Apa Kakak Bisa Mengembalikan Kakakku?
Reza menekan bel apartemen kecil itu. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan seorang perempuan muda dengan wajah lelah. Shania, adik Faisal, menatapnya dengan pandangan datar.
"Ada apa sampai datang ke sini lagi?" tanyanya, suaranya terdengar dingin.
Reza mengangkat kantong plastik yang dibawanya. "Aku membawakan makanan," jelasnya, mencoba terdengar ramah.
"Aku tidak lapar."
"Tapi kamu tetap harus makan," balas Reza tidak mau kalah.
"Aku tidak butuh. Jadi lebih baik kakak pulang saja."
Shania mulai menutup pintu, tapi Reza dengan sigap menyelipkan kakinya di celah pintu, menghentikannya. "Jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini," katanya dengan nada serius.
Shania menghela napas panjang, lalu tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik masuk ke dalam apartemen. Pintu dibiarkan terbuka, dan Reza mengikutinya dengan langkah berat.
Begitu memasuki apartemen itu, perasaan sunyi langsung menyergap Reza. Ruangan kecil itu terasa kosong, bahkan dengan kehadiran Shania. Tanpa Faisal, tempat ini seakan kehilangan nyawanya. Reza memandangi sekeliling. Sofa di sudut ruangan, meja kecil dengan tumpukan buku, dan dinding yang dihiasi beberapa foto keluarga. Semuanya terasa sama, namun berbeda. Kali ini apartemen terlihat tidak terurus sama sekali.
Kenangan tentang Faisal kembali menghantam Reza seperti gelombang. Rekannya itu bukan hanya mitra kerja, tapi juga saudara yang selalu ada di saat-saat sulit. Mereka pernah berbagi tawa, rasa takut, dan bahkan tangis dalam setiap misi. Sekarang, hanya bayangan dari semua itu yang tertinggal.
Reza menaruh kantong plastik di atas meja kecil di ruang tamu. "Aku tahu ini berat, Shania," katanya pelan, mencoba memecah keheningan.
Shania hanya duduk di sofa, memeluk lututnya tanpa menoleh. "Kak Faisal tidak akan kembali. Jadi kenapa Anda masih datang ke sini?"
Pertanyaan itu seperti pukulan bagi Reza. Ia terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya, rasa bersalah kembali menyelinap. Jika saja ia bisa mengubah takdir, jika saja ia yang berada di tempat Faisal saat itu, mungkin segalanya akan berbeda.
"Aku berhutang pada Faisal," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar serak. "Dan aku tidak akan membiarkan kamu menghadapi semuanya sendirian."
Shania akhirnya menoleh, menatapnya dengan mata yang tampak lelah tapi penuh emosi. "Lalu apa yang bisa kakak lakukan? kakak bahkan tidak bisa mengembalikan dia."
"Maaf, Shania. Aku bukan tuhan yang bisa mengembalikannya." Reza menunduk dalam . Rasa sunyi di apartemen itu bukan hanya dari ruangan yang kosong, tetapi juga dari hati mereka yang sama-sama terluka. Sudah satu minggu berlalu sejak jenazah Faisal dikebumikan, namun perasaan kehilangan itu masih segar seperti kemarin.
Shania yang bertubuh kecil seperti anak SMA menatap kosong ke arah luar jendela, seolah mencari sesuatu yang tidak ada.
"Apa kamu akan tinggal di sini?" tanya Reza, suaranya terdengar ragu.
Shania menoleh pelan, matanya yang sembab tampak lelah. "Hm," jawabnya singkat, lebih seperti gumaman.
Reza mengusap wajahnya. "Di sini tidak aman, Shania. Lebih baik kamu cari tempat yang lebih aman. Pekerjaan Faisal... dan aku tidak menjamin keamanan untuk orang-orang di sekitar kami."
Shania mengangkat bahu kecilnya. "Jika memang mereka mengincarku, maka aku akan menunggunya dengan senang hati."
Reza terdiam. Mana mungkin Shania bisa melawan pada pembunuh. Tampaknya Shania sudah menyerah pada hidupnya. "Faisal tidak ingin kamu hidup seperti ini," ujar Reza berusaha untuk membuat Shania memiliki sedikit saja semangat untuk hidup.
"Kalau dia tidak ingin aku hidup seperti ini, harusnya dia tidak meninggalkan aku sendiri!" Mata Shania tampak berkaca-kaca. Reza tidak bisa menutup mata. Orang yang paling terluka atas kepergian Faisal adalah adik satu-satunya yaitu Shania.
"Maafkan aku. Seharusnya dia tidak melindungiku." Reza menunduk dalam.
Shania menunduk, memeluk lututnya erat-erat. Suaranya bergetar ketika ia berkata, "Kalau begitu, kembalikan Kak Faisal."
Kata-kata itu seperti belati yang menancap dalam-dalam ke hati Reza. Ia terdiam, menatap gadis muda itu dengan perasaan yang campur aduk antara kesedihan, rasa bersalah, dan keputusasaan. Perasaan bersalah yang selama ini ia coba tahan kini menyeruak, menggempur pertahanannya. Reza mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih, berusaha menahan emosi yang hampir meluap.
"Maafkan aku, Shania," ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. "Aku bukan Tuhan. Aku tidak bisa melakukan itu."
Shania mendongak, matanya yang sembab memandang tajam ke arah Reza. Tatapan itu penuh dengan luka yang tidak bisa disembuhkan oleh kata-kata. "Kalau begitu," katanya dengan suara dingin dan menusuk, "bunuh aku saja. Biar aku bisa menyusulnya."
Reza tersentak. Napasnya tercekat, dan darahnya terasa membeku sejenak. Kata-kata Shania menghantamnya seperti pukulan keras yang membuatnya limbung. Ia menatap gadis itu dengan mata yang melebar, mencoba memastikan apakah yang baru saja ia dengar itu nyata.
"Shania!" serunya tegas, suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan. Ia melangkah maju, berdiri di depan gadis itu dengan ekspresi serius. "Jaga bicaramu!"
Shania mengalihkan pandangan, seolah tidak peduli dengan amarah Reza. Tapi Reza tahu, di balik sikap acuh itu, Shania sedang berperang dengan rasa sakit yang luar biasa.
"Dengar, aku tahu ini berat," lanjut Reza, suaranya melembut, meski masih tegas. "Aku tahu kamu merasa kehilangan segalanya, tapi jangan pernah berpikir untuk menyerah seperti itu. Kalau kamu mati sia-sia, apa kamu pikir Faisal akan bahagia?"
Shania tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai dengan ekspresi kosong. Kalau sampai Shania juga mati, mungkin Reza tidak akan sanggup untuk menghirup udara segar. Dia sudah berjanji kepada Faisal untuk menjaga adiknya itu. Jadi dia akan mempertaruhkan apapun asal Shania baik-baik saja, sekalipun nyawanya