5. Perasaan Badai

1969 Kata
"Udah, nangisnya?" Oh, benar sekali, Pemirsa! Dari tadi Aruna menangis selepas kejadian Alvi didamprat oleh Badai. Tak reda rasa sakit hatinya meski Badai sudah didamprat balik oleh papanya, Aruna masih menangisi Alvi. Lepas tadi menidurkan sang adik, Aruna balik ke kamarnya dengan suami, dan di situ Aruna menangis lagi. Tak dia tanggapi ucapan Badai barusan, Aruna awet terisak walau air mata sudah tak jatuhi pipi. Terdengar suara helaan napas, itu Badai. Dia menatap Aruna yang menunduk di kasur, di situ Badai mengacak rambutnya gemas. Tahu karena apa? Hati. Ada yang gak beres di sana. Badai kesal, tetapi bila kondisi Aruna seperti ini, perasaan asing yang membuatnya makin kesal hinggap lama, membuat Badai frustrasi. Ah, sudahlah! Malam ini Badai putuskan mau tidur di kamar Gempa, titik! Pintu pun dia tutup, meninggalkan Aruna yang makin menunduk, menggigit bibir, menahan desakkan air mata. Lagi dan lagi ... dia cengeng ternyata. "Woi, woi, woi! Perbuatan hina macam apa ini? Asal gusur orang lagi tiduran aja!" decak Gempa. Betul, di kamarnya kedatangan makhluk Tuhan yang paling tidak diharapkan, Badai menerobos masuk. Pintu memang belum Gempa kunci soalnya barangkali mama atau papa ada perlu, kecuali kalau mau terlelap, barulah pintu kamarnya dikunci. Badai pun merebahkan diri tanpa peduli protes dari kembarannya. Dia tutup mata. "Berisik. Tidur." Gempa terperangah. "Sana balik ke kamar lo, Dai!" Sejak tumbuh meremaja dan usia transisi, sebutan mereka memang jadi lo-gue. Kecuali Topan yang agak lain, dia mah saya-sayaan, kalau nggak, ya, pakai acara sebut nama sendiri. Kaku, ah. "Badai!" "Diem napa, Gem!" Malah mendelik, melotot pula. Gempa tendang saja kaki Badai yang memang sedang rebah di kasurnya. "Balik sana ke kamar lo! Punya kamar sendiri, kan? Udah punya bini juga, minggir!" Badai berdecak, memunggungi Gempa dan bilang, "Buat malam ini gue numpang tidur di kamar lo." "Heh, Bambang! Maksud lo, pisah ranjang gitu sama bini?" Badai cuma diam. "Ah, papa, sih. Bocil dinikahin," gerutu Gempa. Dia pun memilih rebah, memunggungi, juga menarik selimut dan lanjut menggerutu. Katanya, "Bodo amat, dah. Gak ikut campur. Abaikan, Gem, abaikan. Belakang lo setan." Badai tutup telinga dengan bantal yang menjadi alasnya. Sial. Makin kesal! Waktu terus berlalu detik demi detiknya, Aruna sudah cuci muka dan berniat tidur selepas melongok ke luar kamar dia tidak menemukan Badai. Aruna menghela napas. Ah, sudahlah. Kepalanya pusing sekarang. Entah sudah lewat berapa jam, waktu di mana Aruna terbangun saat hendak ibadah malam, dia terkesiap mendapati sosok Badai di sisinya. Lelaki itu tertidur pulas sambil peluk bantal guling. Lho, sudah kembali? Kapan? Tanpa sadar Aruna menatap lama wajah itu, tampak begitu damai dan bersahabat, tetapi kenapa kalau bangun, cowok ini ekstra menyebalkan? Tutur katanya tak sedap didengar. Aruna seketika cemberut. Ketampanan pria seketika tidak berguna kalau mulutnya pedes gila! Aruna kesal, dia jadi pengin nampol wajah tidur Badai. Namun, nggak mungkin dilakukanlah, ya. Dia cuma menghela napas. Padahal bisa saja Aruna melakukan hal jahat kepada lelaki yang sedang tak berdaya. Dia tutup lubang hidung Badai dengan dua jarinya, misal? Astagfirullah. Aruna terkejut di detik dia belum alihkan tatapan, tetapi