Sembilan Belas

1375 Kata
Jarak Kota Jogja dengan pantai di Kabupaten Gunung Kidul cukup jauh. Hingga akhirnya Bara memilik memesan motel di dekat pantai untuk mereka singgahi malam ini. Toh, Nasya juga sedari tadi belum mau diajak pulang. Wajar saja, selama ini Nasya jarang berwisata, apalagi sampai ke luar kota. Bukannya liburan, di saat senggang ia malah dibuat stress oleh keluarganya yang selalu mengatur jadwal kencan buta untuk Nasya. Kini, sepasang kekasih itu tengah menikmati indahnya pemandangan sore pantai sembari menikmati kelapa muda dan beberapa camilan ringan. "Nanti jadi tidur di motel atau pulang?" tanya Nasya memecah keheningan. Pasalnya hampir sepuluh menit ia dan Bara saling terdiam. Seolah fokus pada suara hembusan angin dan ombak pantai. "Menginap di motel. Aku sudah booking secara online," jawab Bara. Nasya mengangguk paham. Ia pun kembali memasukkan jajanan ke dalam mulutnya. "Di pantai nih.. biasanya kalau orang-orang pacaran pada diajakin dinner romantis di pantai. Aku jadi pengen," gumam Nasya disisipi kode keras untuk Bara. Bara melirik sekilas, kemudian ia kembali fokus pada handphonenya seakan-akan ia tak mendengar ucapan Nasya. Nasya pun berdecak cukup keras hingga Bara menoleh, kemudian kembali mengabaikannya. "Segitu banyaknya pekerjaan kamu, ya? Sampai pas kita liburan aja masih mainan HP terus," tegur Nasya. "Nggak juga," balas Bara santai. Namun matanya masih tertuju pada benda pipih di hadapannya. Nasya memutar bola matanya malas. Ia pun kembali mengalihkan perhatiannya pada pemandangan di pantai yang jarang bisa ia nikmati. Sesekali Nasya juga mengambil gambar pemandangan di hadapannya dengan kamera handphonenya. "Aku mau jalan-jalan sebentar, ya?" Nasya meminta izin pada Bara. Bara menoleh pada Nasya yang kini sudah dalam posisi berdiri. "Kemana?" tanyanya. "Ya asal jalan aja. Cari tempat yang bagus. Habis bosam di sini terus cuma kamu cuekin," keluh Nasya. Bara ikut berdiri lalu menyimpan handphonenya di dalam saku celana. "Kita ganti ke motel dulu aja! Baju kamu basah," Bara. Nasya menghentakkan kakinya kesal. Ia masih ingin di pantai. Karena entah kapan lagi ia bisa menikmati keindahan alam satu itu. "Satu jam lagi. Pokoknya aku masih mau keliling-keliling," pinta Nasya. "Sya, nanti kamu masuk angin. Baju kamu basah, dan di sini anginnya kencang banget," terang Bara dengan nada khawatir. "Tapi aku beneran masih pengen keliling. Sebentar aja, tiga puluh menit juga tidak apa-apa," desak Nasya. Bara menghela napas panjang. Gadis di hadapannya itu benar-benar keras kepala. Dia adalah satu-satunya orang yang paling sulit ia atur. Bara melepas kemejanya, menyisakan sebuah kaus berwarna putih polos ditubuhnya. Lalu ia menyampirkan kemeja itu untuk membungkus tubuh Nasya. Nasya sedikit terpenjat. Ia hendak menolak, tapi Bara memakaikannya dengan sedikit paksaan. Membuatnya bungkam dan pasrah dengan apa yang laki-laki itu lakukan kini. "Walaupun sama-sama basah, setidaknya bisa sedikit menghalau angin," terang Bara setelah ia menyelimuti Nasya dengan kemejanya. Bara meraih tangan Nasya kemudian menggandengnya. "Ma-mau ke mana?" tanya Nasya. "Mau keliling, kan? Ayo!" ajak Bara. Mendengar ajakan itu, Nasya pun tersenyum cerah kemudian membalas genggaman tangan kekasihnya. Keduanya pun kembali berjalan-jalan di tepi pantai. Membiarkan tubuh mereka terkena hembusan angin pantai, dan ombak laut mengenai kaki mereka. Setelah sekitar dua puluh menit, dengan sedikit paksaan akhirnya Bara berhasil membawa Nasya ke mobil untuk selanjutnya ia ajak ke motel tempat mereka akan menginap malam ini. "Serius ini motelnya?" tanya Nasya heran ketika mereka memasuki pelataran sebuah motel. "Kenapa? Nggak suka?" tanya Bara balik. Nasya menggeleng cepat. Ia menoleh ke arah Bara kemudian menjawab, "enggak. Aku mah bisa di mana aja. Cuma kayak bukan tipe kamu aja," Bara terkekeh sebentar, kemudian mendahului Nasya turun dari mobil. Nasya berusaha mengejar langkah Bara yang cukup lebar, dan tampaknya laki-laki itu memang tidak sadar kalau kaki Nasya tidak sepanjang miliknya. "Bisa pelan dikit nggak, sih? Kayak kuda delman dikejar setoran aja," kesal Nasya. Bara tertawa mendengar candaan kekasihnya itu. Seperti yang Nasya minta, ia pun sedikit memelankan langkahnya. Satu tangannya masih menjinjing tas berisi pakaian ganti untuk dirinya dan Nasya. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis ramah. "Saya sudah reservasi. Atas nama Bara," balas Bara cepat. Resepsionis itu pun segera mengecek catatannya. Tak lama berselang, ia memberikan sebuah kunci pada Bara. "Satu?" pekik Nasya kaget. Jadi malam ini mereka akan tidur satu kamar lagi? "Menginap di motel tidak masuk rencana. Jadi aku harus meminimalisir biayanya," Bara beralibi. Nasya berdecak. Tentu saja ia tahu kalau Bara sengaja melakukannya, dan itu bukan karena uang. "Kenapa? Tidak percaya?" tantang Bara sambil melanjutkan langkahnya menuju tangga. Nasya menghela napas panjang. Mau tidak mau ia pun harus menurut. Memang ia punya uang untuk reservasi kamar lain? Ya nggak lah. Hidup aja numpang sama Bara. "Uang kamu kan banyak. Kalau buat pesan satu lagi pasti nggak akan terasa lah. Mana ini di motel sederhana gini, pasti nggak terlalu mahal," ungkap Nasya. Bara melirik Nasya yang ada di belakangnya, "namanya juga pengusaha. Realita itu harus sesuai dengan perencanaan. Aku sengaja pilih motel ini juga untuk menekan pengeluaran," Bara masih saja terus berkilah. Akhirnya, sampailah mereka di kamar motel. Bara mempersilakan Nasya untuk mendi terlebih dahulu. Awalnya Nasya menolak, tapi Bara mengancam akan memandikan Nasya kalau Nasya masih terus keras kepala dan tidak juga masuk ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, Nasya keluar dari kamar mandi. Ia sudah menggunakan pakaian ganti yang sengaja ia siapkan untuk perjalanan pulang. "Setelah aku pikir, pakaian ganti kita kurang nyaman jika untuk istirahat," ucap Bara. Nasya mengangguk setuju. Toh memang pakaian yang mereka bawa itu rencananya untuk dipakai saat perjalanan pulang, bukan untuk tidur. "Aku sudah pesan baju ganti untuk kita. Nanti kalau sudah datang, kamu terima ya!" suruh Bara. Nasya melongo, "loh itu kan nggak ada diperencanaan," sindir Nasya. "Tidak masalah selagi membuatku nyaman," balas Bara cuek. "La-lalu soal kamar? Bukannya kita bisa sama-sama lebih nyaman kalau-" ucapan Nasya dengan enaknya Bara potong. "Aku nyaman-nyaman saja tidur satu ruangan dengan kamu. Toh udah sering, jadi biasa saja," Nasya kembali melongo. Bara pun enggan memperpanjang urusannya dengan Nasya. Ia bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. "Memang cowok satu itu otaknya nggak bisa diprediksi. Entah saking jeniusnya dia dan gobloknya aku atau memang cara pikiran dia yang di luar nalar manusia biasa," gumam Nasya menahan kesal. Tak berselang lama, pintu kamarnya diketuk dari luar. "Selamat sore, saya mau mengantar pesanan atas nama Bapak Bara," ujar orang itu. Nasya mengangguk kemudian menerima paper bag yang diserahkan orang yang sepertinya merupakan salah satu pegawai motel tempatnya menginap itu. "Ini sudah dibayar, kan? Saya nggak pegang uang soalnya. Kalau belum, Mbak masuk aja nungguin orang berduitnya kelar mandi!" ucap Nasya seenaknya. Pegawai itu tersenyum mendengar ucapan Nasya. Tampaknya, ia juga sedikit menahan tawa. "Sudah kok, Bu," jawabnya. "Eh... 'Bu'? Saya masih lajang, belum ada buntutnya. Jangan panggil 'Bu' dong!!" kesal Nasya. Pegawai itu kembali tersenyum. Kali ini sambil menunduk sopan. "Jangan nunduk-nunduk gitu! Saya merasa seperti orang tua. Saya masih dua puluhan, kok," ujar Nasya. "Iya, saya minta maaf B- maksud saya, Mbak. Kalau begitu saya permisi," pamit pegawai itu. Nasya mengangguk. "Oh iya, untuk makan malam, Anda mau kami pesankan juga atau-" "Tidak usah," sahut Bara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Refleks, Nasya pun menoleh. Dan tanpa aba-aba ia langsung menutup kasar pintu kamarnya. Menyelamatkan mata pegawai motel itu dari apa yang seharusnya tak ia lihat. Bara tersenyum miring melihat kelakuan Nasya, juga rona merah di pipi gadisnya itu. "Bara!! Kenapa nggak pakai baju??" pekik Nasya yang langsung menutup matanya dengan kedua tangannya. Jadi pemirsah, Bara hanya keluar dengan handuk putih yang bahkan tidak terlalu lebar yang ia sampirkan di perutnya. Pasca insiden teriakan Nasya yang memekakkan telinga itu, Bara pun berjalan santai ke arah Nasya. Nasya yang masih menutup rapat-rapat matanya pun tak sadar jika saat ini Bara sudah berada tepat di hadapannya. "Sini bajunya," bisik Bara di telinga Nasya. Nasya bergedik ngeri kemudian beringsut mundur hingga punggungnya membentur pintu, dan mulutnya memekik kecil. Ia merasakan paper bag di tangannya diambil oleh Bara. Dan setelah beberapa saat, barulah ia berani membuka mata. "Huffft...." Nasya menghembuskan napas lega setelah tak mendapati Bara di kamar. Ia pun memilih memainkan handphonenya sembari menunggu Bara berganti pakaian di kamar mandi. Bersambung ... Mohon maaf, ada yang protes karena di tampilan dia spasi dan enternya hilang. Pas aku cek, ternyata benar. Jadi aku hapus dan repost. Karena pas aku copas ulang gak bisa, harus diulang untuk beberapa chapter. Tapi tenang, yang versi perbaikan ini akan aku post sehari 3 chapter kok sampai chapter 28 nanti :"(
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN