"Bagaimana kalau kamu menikahinya saja?"
Reza membeku. Kata-kata Arjuna seakan petir yang menyambar di siang bolong. "Apa?!" serunya tanpa sadar, suaranya meninggi. Dia bahkan berdiri saking kagetnya, kursi yang didudukinya tadi hampir jatuh ke belakang. "Apa Abang gila?" tanyanya dengan nada berani, sesuatu yang jarang ia lakukan kepada seniornya.
Arjuna hanya tersenyum kecil, seolah menikmati reaksi berlebihan Reza. "Aku masih waras, Reza. Duduk lagi, kamu hampir membangunkan seluruh penghuni rumah sakit," katanya sambil menunjuk kursi.
Reza melirik Shania yang terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Syukurlah, gadis itu tidak terganggu dengan suara gaduhnya. Dia menghela napas panjang sebelum kembali duduk, meski wajahnya masih menunjukkan keterkejutan luar biasa.
"Kalau Abang masih waras, Abang tidak mungkin menyuruhku menikahi Shania," kata Reza, kini dengan nada yang lebih rendah, meski tetap dipenuhi kekesalan.
"Apa salahnya?" tanya Arjuna santai, seolah apa yang baru saja ia usulkan adalah hal yang lumrah.
"Salah, Bang. Salah besar! Bagaimana mungkin aku menikahi perempuan yang sudah aku anggap adik sendiri?"
Kali ini, Arjuna tertawa kecil, senyumnya penuh makna. "Meskipun kamu menganggapnya adik, atau bahkan ibu sekalipun, kamu tetap tidak pantas keluar masuk tempat tinggalnya tanpa status yang jelas."
Reza terdiam, tak bisa langsung membantah. Apa yang dikatakan Arjuna memang benar. Dia sering keluar masuk apartemen Shania tanpa memikirkan pandangan orang lain, meski niatnya hanya menjaga. Tapi... menikahi Shania? Itu terasa di luar nalar.
"Jadi apa yang harus aku lakukan selain menikahinya?" tanyanya, mencoba mencari alternatif.
"Tidak ada," jawab Arjuna tegas, ekspresinya kini serius.
Reza menggeleng keras. "Tidak mungkin, Bang. Pasti ada cara lain. Aku pasti bisa menjaganya tanpa harus menikahinya."
Arjuna mengangkat alis, menantang. "Coba saja. Tapi aku yakin, Shania akan semakin marah padamu. Dia perempuan dewasa, bukan anak kecil. Kehadiranmu tanpa status hanya membuat semuanya semakin rumit."
Reza menunduk dalam. Kepalanya penuh dengan pikiran yang saling bertubrukan. Usulan Arjuna terdengar begitu tidak masuk akal, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa menyangkal logikanya.
"Bang, tolong jangan bicara seperti ini," ucap Reza, suaranya melemah. Ada permohonan dalam nada bicaranya. Dia ingin Arjuna memberinya solusi lain, sesuatu yang tidak melibatkan pernikahan.
Namun Arjuna tetap pada pendiriannya. "Reza, Shania tidak punya siapa-siapa lagi. Kamu ingin menjaganya, maka menikahi dia adalah pilihan terbaik. Jangan menunggu sampai semuanya terlambat."
Reza membuka mulut, ingin membantah lagi, tetapi kata-kata Arjuna berikutnya membuatnya terhenti.
"Atau... apa kamu sedang menunggu Diana?"
Hanya dengan menyebut nama Diana sudah cukup untuk membuat d**a Reza terasa sesak. Wajahnya yang penuh perlawanan tadi kini berubah muram. "Tidak, Bang," katanya pelan. "Penolakanku tidak ada hubungannya dengan dia."
Arjuna memiringkan kepala, memperhatikan perubahan ekspresi Reza. "Kalau bukan karena Diana, apa alasanmu? Apakah kamu takutkan?"
Reza mengangkat wajahnya, menatap Arjuna dengan sorot mata yang penuh konflik. "Bang, lihat... Aku sudah sangat tua untuknya. Ditambah tidak ada cinta antara kami. Apalagi aku hanya menganggapnya sebagai adik."
Arjuna mendengus kecil, lalu menghela napas panjang, seolah mencoba mencari kesabaran di tengah pembicaraan yang rumit ini. "Seingatku, kamu memiliki adik laki-laki, bukan?" tanyanya, matanya menyipit dengan rencana baru yang mulai terlintas di kepalanya.
Reza menatapnya curiga. "Ya, aku punya, Bang."
"Ya sudah," jawab Arjuna sambil mengangkat bahu dengan santai, "nikahkan saja Shania dengan adik laki-lakimu itu."
"Tidak!" Reza langsung menolak dengan nada keras, seolah ide itu lebih buruk daripada yang pertama.
Arjuna terkejut mendengar penolakan yang begitu tegas. "Kenapa lagi?" tanyanya, kini mulai frustasi.
Reza mengepalkan tangan di atas lututnya, pandangannya menunduk tajam ke lantai. "Meskipun Aran adikku, tapi Aran tidak pantas untuk Shania."
"Oh?" Arjuna mengangkat alis, menatap Reza dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Dan menurutmu, siapa yang pantas untuk Shania?"
Reza terdiam. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu siapa yang pantas untuk Shania. Bahkan dalam benaknya, nama siapa pun yang muncul terasa tidak tepat. Yang ia tahu hanyalah bahwa Faisal, almarhum rekannya, pasti setuju dengannya.
Arjuna memperhatikan keheningan Reza dengan pandangan tajam. "Diam saja begini tidak akan menyelesaikan apa-apa, Reza," katanya dengan nada sedikit lembut namun tetap serius. "Jika kamu tidak tahu siapa yang pantas untuknya, maka jawaban itu mungkin saja adalah kamu sendiri."
Reza menoleh cepat, menatap Arjuna dengan mata lebar. "Bang, jangan mulai lagi."
"Aku serius," potong Arjuna, nada suaranya tegas. "Kamu tahu bagaimana Faisal mengkhawatirkan Shania. Bahkan di saat-saat terakhirnya, dia menitipkan adiknya padamu. Kalau bukan kamu yang memastikan Shania memiliki masa depan yang layak, lalu siapa? Orang asing? Lelaki sembarangan yang mungkin hanya akan menyakitinya?"
Reza tidak mampu membalas. Kepalanya penuh dengan pikiran yang saling bertabrakan. Di satu sisi, ia tahu Arjuna benar. Shania tidak punya siapapun lagi di dunia ini, dan tanggung jawab itu secara tidak langsung jatuh ke tangannya. Tapi disisi lain, ia tidak bisa membayangkan menikahi seseorang yang ia anggap seperti adiknya sendiri.
"Bang, aku... aku tidak tahu harus bagaimana," ucap Reza akhirnya, suaranya melemah.
"Pikirkan dengan pelan-pelan, aku yakin kamu bisa membuat keputusan yang tepat." Setelah mengatakan itu, Arjuna memilih untuk pamit. Dia harus pulang karena anak dan istri sudah menunggu.
Reza menatap Shania. Apa yang harus dia lakukan? Kalau Reza berani menikahi Shania, maka pasti Faisal akan langsung memukulnya jika bisa bangkit dari kubur. Bukannya menjaga Shania, dia malah menikahi Shania. Kalau bukan kurang ajar, apalagi kata yang pantas untuknya?