6. Satu Sama

2196 Kata
"Kuliah? Lo? Di kampus gue? Nggak!" Malam itu, Aruna cemberut. "Udahlah, gak usah ningkah, Run. Lo cukup jadi ibu rumah tangga aja." "Tapi papa sama mama Abang yang nawarin." "Tolaklah!" Aruna mencebik. "Akunya pengin," cicitnya. Di situ Badai mendengkus. "Lo--" "Nggak boleh, ya, kalo aku punya keinginan buat lanjutin pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Dan sekarang aku punya kesempatan buat wujudin itu, Bang. Nggak boleh?" Mata Aruna menatap Badai dengan penuh harap. Melihat itu, Badai agaknya merasa ... argh! "Nggak boleh, Run." "Kenapa?" Setidaknya, Aruna harus tahu alasannya. "Pokoknya nggak boleh." "Kasih aku alasan yang kuat dan masuk akal, baru aku bisa ikhlas terima larangan Abang." "Anj--" "Istigfar." Astagfirullah! Badai berdecak. "Oke. Lo boleh kuliah ...." Mata Aruna berbinar, tetapi cepat-cepat Badai imbuhi, "Dengan catatan, di kampus yang berbeda sama gue." Seketika bahu Aruna turun. Yah ... gimana, ya? "Memangnya kenapa kalau kita satu kampus?" "Itu gak boleh terjadi." "Ya, kenapa?" Badai berdecih. "Gue tau lo mau manfaatin keadaan, dengan kita satu kampus, lo pasti bakal koar-koar soal hubungan kita yang udah nikah ini, kan? Gue paham akal-akalan lo." "Astagfirullah ... aku sama sekali nggak kepikiran itu, Bang. Bahkan kalo status kita bikin Abang gak nyaman, selain di rumah, aku bisa rahasiakan. Nggak akan kasih tau siapa pun tentang suami aku." Badai tertawa remeh. Aruna sungguh-sungguh menjawab, "Aku bisa, kok, akting seolah kita gak kenal." "Alah." "Aku janji bakal lakuin apa pun kalo Abang kasih izin aku buat kuliah di tempat pilihan mama dan papa Abang. Soalnya aku nggak pengin nolak tawaran itu, tapi juga nggak enak kalau aku yang menentukan sendiri kuliah aku di mana." Aruna ulas senyum tipis, agaknya dia meringis. Detik itu Badai mendengkus, entah ini dengkusan yang keberapa. Namun, apa tadi? "Janji bakal lakuin apa pun?" Ditanya begitu, mendadak Aruna ragu. Janji nggak, ya? Namun, dia ingin sekali menerima tawaran mertua. Jadi, bismillah ... "Iya, Una janji." Jari kelingking itu Aruna sodorkan, tepat di hadapan Badai, sosoknya yang mengernyit di sana. Apaan, tuh? Meski demikian, Badai kaitkan jari kelingkingnya juga di sodoran jari Aruna. Fine, mereka membuat perjanjian. Aruna tersenyum. "Tapi jangan minta yang nggak bisa aku kabulin, ya, Bang?" "Lha, tadi katanya apa pun?" Sejujurnya Badai masih belum tahu dia mau minta apa, tetapi barangkali tiket permintaan ini bisa membantunya keluar dari zona pernikahan, alias cerai, so ... Badai sanggupi. Okelah, apa pun. Badai akan pikirkan apa hal yang amat dia inginkan dari Aruna seiring waktu berjalan, jikalau memang ada yang lebih worth it dari perceraian. Sementara itu, Aruna menghela napas. "Asal nggak menyangkut Alvi," lirihnya. Badai menyeringai. "Lo bahkan nggak peduli sama diri sendiri, ya, Run?" "Maksudnya?" "Lo takut gue bakal minta aneh-aneh menyangkut Alvi, tapi lo nggak takut misal gue minta yang aneh-aneh sama lo." Hah? Apa iya? Aruna terdiam. Tak lama. Aruna bertanya, "Emangnya ... Abang mau minta apa?" *** Sekadar informasi, jarak usia Badai dan Aruna terpaut 4 tahun. Di mana masa kini Badai berusia 22 tahun, masih kuliah semester 2, sedang Aruna baru lulus SMA tahun ini di usia ke-18-nya. Kalau mau masuk kuliah jalur undangan, Aruna sudah tidak bisa, tetapi ada jalur mandiri yang bisa dia ikuti. Pendaftarannya dibuka dua bulan yang akan datang. Konon, Badai pun masih berurusan dengan kampus sebelum nanti libur semester. Oh, dia sebentar lagi naik tingkat ke semester 3, di situ Aruna didaftarkan. Selama Badai libur, Aruna justru sibuk urus-urus