mata itu terbuka. Badai terjaga. Oh, Aruna refleks istigfar. Pun, dia melengos. Memerah pipinya, kepergok memperhatikan wajah lelaki itu. "Lo nyebelin tau, gak?" Eh? Kontan Aruna kembali menatapnya. Badai bilang, "Bikin orang gak tenang aja." Hah? Lelaki itu alih menghadap pintu, alias memunggungi Aruna yang masih kicep di tempatnya. "Apa, sih?" decak Aruna, lirih. Dia pun beranjak dan tunaikan salat. Yup, tahajud. Badai menatapnya dari sini selama Aruna salat malam. Jujurly, Badai gak habis pikir, mau-maunya bangun tengah malam cuma buat salat dua rakaat? Mending juga tidur, kan, ya? Toh, salat malam itu sunah. Sepengetahuan Badai dan itu gagasan dari dirinya yang sesat. Fine! Badai akui, dia memang jauuuh sekali dengan perintah Tuhan, juga mendekati larangannya. Entah kenapa, sadari itu, tetapi Badai nggak tobat juga. Tak tahu sampai kapan dia demikian. "Mata lo bengkak." Lagi, Aruna terkesiap. Dia baru juga selesai salat, mau naik lagi ke ranjang, otewe buat lanjutin tidur, tetapi ucapan suami membuat geraknya terjeda. "Iya. Habis nangis tadi," balasnya, pelan. Aruna mulai masuki wilayah dalam selimut. Bagi dua sama Badai. Boboknya bersebelahan soalnya. Masih memunggungi, Badai bilang, "Sorry." Oh .... Ya? Aruna menoleh tanpa suara. Namun, gemas, Badai malah diam begitu lama. "Maaf buat kesalahan Abang yang mana?" Seketika itu juga Badai berbalik, alisnya agak menukik. "Maksud lo, gue salahnya banyak, gitu?" Sampai-sampai ditanya 'buat kesalahan yang mana', hell! Badai nggak terima. "Pertama--" "Fine!" sergah Badai, malah Aruna mau menjabarkan letak salahnya. Ck! "Buat semuanya." Malam itu, Aruna tersenyum. Sedikit. Sangat sedikit hingga hanya Aruna yang tahu bahwa dia tengah tersenyum. "Aku maafin, tapi jangan ulangi, ya?" "Segampang itu?" "Jangan ulangi, apa ini syarat yang mudah?" "Susah." Nah, Aruna senyum lagi. Kali ini terlihat jelas oleh Badai. "Ya udah, aku ngantuk. Boleh lanjut tidur?" "Ya, terserah lo. Ngapain izin?" Agak sewot intonasinya. Kesal, sih. Aruna membuat jantungnya berdetak tidak biasa, sedang Badai merasa waswas pada perasaannya. Fix, Aruna merem. Tidurnya menghadap suami kali ini. Membuat Badai terdiam lama dalam posisinya yang memang menghadap Aruna. Ini cewek, tuh, cantik. Bibirnya cipokable, Badai nggak lagi halu, aslian bibir Aruna itu spesies minta dicium. Alisnya juga hitam dan memebentuk line nyaris sempurna bila dipadukan dengan garis wajah, tatapan syahdu, juga bentuk hidungnya. Badai beri nilai 95-lah, ya, buat wajah Aruna. Oke, turun ke ... nggak jelas terlihat, gak bisa ditebak-tebak, tetapi Badai ingat, tubuh Aruna tidak kurus dan tidak gemuk, ambil tengahnya saja ... kisaran 85 nilainya. Ehm! Maaf. Bukannya gimana, tetapi evaluasi itu lebih jelas kalau dijabarkan dengan angka, menurut Badai. Well, kulit Aruna putih. Nggak seputih Tante Wana memang, tetapi mulusnya sama--kayaknya. Warna kulit dan bibir Aruna seolah perpaduan sempurna. Cakep! Coba kalau kelihatan rambutnya ... Badai penasaran, bagaimana tampilan Aruna ketika jilbabnya dibuka? Apa rambutnya panjang? Hitam seperti alis? Oh, atau mungkin-- "Abang ...." Badai merinding. Nggak tahu kenapa. Dia kontan tidur telentang. "Mau apa?" Ah, itu .... Badai berdeham, menatap langit-langit kamar. Gila! Tadi dia mau ngapain, ya? Badai sampai tahan