"Kamu gak pa-pa, kan, Sel?"
"Ada yang luka, nggak?"
"Mama kamu ngebanting sesuatu lagi ke kamu, Sel?"
"Sini, aku liat."
Dulu.
Itu dulu.
Waktu di mana Badai masih putih abu kelas 10, dia mengenal Sella setelah kenal Raffa dan Brian, baru setelahnya mereka kenal Azzam yang anak pindahan di sekolah itu.
Dulu.
Sella adalah ratu di antara tiga orang yang merangkulnya sebagai sahabat. Mulanya Badai nggak suka sama Sella, dia merasa cewek itu caper dengan keterdiamannya di kelas, pun pemurung.
Oh, ya, Badai beda sama Topan dan Gempa yang sering ke mana-mana barengan. Badai ingin gaul menonjol sendiri di antara dua kembarannya. Di saat Topan dan Gempa jadi murid teladan karena akhlak mulia, ehm, Badai lebih ke siswa langganan guru BK, tetapi cerdas dan tampan tentunya.
Nakalnya Badai itu bukan soal rokok, mabuk, dan terjerumus narkotika, dia cuma suka berangkat sekolah dari rumah, tetapi nggak nyampe di kelas, tahu-tahu Badai bolos dan nongkrong di warung kopi langganan mereka buat jajan gorengan plus es teh.
Sedang urusan pelajaran, Trio Bencana memang mewarisi gen cerdas dari Ainara--mama mereka yang cumlaude IPK mendekati sempurna. Hanya saja agak-agak gimana gitu kehidupan sekolahnya, seperti Gempa yang malas belajar, Badai yang suka bolos, paling cuma Topan yang betul-betul kayak mamanya. Serius perihal pendidikan.
Balik ke kisah Badai dan keempat kawannya dulu, Sella ternyata anak broken home. Konon, orang tua Sella ini orang berada, tetapi katanya Sella bukan anak papa, dan mama membencinnya karena itu.
Maaf, mama Sella pernah diperkaos, hasilnya Sella, tetapi papa Sella yang sangat baik itu mau menerimanya. Sayang, di belakang papa, ibu kandung Sella sudah seperti ibu tiri.
Sella menceritakan itu setelah hubungan persahabatan mereka terjalin lebih dari empat tahun, dan hanya pada Badai. Dulu. Makanya, daripada sama yang lain, Sella jadi lebih dekat dengan Badai, dan di situlah perasaan iba Badai alih jadi cinta.
Ada, kan, yang begitu?
Badai menjadi sosok yang selalu ada untuk Sella. Menjadi orang yang ingin paling bisa Sella andalkan. Pun, menjadi seseorang yang harapannya--kelak--Badai bisa mengambil Sella untuk dia nikahi dan Sella terbebas dari kehidupan kelam antara anak dan ibu.
Namun, Sella pergi. Waktu itu Badai masih belum punya kekuatan untuk menahannya, Sella dibawa pergi oleh orang tuanya ke luar negeri, Badai cuma bisa bungkam atas perasaannya, dan mungkin ... menunggu. Habis berapa tahun waktu berlalu, Badai masih seperti ini, yang larut dalam ketidakpunyaan kekuatan itu.
Sampai akhirnya, Sella kembali. Namun, karena Badai lemah seperti dulu, lagi-lagi dia nggak bisa mempertahankan harapannya untuk Sella, dengan menikahnya dia bersama Aruna.
Sepertinya, di situlah letak kemarahan Badai. Untuk diri sendiri paling penting, juga amarah pada kehadiran Aruna yang sesungguhnya nggak salah apa-apa.
Sebab hati masih di Sella, dan perempuan itu masih sengsara, Badai tidak bisa begitu saja mengabaikannya hanya karena perjodohan ini.
Jadi, di sanalah dia sekarang ... di rumah perempuan yang dulu pemurung dan banyak luka pemberian orang tua, Sella.
"Makan yang banyak, Sel. Lo kurus gini," katanya, memperhatikan Sella sambil senyum.
"Jelek, ya, aku kalo kurus?"
"Cantik, kok."
Sella tersedak.
"Kamu selalu cantik."
Makin-makin. Badai cuma nyengir.
"Berdosa banget kamu, Dai, muji cewek lain di saat udah ada bini! Aruna denger, nangis dia," omelnya, selepas minum meredakan batuk.
"Ya elah ... ke sahabat doang, kali."
Sella mengerling. "Eh, kok, kamu sendiri, sih? Raffa, Azzam, sama Brian, mana?"
"Mereka udah duluan ke warkop. Aku ke sini jemput kamu sekalian ngasih makan."
Sella manggut-manggut. Memang rencana main ke warkop itu ide Sella yang kangen masa sekolah mereka. Tentu, dia sudah berinisiatif agar Badai mengajak istrinya. Namun, kok, kayaknya gak diajak, ya?
"Dia gak ikut," kata Badai. Seolah paham gelagat Sella saat ini. "Tadi udah diajak gak mau."
"Oh, ya udah, yuk! Langsung ke sana aja. Dah kenyang. Betewe, makasih lagi, ya. Ini makanan plus es krimnya aku terima."
Dan mereka pun berlalu, berboncengan menuju warkop. Kalau mau dipikir dengan logika manusia ... jika betul hanya sahabat, tetapi apa perlu yang turun tangan adalah Badai, yang notabene merupakan lelaki beristri?
Pikir Sella, karena cuma Badai yang mau direpotkan olehnya, toh sudah izin sama Aruna, kan? Jadi, Sella nggak salah!
***
"Kok, sepi?"
Aruna tersenyum menyambut kedatang Mama Ai.
"Iya, abang lagi ada urusan."
"Urusan apa, tuh?"
Aruna senyum lagi. "Nggak tahu, tapi tadi bertiga sama temennya. Kak Azam, Kak Raffa, dan Kak Brian."
Aruna jujur, tetapi sedikit menyembunyikan fakta terkait informasi lanjutan.
Mama Ai berdecak. "Besok-besok diomongin, ya, Sayang. Kehidupan dia sekarang itu udah beda, udah gak pantes buat main. Ah, salah Mama juga, sih, nggak kasih edukasi pranikah dulu, asal jodoh-jodohin aja. Duh ... tapi percaya sama Mama, ya? Maksud Mama nikahin Badai ke kamu itu baik ...." Baik untuk Badai. Dipikir ulang, kok, kayaknya Ainara sudah egois, ya, terhadap Aruna? Dia sampai tercenung di tengah keceriwisannya.
Tersuguh secangkir teh hangat dan kue-kue yang baru Aruna buat. Seketika fokus mama mertua Aruna itu alih ke sana.
"Ini bikin sendiri?" Dicomot satu kuenya.
Aruna duduk. "Iya, Ma. Enak, nggak?"
Diiciplah kue itu. "Mmh ... enak banget ini. Kamu pinter masak, ya, ternyata? Beruntung banget borokokok satu itu dapetin kamu."
Borokokok sama dengan Badai maksudnya?
Sekesal itu Mama Ai kepada anaknya; Badai. Makin kesal karena ternyata ide perjodohannya ini malah membuat Aruna hidup bareng cowok nggak beres seperti putranya. Alias kurang bertanggung jawab. Duh!
Namun, berharap boleh, kan? Bersemoga agar hadirnya Aruna di hidup Badai dapat mengubah tabiat lelaki itu. Sebagai ibu, Ainara berharap yang terbaik untuk anaknya, juga untuk Aruna tentu saja. Semoga kelak, Badai dapat membahagiakan Aruna secara penuh.
Iya, harapannya sebaik itu, tetapi kenyataannya ....
"Una ada rencana buat jualan, Ma." Dia haha-hehe.
Kontan narasi dalam benak Ainara kabur entah ke mana. Dia comot lagi kue itu. "Buat ide jualan, kue-kue ini bagus, sih."
"Bukan cuma kue, Ma. Nanti Una mau bikin makanan yang biasa Una bawa buat bekel ke kampus, temen-temen di sana suka."
Mama Ai mengangguk. "Tapi, Sayang ... maaf, nih. Apa uang yang papa transfer masih kurang untuk biaya hidup kalian?"
Eh?
"Nggak, Ma. Bukan." Aruna sampai geleng-geleng tidak membenarkan. "Alhamdulillah uang yang dari papa dan Mama sangat mencukupi, lebih dari cukup malah," katanya, "tapi Una pengin belajar bisnis, Ma." Dia senyum. "Tolong jangan salah paham, ya, Ma? Una minta maaf ...." Rautnya seketika keruh tak enak hati.
Namun, senyum Aruna kembali saat Mama Ai terkekeh dan bilang, "Oh ... itu. Mama, deh, yang minta maaf udah ngomong gak enak. Gak pa-pa kalo Una mau jualan. Yang penting suami kamu udah ngizinin, kan?"
"Iya ...." Lebih tepatnya, toh Bang Badai tidak akan peduli pada apa hal yang Aruna lakukan. Memang dalam pernikahan ini, kan, tidak boleh mencampuri urusan satu sama lain. Namun, mendengar apa yang mama kata barusan, kok, kayaknya dia perlu bicara perihal perizinan bisnis kecil-kecilan ini ke suami, ya?
Hingga ketika malam tiba, Aruna lihat suaminya baru saja pulang, dari siang sampai jam delapan malam lelaki itu pergi main.
"Kenapa?" Merasa diperhatikan, Badai bertanya.
"Mau mandi apa makan dulu? Atau mau aku bikinin sesuatu? Teh?"
Alis Badai naik sebelah. Kenapa, nih? Kok, perhatian banget?
Kemarin-kemarin Aruna nggak gini. Makanya, Badai merangsek maju dan dia pegang kening gadis itu. Aruna sampai terkesiap, tersentak mundur, yang nyaris oleng dan sigap ditahan pinggangnya sama Badai.
Pas.
Tubuh itu ideal dalam rengkuhannya, Badai salah fokus.
Aruna pun berdeham dan melepas diri.
"Mandi," sahut Badai persoalan yang tadi. Dia ikutan berdeham, salah tingkah sendiri, padahal baru juga pegang pinggang.
Aruna cuma mengangguk.
"Kenapa emang?"
Mereka bertatapan saat ini.
Aruna bilang, "Aku pengin ngobrol ...."
"Soal Sella?"
Hell ....
Aruna sampai mengerjap. Kenapa jadi Sella?
"Gue tadi emang abis main sama dia, tapi berempat. Kayak yang lo tau di kampus, ada Azam, Raffa, sama Brian juga."
Bicara-bicara, Aruna nggak peduli, sih.
"Iya, nggak pa-pa," katanya, "bukan soal itu, kok."
Alis Badai menukik lagi. "Terus?"
"Abang mandi dulu aja, terus makan, abis itu kita ngobrol bentar, ya?"
Dan Badai cuma berdecak.
Dasar lelaki menyebalkan. Gini-gini Aruna sering ngutuk cowok itu, lho! Bunyinya seperti ini: Ya Allah, kutuk suami Una biar hatinya ketutup rapat buat perempuan mana pun dan kalo emang itu baik buat kami, tolong jadikan dia bucin sama Una, Ya Allah!
Saking kesalnya, sungguh.
Tapi kemudian Aruna beristigfar.
Tak berselang lama, Badai keluar dari kamar dengan piama navy di tubuhnya. Aruna langsung ngeluyur ke dapur buat sediakan hidangannya, dibawa ke ruang TV, soalnya Badai duduk di sana. Tak lupa, Aruna bawa minumnya juga.
Dalam diam Aruna duduk manis di sisi Badai yang mulai makan.
"Lo nggak makan?"
"Aku belum laper, Bang."
"Makan," katanya.
"Belum pengin."
"Senggaknya kalo suami makan, tuh, ya, lo ikut makanlah."
Aruna menghela napas samar. Oke, fine!
"Sebenernya aku udah makan kue tadi, aku bikin, jadi kenyang." Namun, tetap dia suapkan nasi beserta jajaran lauk yang baru saja diambil.
"Kue apa?"
"Ada. Abang mau?"
"Bawa ke sini aja. Tapi abisin dulu makanan lo."
Aruna patuh.
Sesekali Badai melirik perempuan berjilbab itu. Kalau mau dibandingkan, Aruna dan Sella dari cara makan saja sangat jauh berbeda, meski keduanya sama-sama tidak ada jaim-jaimnya. Namun, Aruna jauh lebih anggun.
Ya ... dari penampilan juga memang Aruna lebih rapi, sih. Tapi, nggak guna kalau di mata Badai, Sella lebih menarik dengan keserampangannya.
"Udah," kata Aruna. Memang sudah habis nasi dan lauknya, Aruna cuma ambil sedikit. Dia minum. "Abang udah?"
"Dari tadi, kali."
"Aku beresin ini dulu sambil ambil kue, ya? Terus kita ngobrol."
"Ngebet banget lo pengin ngobrol sama gue?"
"Iya, ini penting soalnya."
"Sepenting apa, sih?"
"Sepenting aku di hidup Abang--"
"Lha? Ya, nggak ada penting-pentingnyalah!" Badai tertawa. Apaan, sih!
Namun, Aruna balas dengan senyuman. Beres dengan t***k-bengek tadi, Aruna kembali duduk di sisi suami.
Nah, dia bilang, "Tadi Mama Ai ke sini."
Seketika Badai menoleh. Waswas.
"Bahas soal aku yang pengin jualan."
W-what?!
Tampang Badai ganti jadi bertanya-tanya, tetapi kemudian mendelik. "Oh ... lo ngadu sama mama soal gue yang gak kerja? Terus lo pencitraan dengan inisiatif jualan? Nggak. Nggak ada jualan-jualan! Lo--"
"Aku belum selesai, Bang. Dengerin aku sampai tuntas dulu bisa, kan?"
"Lo jelek-jelekin gue di depan mama, kan?"
"Astagfirullah, Bang ... apa nggak bisa buat husnuzan sama aku?" Aruna gemas dengarnya. Suuzan terus! Dia jadi nggak mood. "Ya udah, ah. Aku mau cuci piring aja!"
Dan saat Aruna berdiri, Badai langsung meraihnya, ditarik dengan refleks tangan Aruna, tak sadar bila itu pakai tenaga, yang mana setelahnya ....
"Abang!"
Empuk, Guys!
Serius.
Bokong Aruna jatuh di atas pangkuannya.
Badai kicep. Menatap Aruna dari dekat. Wajar kalau dia salah tingkah. Tatapan lelaki itu agak gimana .... gitu!
Namun, cepat-cepat Aruna bebaskan diri. Dia pun bilang, "Nyesel aku ngajakin ngobrol."
Habisnya ... ada punggung yang tanpa sadar tangan Badai usapi tadi. Dia kontan berdeham.
"Ya, maap!"
***
"Lo pernah bilang, kan, Raf? Cowok bisa adu skinship sama cewek yang bahkan nggak dia cintai."
"Betul."
"Bahkan kata Raffa waktu itu, tanpa cinta pun cowok bisa nidurin cewek, kan?" Ini Brian, mengimbuhi gagasan Badai di awal.
"Sangat betul, Kawan," sahut Raffa, asyik main ponsel.
"Gak semua cowok kayak gitu, Bambang!" tukas Azam, dia tidak terima. "Toh, cewek juga ada yang begitu dan begini. Jangan disamaratakanlah!"
Badai mengangguk-angguk.
"Tipe yang Raffa bilang itu tipe cowok berengsek, kali! Atau penjahat kelamin. Amit-amit, Ya Allah!" Azam bicara lagi.
Di situ Badai menoleh. "Maksud lo ... gue penjahat kelamin, gitu?"
Fix, kelepasan.
Tiga kawannya langsung menoleh. Di tongkrongan itu hanya ada mereka. Tentu saja ini di kampus.
"Fucek, Dai! Jangan bilang lo ...." Raffa histeris.
"Udah jatuh cinta kali sama doi!" celetuk Brian.
"Doi yang mana dulu, njir? Lagian cewek yang lo maksud ada berapa, sih, Dai? Siapa aja? Bini? Apa yang lain? Karena nggak mungkin Sella, kan?"
Azam, tuh, ya, kalau ngomong suka jleb-jleb-jleb gitu. Membuat Badai menampol bahunya.
"Ssst!" Brian tiba-tiba menginterupsi. "Itu sepupu lo, kan, Dai?"
Ow, shittt!
"Aruna!"
Nakal.
Teman-teman Badai j*****m semua. Nggak ada baik-baiknya sama bestie. Brian menunjuk Aruna dan malah memanggilnya, sedang di sebelah Aruna ada sosok ....
"Siapa, Na?"
"Mm ... temen-temennya sepupu aku."
"Oh, jadi yang kemaren pulang bareng kamu itu sepupu?"
Aruna menoleh pada sisi lain, agak tinggi yang itu, Aruna jadi mendongak. "Iya, Ga."
Araga.
"Run, sini!"
Suara Kak Brian lagi. Yang lain cengengesan di sana, kecuali Badai. Kayaknya cowok itu nggak suka, deh, kalau Aruna ke sana. Jadi, Aruna bilang, "Hai, Kak! Maaf ... aku ada perlu ke sana dulu."
Begitu.
Yang entah bagaimana Aruna definisikan auranya, sekarang dia merasa ... apa, ya?
Di belakang, tatapan mereka--khususnya Badai--nggak terus menatap ke arah sini, kan?
"Awas nabrak, Raga. Lo jalannya, kok, liat ke belakang terus!" omel Ara.
Oh, iya.
Sejak kemarin, Aruna dan Raga berteman.
Teman lelaki pertamanya.
Nggak pa-pa, kan?
Lumayan ....
Buat ajang relasi berjualan.
"Kayaknya sepupu kamu galak, ya, Na?"
Hah?
Aruna dan Raga bertatapan, sekilas saja, sebelum kemudian Aruna menoleh lagi ke belakang--memastikan--ada sosok Badai yang melengos di sana. Yang dimaksud Raga ... Badai, kan?
"Apa kamu gak boleh temenan sama cowok, Na?"
Belum Aruna jawab, Raga bilang lagi, "Gimana kalo kamu pacaran, ya, Na?" Dengan senyum yang sangat menawan.
Eh?
ASTAGFIRULLAHALADZIM!
Seketika Ara jadi tai, dilalatin, diangin-angin.