pendaftaran. Rupanya Ainara dan Awan salah mengira usia Aruna 19 tahun, lupa atau memang keliru sebab body dan aura Aruna tampak lebih dewasa. Lihatlah, seberapa cekatan Aruna ketika dia mengurus adik dan suaminya. Diperhatikan, Aruna sabar sekali terhadap Badai. Makanya, Papa Awan bilang, "Kalo kamu bersikap kekanakan gitu terus, Papa nggak yakin mau kasih rumah buat kalian. Khawatir Aruna depresi ngadepin tingkah laku suaminya. Nggak kepantau sama Papa dan Mama soalnya." Badai menggeleng. "Kalo emang niat kasih hadiah, sih, kasih aja, Pa. Nggak usah beralasan." Yeu, dasar! Seketika itu juga mama menjewer telinga Badai, orangnya sampai mengaduh. Aruna nyaris tertawa. "Pinter banget omongan orang tua dijawabin!" omel mama. "Sssh ... sakit, Ma!" Dilepaslah jeweran itu. "Makanya, yang baik, dong, kalo sama istri! Tutur katanya itu, lho. Dosa kamu nyakitin hati istri. Plus dosa ngelawan sama Papa tadi." Badai berdecak. Oh, ternyata waktu sudah berlalu dan Badai memberi izin untuk Aruna kuliah di satu kampus dengannya. But, sorry to say ... "Badai ada acara, Ma. Nggak bisa anterin Aruna." "Alasan aja, kamu! Acara apa emangnya? Sepenting itu sampe-sampe lebih penting dari istri?" Badai mencebik. Betul! Hari ini Badai sedang ditugaskan mama untuk mengantar Aruna daftar ulang ke kampus. Aruna lolos seleksi jalur mandiri, tetapi mesti daftar ulang lagi. Namun, hari itu Badai sungguh sedang ada acara. Toh, kalau nggak ada acara juga Badai nggak maulah disuruh antar Aruna. Dasar manja! Pergi sendiri saja kenapa, sih?! Yeah ... sayangnya, kelemahan Badai itu mama. Habis kena omel waktu dia berkata nyelekit sama Aruna plus menjawabi ucapan papa, besoknya Badai jadi anak baik. Iya, baik di depan mama, di belakangnya, sih, Badai auto cosplay jadi Lucifer lagi. Jahat total. Sekarang pun ketika Badai manut mengantarkan Aruna ke kampus buat daftar ulang, sepanjang jalan dia judes, terus bukannya langsung pulang, dia justru mampir ... ke tempat yang tidak Aruna ketahui. "Ini di mana, Bang?" "Udah gue bilang, kan, gue ada acara?" Badai melepas helm full face-nya. Aruna sudah turun dari boncengan. "Tapi aku kira--" "Lo kalo mau balik, ya, balik aja sendiri, tapi bilang sama mama kalo itu kemauan lo. Atau lo nongkrong dulu di mana, kek, nanti gue jemput. Misal mau balik bareng." Aruna rapatkan bibirnya. Adalah sebuah rumah minimalis yang terbuka gerbangnya, tampak ramai di sini, Aruna pun dilewati begitu saja oleh suami. Badai berlalu, meninggalkan Aruna yang menghela napas di situ. Namun, nggak bisa begini. Aruna pun ikuti langkah kaki ke mana Badai pergi. "Wasap, Bro!" "Ihiy, akhirnya nyampe juga lo ... eh--" "Badai!" Berpelukan. Iya, Aruna melihatnya, hal yang membuat Aruna menghentikan langkah. Tepat di belakang suami, sedang dipeluk entah siapa ... perempuan itu. "Eh?" Suara gadis itu. Akhirnya, keberadaan Aruna menjadi alarm bagi semua orang yang ada di sana, mereka menatapnya, termasuk cewek di pelukan Badai tadi yang langsung melepas dekap, plus Badai sendiri jadi berbalik, dia melotot kemudian. Aruna menggigit lidah, beristigfar, mendadak menyesal sudah ikut masuk. Dengan langkah yang sengaja dia pelankan supaya Badai tidak menyadari pula. Ah ... kenapa malah begini? Pertama, Raffa. Dia yang menyapa Badai ketika baru masuk rumah ini tadi. Kedua, Brian. Dan dia yang menyadari keberadaan Aruna paling awal. Terakhir, Azzam. Dia nyeletuk, "Ciee ... bawa istri." Di situasi sedang begini. "Gak ikut-ikut, ah, gue." Ini Raffa. Cekikikan sama Brian. Sedang yang satunya, perempuan, yang tadi berpelukan dengan Badai, bilang, "Ya ampun, maaf!" Aruna masih kaku di tempat, bingung harus ambil langkah