napas. Aruna mengerjap. "Ada sesuatu di bibir aku?" Soalnya tadi kerasa diusap. Badai memilih kembali pada posisi semula, memunggungi Aruna. Anjrot! Jantung Badai dugem seolah kelab malam pindah ke sana, jedag-jedugnya terasa. "Maaf." Badai diam, dalam hati bertanya-tanya, ngapain juga Aruna minta maaf? "Karena belum bisa ngasih, sekalipun sekarang Abang minta ...." Hah? "Ini." Saat Badai berbalik, Aruna tunjuk bibir sendiri, bilang, "Kecuali kalau Abang curi." W-WHAT?! Asghdhsjskkksjjksl! Nggak terima hatinya berdebar-debar, Badai tarik jilbab Aruna sampai merosot menutupi wajah, tetapi tidak membuat rambut Aruna terekspos, sambil bilang, "Sinting!" Jantung Badai jumpalitan, salting. *** Besoknya, Aruna senyum-senyum sendiri. Pagi itu dia awali dengan ceria. Menenangkan Alvi yang mulai takut sama kakak iparnya. Sebisa mungkin Aruna perbaiki image Badai di mata Alvi. Pun, Aruna menawarkan diri kepada suami untuk ... "Buku Abang yang dicoret-coret Alvi kemarin, mana? Biar aku tulis ulang yang kena coretannya. Tulisan aku meski nggak bagus, tapi masih kebaca, kok." Badai mendengkus. "Gak usah." Bukan karena dia bad mood atau ngambek sama istri, tetapi Badai capek mengendalikan hati yang makin sinting saja saat diperhatikan oleh perempuan bergelar istri. Badai masih denial soalnya, masih merasa bahwa Aruna itu penyebab kehidupannya terpenjara. Jadi, Badai nggak suka. "Tapi--" "Gue bilang gak usah, ya, gak usah!" "Badai!" Tuh, kan, ditegur mama. Badai embuskan napas pelan. "Gak usah, Run," ralatnya, jauh lebih manusiawi. "Udah, gak usah nawar-nawar lagi. Gue otewe kampus dulu," tukas Badai ketika Aruna baru saja buka mulut, gara-gara ini bibir Aruna jadi mengerucut. Dia, kan, belum bilang apa-apa. Kok, ya, asal dipangkas saja! Untung tidak ada Alvi, bocah itu masih tidur. Well, konon Alvi akan diurus perihal sekolahnya nanti oleh keluarga ini, bahkan katanya Aruna jangan khawatir. Besok-besok saat Aruna pindah ke rumah baru bersama suami, bila Alvi ditinggal di sini, adiknya akan baik-baik saja dan dirawat sepenuh hati. Itu yang keluarga Badai janjikan sehingga luka Aruna atas ucapan prianya terobati. Yeah ... nggak apa-apa. Yang penting Alvi bisa hidup dengan baik, Aruna rela menggadaikan hidupnya pada pernikahan ini. Beres sarapan, Aruna pun membuntuti Badai untuk cium tangan. Dan ketika itu terjadi, saat Aruna mencium tangan lelaki ini, alis sosoknya menukik garang. "Kenapa, Bang?" cicit Aruna. Di teras. Badai terkesiap karena tangannya tiba-tiba diraih begitu saja, rupanya oleh Aruna, lalu belum juga ngomel, cewek berjilbab abu itu menciumnya. Punggung tangan Badai auto bersentuhan dengan bibir Aruna. "Kenapa cium tangannya pake bibir?" Aruna mengerjap. "Emangnya pake apa?" "Kening, kek. Hidung. Pipi," decaknya. "Oh ... maaf. Sini aku ulang!" "Gak usah." Badai pun berlalu. Ah, nggak. Dia menghadap Aruna lagi. "Terserah lo." "Maksudnya?" Kening Aruna mengernyit. Badai berdecak. "Kalo emang nyaman di bibir, terserah lo!" Bertepatan dengan itu, Gempa dan Topan keluar rumah. Gempa mendengar, dia pun jadi berkata, "Ecie ... dah bahas bibir aja." "Ehm." Topan cuma deham, tatapannya mengejek. "Yang semalem melipir ke kamar orang, gak bisa bobok karena ninggalin bini sendirian, ujungnya balik lagi--anj--sakit, Dai!" Yup! Badai menjitaknya. Kesal. Di sini, kan, ada Aruna! Gempa mulutnya minta dislepet. "Dah, ah. Gue berangkat!" "Iya. Dadah, Mahasiswa Abadi!" Gempa nggak ada kapoknya. Suka sekali membuat kembarannya kesal, tak hanya ke Badai, ke siapa pun Gempa begini. Di cengengesan. Di sana Aruna senyum, tak bisa dia tahan-tahan, pipinya juga mudah memerah, dan-- "Kamu suka sama Badai?" Hah? Eh? Aruna tersentak, menoleh, ada orang yang bernama Topan di situ. Belum Aruna jawab, Topan berucap, "Yang sabar." Sudah. Cowok itu langsung pergi. Pun, Badai bersama motor besarnya. "Kak Una, dipanggil mama!" seru Rinai yang baru saja keluar. Topan dan Gempa sudah bubar. Aruna gegas mendekat. "Oh, iya." "Di ruang makan, ya, Kak." "Baik." "Eh, jangan formal gitu. Santuy aja, Kak. Kan, sama ipar." Aruna tersenyum malu. Rinai ini, kan, sepantaran sama dia. Duh. Sekarang pipi Aruna dicolek-colek oleh Rinai. "Haha! Agak aneh juga, sih, ya, aku manggilnya kakak?" Aruna menggangguk. "Ya udah, sana, kamu temuin mama dulu." Sip. Dan di sana, Aruna mendengar, tepat saat dia duduk bergabung, ada papa mertua juga ternyata, pada intinya bilang, "Aruna, kuliah, ya?" "Hm?" "Aruna, kan, masih sembilan atau delapan belas tahun? Nah, kuliah, ya? Kami yang urus segalanya, Una juga jangan khawatirkan soal biaya. Nanti kami urus di kampus yang sama dengan Badai. Gimana?" Aruna mengerjap. Antara senang dan ... senang sekali? Ah, mau! Namun, apa pantas dia terima kebaikan itu? Yang kini tangannya digenggam oleh Mama Ai. "Kuliah, ya, Sayang? Badai juga masih ketinggalan di semester 2." Konon, selain nggak beres kuliahnya, Badai pernah ambil cuti. Alasannya bisa diterima kampus, tetapi itu aslinya hanya sekadar alasan yang Badai buat-buat. "Tapi, emangnya boleh?" "Boleh banget, Una. Kalo Una kuliah, nanti waktu bersama suami juga jadi lebih banyak. Kalian bisa satu kampus, pulang dan perginya bareng. Gimana? Mau, ya?" Aruna terdiam. Mau. Namun, dia jawab dengan, "Nanti Una tanya Abang dulu, ya, Ma, Pa. Maaf, bukannya ... mm ... Una butuh izin Abang," cicitnya, menunduk. "Masya Allah. Mama jadi makin suka sama kamu. Paling bener udah nikahin kamu sama Badai." Sambil usap-usap punggung Aruna, Ainara tersenyum. "Oke. Ditunggu keputusannya, ya, Una. Usahakan dibujuk Badainya," tukas papa. Aruna mengangguk. Ah ... kuliah, ya? Apa Badai akan setuju? Lalu, jika Aruna dan Badai satu kampus ... apa kabar, ya, nanti? Aruna senyum-senyum sendiri. Mau. Dia mau. Namun, dia harus bisa dapatkan izin suami. Sementara itu, di kampus. Badai semrawut. "Pengantin baru mukanya kusut gitu." "Berisik!" "Eh, ngomong-ngomong ... sobat gaul kita yang itu udah mau balik ke Jakarta, lho. Denger-denger bisnis ortunya bangkrut di sana, jadi pulkam ke sini." Badai menoleh. Satu temannya bilang, "Lo ... udah gak naksir dia, kan, Dai?" "Harusnya, sih, udah nggak, ya? Emang cinta bertepuk sebelah tangan bisa bertahan selama itu? Ya, gak?" Menyikut Badai. Orangnya diam saja. Oh, iya. Kapan hari Badai pernah suka sama cewek, satu, sosok yang nggak bisa dia utarakan perasaannya. Badai takut bila dia mengaku menyukai perempuan itu, hubungan pertemanan ini akan jadi canggung. Awalnya gitu. Sebelum kemudian perempuan itu pergi meninggalkan kota ini, jauh. Perasaan Badai terhadapnya .... "Woi! Malah bengong." Badai tidak tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN