"Udah? Gitu doang?"
Aruna mengangguk. Dia menyerahkan barang belanjaannya ke kasir, dibuntuti oleh Badai, sementara Alvi dituntun Aruna.
"Pulsanya, Kak, sekalian?"
"Nggak, Mbak." Ini Aruna.
"Rotinya, Kak? Lagi promo."
"Ah, nggak, Mbak. Terima kasih."
Di belakangnya, Badai memperhatikan. Ketika kasir menyebut biaya total pembelanjaan, lekas Badai keluarkan dompetnya di detik Aruna merogoh tas mencari uangnya.
"Gue aja yang bayar," tukas Badai. Uangnya pun sudah diambil oleh mbak kasir, Aruna hanya mengangguk.
Tak lama, mereka pun keluar dari minimarket. Alvi langsung minta es krim yang barusan dibeli oleh kakaknya. Dengan telaten Aruna menyerahkan, bahkan mengupas es krim itu.
"Makan yang rapi, ya?"
Di sebelah Aruna, Badai menghela napas. "Kalo gini, kita gak bisa langsung pulang. Ogah banget nanti pakaian gue celemotan es krim adek lo," decaknya pelan. Sebab perjalanan naik motor pasti Alvi duduk di tengah, gila saja bila sambil makan es krim.
Namun, Aruna mendengar. Untung Alvi belum paham, bocah itu sibuk makan es krim. Yang lalu Aruna ajak duduk di kursi depan minimarket. Well, usia Alvi dan Aruna cukup jauh. Saat ini Alvi baru mau masuk SD. Sekitar enam tahunan.
Ah, atau tidak? Atau aslinya, Alvi paham ucapan Badai, tetapi bocah itu tak mau ambil pusing dan memendam?
Jujur, Aruna agak berat hati bila Badai dan Alvi berada di tempat yang sama. Aruna khawatir Alvi mendengar dengan baik ucapan pedas Badai, lalu menjadi panah yang meluka di sana.
Aruna pun mengambil ponsel, dia mengetikkan sesuatu di sana, membuat notifikasi pesan masuk di ponsel Badai terdengar.
Karena curiga itu kiriman notifikasi dari Aruna, Badai pun mengeceknya. Dia duduk tepat di hadapan wanita berjilbab ini, sedang Alvi di sisi Aruna.
Badai baca.
[Bang, maaf. Untuk satu permintaan aku yang ini aja, tolong penuhi. Nggak muluk-muluk, kok. Aku cuma mau Abang nggak ngomong yang pedes-pedes kalau ada Alvi. Aku takut dia denger dan ngerti, aku nggak mau nantinya Alvi jadi gak suka sama Abang walau Abang nggak peduli soal itu. Maaf ....]
Seperti itu.
Badai pun memasukkan ponsel ke saku, menatap Aruna yang tersenyum penuh permohonan dari tatapan matanya. Entah kenapa seakan ampuh hingga membuatnya kesal pada kenyataan itu.
Sial. Jangan sampai Aruna menyetir hati dan perasaannya. Badai menatap tajam perempuan di depannya, sosok yang dia benci ... benci sekali, sejak saat ini. Setelah Aruna membuat kehidupan bebasnya terancam punah, bahkan sudah punah tanpa bisa dilestarikan lagi kebebasan itu, masa Aruna mau melewati batas teritori hati yang Badai bentengi tinggi-tinggi?
Nggak boleh!
Sudah cukup Aruna megacaukan kehidupan bebasnya, cukup sampai di situ saja.
"Udah, Kak," ucap Alvi. "Es krimnya enak. Nanti beli lagi, ya?"
Yeu! Bocah itu nyengir, rasanya-rasanya pengin Badai chidori--salah satu jurus Sasuke di TV.
Aruna mengangguk. "Lap dulu tangan sama mulutnya pake ini."
Dia beli tisu tadi. Ada beberapa keperluan Aruna juga di plastik itu, yang paling bisa Badai lihat sebab plastiknya menerawang adalah popok wanita. Aruna beli yang jingga.
"Yuk, Bang!" ajaknya.
Badai menghela napas. Ingin bilang, "Lo pikir gue Abang Ojol?!"
Namun, tak sampai keluar dari mulutnya. Ingat, ada Alvi! Badai mengunci rapat bibir hanya karena ultimatum Aruna di pesan tadi.
Tuh, kan!
Kacau ini.
***
Malamnya ....
"Adek lo harus banget tinggal sama lo?"
Baru selesai salat Isya, Aruna menoleh. Suaminya duduk di tepi ranjang. "Maksudnya ... kalo nggak sama aku, terus Alvi tinggal sama siapa?"
Badai diam. Tatapan Aruna tampak sendu. Perempuan itu bahkan menunduk, tampak rumit rautnya. Badai menggigit lidah, apa tadi dia salah ngomong, ya?
"Maksud gue ... lo, kan, nanti tinggal sama gue, nih. Berdua aja gitu, nggak usah ada orang ketiga, termasuk adek lo. Ya, Alvi bisa aja tinggal di sini sama orang tua gue. Gak usah khawatir, keluarga gue baik."
Oh, iya ... keluarga ini memang baik, hanya suami Aruna saja yang tidak.
Badai pun berdeham. "Gimana?"
"Aku tanya Alvi dulu."
"Lha, dia masih bocah. Langsung aja ambil keputusan."
"Nggak bisa gitu, Bang. Biar Alvi yang memilih dan memutuskan. Aku takut dia sedih ...," lirihnya.
Badai berdecak.
"Tapi nanti aku usahakan bujuk dia. Misal pisah sama aku pun, aku masih boleh sering-sering nemuin Alvi, kan?"
"Iyalah, gila. Lo pikir gue sejahat itu?" Badai memberi usulan ini pun karena takut khilaf, tak bisa menjamin omongannya akan terjaga di depan Alvi. Sebab kini, Badai masih sanksi bila dia dapat bersahabat dengan kenyataan diri yang telah beristri.
Jujurly, Badai masih kesal.
Aruna cuma senyum. "Makasih."
Kening Badai mengernyit. Buat apa pula makasih? Dia pun berdecak, melengos juga, hendak beranjak. Namun, Aruna bilang, "Abang nggak salat?"
Oh, hell ... apa itu salat?
Badai terdiam.
Langkahnya terjeda.
Aruna sedang membuka mukena, tetap saja rambutnya terbungkus apik oleh dalaman kerudung. Pelit amat! Cuma rambut saja nggak dikasih lihat.
"Lagi nggak," sahutnya.
Makin mengernyit. "Kenapa?"
Kalau cewek, kan, bisa menstruasi makanya nggak salat. Nah, tuh ... kalau cowok, apa namanya?
Badai dongkol ditanya-tanya perihal kehidupan religinya. Masalahnya ... Badai nggak hafal bacaan salat. Waktu dipaksa ibadah sama orang tua pun Badai cuma berdiri, ruku, sujud, dengan hati komat-kamit bilang, "Ya Allah, lupa. Tapi malu mau ngomong sama papa. Bacaan salat pas duduk di antara dua sujud itu apaan, njir? Praktik salat di sekolah udah berlalu, sejak saat itu gue ... bla, bla, bla."
Solimi banget, ya?
"Abang?"
"Berisik, Run! Lo kalo salat, ya, salat aja yang slay. Gak usah ajak-ajak gue."
"Astagfirullah."
Badai malah menyeringai. "Kenapa lo? Nyesel, kan, udah mau nikah sama gue? Ngeyel, sih. Sok-sokan insya Allah mau, halah! Sejak awal udah gue kasih tau, ya, gue ini emang astagfirullah buat lo yang ...." Masya Allah. Namun, tak dia sebutkan. Badai malah bilang, "Ah, udahlah."
Meninggalkan Aruna yang menatap kepergiannya, Aruna iringi dengan doa dalam hati. Semoga kelak suaminya diilhami, dikasih hidayah biar tobat. Aamiin.
"Aruna!"
Astagfirullah.
Baru juga keluar, Badai masuk lagi.
"Kenapa, Bang?"
Tampang Badai tampak berapi-api.
"Adek lo!" Telunjuk Badai mengarah pada wajah Aruna. Jujur, itu menyakiti. Namun, Aruna mencoba tepis rasa sakit itu. "Tanggung jawab, buku-buku kampus gue dia coret-coretin. Sebenernya dia pernah dididik buat nggak asal sentuh barang orang gak, sih?!"
Sungguh, tak apa dengan kata-kata itu. Namun, please ... "Aku ganti, Bang. Aku ganti. Tapi tolong, nggak harus sampai seret-seret Alvi gini, kan?" katanya, menghampiri Badai dan Alvi.
Ya, satu tangan Badai menunjuk Aruna, tangan lain menyeret Alvi di sana. Aruna tak bisa lagi menahan embun di mata.
"Badai!"
Oh, itu suara papa mertua.
Tak acuhkan itu, Aruna memilih memeluk adiknya. Alvi diam saja. Menunduk, paham situasi.
Lantas, bagaimana kondisi mereka setelah ini?