apa. "Sumpah, aku gak tau kalo Badai udah ada istri. Eh, tapi beneran kalian udah nikah? Dai, kok, kamu gak cerita-cerita, sih? Parah! Semalem di-chat katanya masih jomlo!" Aruna makin kikuk. Duh .... Sementara Raffa dan Brian memilih angkat dua jari. Lambaikan tangan ke kameralah, ya, istilahnya. Oh, nggak. Mereka cuci tangan, alias gak mau ikut campur. Lain dengan Azzam, dia mengompori. "Serius, Sel, Badai bilang gitu?" "Demi Tuhan!" Badai pun menarik napas panjang, lalu dia embuskan. Fine! Dia tergerak menuju Aruna, lalu merangkulkan lengan di bahu perempuan berjilbab itu. "Sorry." Untuk orang yang Azzam sebut Sel. "Nih, istri gue. Yang pernah gue ceritain kronologisnya," imbuh Badai untuk Raffa, Azzam, dan Brian. Kembali menatap Sella, Badai bilang, "Nanti aku cerita." Bahu Aruna diremas lembut. Meski demikian, Aruna tahu itu peringatan jikalau Badai kesal maksimal sekarang. Aruna pun layangkan senyumnya, manis sekali, dia memperkenalkan diri. "Aruna." Bukannya dia bodoh atau gimana, ya, nggak. Aruna hanya sedang mengamati. Toh, dia belum benar-benar suka sama pria ini, kan? Kagum pada ketampanannya mungkin iya, tetapi jika persoalan hati ... makanya Aruna cosplay jadi istri yang tidak banyak komentar dulu saja sekalipun derajatnya seolah diinjak-injak di sini. It's fine, Una. Amati dulu, modifikasi bila perlu, lalu eksekusi. Paham sampai sini? "Beuuh! Cakep bener namanya, Dai," celetuk Azzam. Malah jadi kompor secara dadakan. "Gue Azzam, ya, inget-inget." Raffa dan Brian ikut memperkenalkan diri tanpa diminta. "Ya udah kalo gitu, sini, sini, ajak duduk! Eh, sorry, ya, Run ... rumah aku masih berantakan, baru banget pindahan soalnya," katanya. "Well, aku Sella." Ada juluran tangan yang lalu Aruna sambut dengan senyum ramah. "Betewe, sorry juga, ya, Aruna, soal tadi. Ehm, pelukan itu. Maaf, nih, bener-bener gak tau." Aruna tersenyum lagi. Entah kalau hati. Aruna sendiri masih menerka-nerka rasanya. Meski demikian, yang pasti Aruna punya gambaran ... ke depannya, dia nggak boleh sampai jatuh, apalagi dengan diikuti rasa cinta. "Duduk," titah Badai, Aruna patuhi. Akhirnya, dia jadi ikut kumpul acara ini. Tepat di sebelah suami, yang kemudian Badai pindah lesehan ke dekat Raffa dan Brian. Main game. "Ngomong-ngomong, jangan cemburu sama aku, ya, Istri Badai." Sambil terkekeh. "Kita cuma sahabatan, kok." "Tuh, denger, cuma sahabat!" Entah kenapa Azzam tiba-tiba menyebalkan di mata Badai, di telinga malah. Seolah menegaskan bahwa perasaan Badai terhadap Sella memang ... yeah, terhalang status sahabat. Sella nggak pernah menganggapnya lebih. Badai pun tak pernah mengungkapkan bahwa dia ada perasaan spesial kepada sahabat cewek satu-satunya itu, takut jadi rusak per-best-friend-annya. Gitu. Tadinya. Sebelum kemudian mama malah nyuruh Badai buat nikah, hingga papa membawanya ke kediaman Aruna. Perempuan yang tidak bisa Badai deskripsikan situasinya. "Iya, Sella. Aku ngerti, kok." Memutuskan untuk tidak cemburu, Aruna bertekad keputusannya akan tetap begitu. "Lo lebih bocah dari dia, sebut kakak!" semprot Badai tiba-tiba, kelepasan. Seketika semua terdiam. Kecuali Sella. "Dih, anjir. Nggak romantis banget nyebutnya lo-loan?" "Kamu diem aja, Sel." Makin diam yang lainnya. Sella berdecak. "Gebleg, dasar." Aruna cuma senyum. Entah kenapa, ini lebih menyakitkan daripada melihat tadi mereka berpelukan. Apa harusnya dia pulang saja, ya? Atau bertindak sepantasnya? Eh, memang yang pantas Aruna lakukan itu apa? Dia takut malah nanti justru mempermalukan diri sendiri. Bukankah apabila Badai tidak menunjukkan rasa kasih dan hormatnya terhadap istri, Aruna juga nggak perlu repot buat cosplay jadi istri tersakiti, atau istri yang cemburu, dan atau sebagai istri yang barbar, kan? Konyol. Aruna hanya perlu menunjukkan bahwa semua yang terjadi di sini tidak membuatnya tersinggung, seolah memang tak ada perasaan apa-apa darinya untuk Badai, seperti Badai, seakan pernikahan ini tak dia inginkan. Oh, bahkan benci pada ikatan yang telah disandang. "Eh, Dek Aruna ... em, Dek Una aja kali, ya? Kepanjangan kalo sebut Aruna." Tiba-tiba Raffa nyeletuk, mencoba mulai masuki wilayah rumit milik Badai. Soalnya Badai agak keterlaluan. "Iya, Kak. Ada apa?" Katanya yang ada di sini lebih tua darinya, kan? "Ihiy, Dek Una." Nah, malah Brian ikut-ikutan sableng kayak Azzam. "Itu namanya, anjir! Aruna. Una!" Raffa menolak diledek. "Hush! Gak boleh berkata kasar, ada ukhti," kata Azzam, terkekeh di sana. Badai merasa geram. Yang Aruna perhatikan, mereka tampak akrab, khususnya .... "Gue baliklah!" Badai berdiri. "Lha?" Saat itu juga Badai melihat Sella meraih korek, pun rokok, yang mana detik itu mata Aruna alih ke sana, di mana tangan Badai gesit merampas. "Masih aja nyebat." "Apaan, anj--balikin!" Badai mengantongi rokoknya di saku celana depan, bilang, "Ambil kalo berani." Jelas, Sella melirik Aruna. Menghela napas. "Sinting, lo!" Begitu kalau sedang kesal, yang biasa aku-kamu jadi lo-gue juga. Sella memilih duduk dengan tampang penuh permusuhan. Bodoh amat. Badai nggak peduli, eh, salah. Justru dia peduli. Sella harusnya sudah berhenti merokok, tetapi malah begini lagi. "Yuk!" Terkesiap, Aruna yang cuma nonton pun lekas berdiri. Apa pertunjukkannya sudah selesai? Opera sabun itu berakhir. Oh, Aruna digandeng ke halaman di mana motor Badai diparkir. Disuruh naik, Aruna nggak bilang apa-apa sampai akhirnya dia dibawa pergi dari kediaman minimalis itu. Namun, di pertengahan jalan, Aruna meminta berhenti. Mau nggak mau Badai turuti, eh, Aruna langsung turun, menyerahkan helm. "Makasih," katanya, "Abang balik lagi aja." Dia pun pamit, "Aku duluan. Asalamualaikum." Pun, Aruna berjalan, berlalu dari hadapan Badai. Fix, Badai naik pitam. Dia menahan lengan Aruna, Badai sampai mengejar, dan dia membawa Aruna balik ke motornya. Jalanan cukup ramai, tetapi di trotoarnya tidak. "Gila, lo? Setelah apa yang lo lakuin, baru sekarang lo mau balik duluan?" "Emang apa yang udah aku lakuin?" Gemas, Badai ingin-- "Aku cuma ikut masuk. Salah sendiri nggak bilang dari awal kalo di sana ada cewek yang Abang suka." Badai kehilangan kata-katanya. Aruna pun lepaskan cekalan tangan itu. "Lagi pula, aku emang gak niat buat ngapa-ngapain, kok. Jangan khawatir. Abang cukup bilang, koling-koling aku dulu, misal mau punya pacar pun, silakan. Tapi bilang, ya? Biar aku bisa persiapan, minimal akting aku nggak jelek kayak tadi." Fix, Aruna pergi. Di situ ... Badai ... ah, nggak tahu! Dia naiki motornya. Terserah! Yang mana dia pun melaju cepat, tidak balik ke tempat tadi, tidak juga berhenti saat Aruna masih berjalan di sana, Badai melewati. Jujurly, Badai nggak ngerti. Sedangkan Aruna ... dia menghela napas. Apa hidupnya harus seperti ini? Demi apa? Alvi? Atau diri sendiri? Langkah Aruna pun berhenti, rasanya ... dia nggak sanggup melangkah lebih jauh lagi. Namun, sudah banyak bukit dan gunung berjurang curam yang telah Aruna lalui, masa dia menyerah sampai di sini? Aruna menatap langit. Banyak impian yang harus dia capai, dan jika kejahatan Badai adalah dengan membuatnya begini, impas kalau Aruna balas dengan menjadikan Badai, apa yang lelaki itu miliki--termasuk keluarga, untuk dia jadikan batu loncatan, kan? Jadi, apa kisahnya ini bernilai 1 sama?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN