo mau dilepas, lepas aja. Gak bakal gue apa-apain."
Aruna terdiam lama.
Badai menatap langit-langit kamar. Dia sedang mode soft, malas debat dan memang efek rasa bersalahnya saat kejadian siang tadi masih menggelayut. Jadilah dia lunak sama istri malam ini. Lihatlah, Alvi saja sampai Badai izinkan bermalam di sini.
"Nggak," bisik Aruna, masih memunggungi.
Badai melirik sekali lagi, kali ini badannya ikutan tidur miring menghadap Aruna. Kalau telentang dirasa sempit. Well ... soal jilbab, ya?
"Aku pernah bilang, kan?"
Eh, Aruna berbisik lagi. Bedanya, sekarang Aruna berbalik. Badai terkesiap, kaget, posisinya menghadap Aruna saat itu dan kini jadi berhadapan. Terasa sangat dekat. Aruna pun kelihatan kaget walau samar.
"Aku akan buka hijabnya nanti kalau Abang udah ikhlas. Tentu dibuka pas kita lagi berdua aja," imbuhnya.
Tatapan Aruna meneduhkan. Badai jadi nyaman, dia nggak ubah posisi.
"Bukannya lo yang nggak ikhlas?"
Aruna menggeleng. "Aku ikhlas. Sejak Abang sebut nama aku di depan penghulu, aku ikhlas kalau emang malam itu Abang harus liat segala yang ada di aku."
Eh, eh, Badai salah tingkah. Dia berdeham.
"Ikhlas soal pernikahan kita, dan Abang belum bisa buat itu," lanjutnya. Aruna senyum, matanya sayup-sayup tertutup. Kayaknya ngantuk. "Apalagi karena ternyata di hati Abang udah ada isinya. Mmm ... kalo waktu itu, pas datang ke rumah ibu angkat aku, Abang bilang soal ini ... sebut aja udah punya seseorang yang Abang suka, mungkin jawaban aku bakal lain."
Badai diam menyimak.
Aruna memejam, tetapi mulutnya bilang, "Pernikahan ini nggak akan ada."
Begitu katanya.
Dan karena Badai diam saja, Aruna tak lagi berucap, lambat laun terbawa arus kantuk hingga lelapnya. Badai masih diam, memandang wajah Aruna.
Hal yang sejujurnya nggak mau Badai bagi, detak jantungnya cepat sekali malam ini. Gila. Badai bisa gila. Ini terlalu cepat, terlalu menggebu. Sebenarnya ... kenapa? Ada apa? Sosok Aruna membuat Badai kesal sampai di ubun-ubun akibat efek samping berada di dekatnya.
Pengin Badai terkam, Ya Allah.
Tapi ... atas dasar apa?
Cinta?
Ya, dasar gila kalau iya!
Badai memilih balik badan dan menutup mata. Seumur-umur dekat sama cewek, Badai nggak pernah pakai hati karena sejak lama hatinya sudah berpemilik. Sella. Badai rawat dengan baik. Tak peduli ada berapa banyak mantan, pacar, dan gebetan, nggak ada yang Badai serahkan betul-betul hatinya. Namun, Aruna ....
Beberapa hari kenal cewek itu, Badai terusik. Merasa Aruna punya sesuatu yang membuatnya terancam. Entah karena apa, Aruna punya sesuatu itu, Badai harus waspada. Cewek jenis Aruna adalah bukan tipenya. Dia kelihatan lemah, perasa, Badai nggak suka, tetapi di lain sisi ... Aruna ternyata kuat dengan segala pemikiran realistisnya.
Lawan yang tidak mudah, dibikin nggak nyaman pun malah Badai yang uring-uringan. Kenapa, sih?!