Lagi, teriakan Dimas berhasil membuat mereka semua terlonjak dan bungkam. Dimas benar-benar merasa amarahnya sudah ada di puncak kesabaran. Sebelumnya, ia selalu berpikir bahwa kesabaran itu tidak ada batasnya namun siapa sangka hari ini, ia merasa bahwa semua stock sabarnya telah habis karena ulah adik dan mamanya.
Nita sudah tidak sanggup lagi menahan bulir kristal yang menumpuk di pelupuk mata indahnya. Tidak menyangka, jika suaminya akan menjadi pembela dan garda terdepan jika ada orang-orang yang menyakiti hati dan jiwanya. Namun, ia semakin merasa tidak enak dan tidak nyaman untuk tinggal dirumah, sebab kedua wanita beda generasi itu sudah pasti akan semakin membenci dirinya.
"Dimas, mau berapa kali kamu bersikap kasar seperti ini!" bentak Hilda tidak kalah lantang. "Kamu dengan tega kasar pada mama dan Lena demi membela dia? Kamu itu kenapa, sih?"
"Mama tanya aku kenapa? Aku seperti ini karena kalian!" bentaknya. "Aku tidak pernah tahu, apa sebenarnya salah Nita dan apa penyebab kalian tidak menyukainya. Aku pikir, semua ini hanya karena waktu yang terlalu singkat untuk kalian saling mengenal satu sama lainnya. Tapi ternyata, aku salah."
"Semua ini bukan karena waktu, tetapi dari awal kalian memang tidak pernah bisa menyukai, menyayangi dan menerima Nita di keluarga ini. Entahlah apa sebabnya, aku tidak tahu."
"Ya itu semua karena wanita ini datang ke kehidupan kamu, Mas!" sentak Lena kembali angkat suara. "Wanita ini, dengan lancang masuk ke dalam kehidupan kita semua. Mengambil kamu dari kami, mengambil semua apa yang dimiliki olehmu dari kami, mengambil semuanya yang ada pada dirimu."
"Setiap kali kalian tertawa bersama, tawanya seakan mengejek kami dan menunjukkan bahwa dirinya yang paling berharga dan istimewa disini juga dimatamu. Kamu sungguh sangat berubah, Mas. Kamu selalu mengutamakan dan mementingkan, bahkan lebih mendahulukan dia daripada, Mama," ungkap Lena dengan mata berkaca-kaca.
"Dia mengambil semuanya, Mas. Kasih sayang, cinta, kepedulian, perhatian kamu pada kami berubah semuanya dan hanya untuk dia! Untuk dia, Mas!"
"Lena, kamu sadar tidak bicara seperti itu, hah?"
"Aku bahkan sangat sadar bicara seperti ini, Mas. Sebab, memang dia adalah faktor utama kamu berubah, Mas."
Dimas terkekeh sambil menggelengkan kepalanya saja mendengar semua keluh kesah adiknya. Tidak menyangka, adiknya bisa bicara seperti itu, padahal jelas-jelas dia juga seorang wanita dan akan menjadi istri sekaligus menantu orang lain.
"Kenapa kamu tertawa, Mas? Apakah ada yang lucu dengan semua perkataanku? Bahkan, kamu sekarang sudah tidak bisa menghargai pendapatku, bukan?"
"Kamu itu lucu, Lena," kekehnya lagi semakin membuat Lena berang namun juga bingung.
"Kamu itu, seorang wanita. Kelak akan menjadi istri sekaligus menantu juga di keluarga orang lain. Tetapi, kok bisa kamu bicara seperti itu."
"Coba, jika keadaan ini terjadi padamu di masa yang akan datang. Apa yang akan kamu lakukan? Heum? Sama-sama dibenci oleh mertua dan juga adik iparmu, lalu disalahkan atas kesalahan yang sebenarnya tidak pernah diperbuat olehmu. Bagaimana?"
"Kok, Mas sekarang malah seperti berharap aku mengalami hal yang sama seperti dia," ketus Lena.
"Bukan berharap kamu mengalami hal yang sama. Tapi, seharusnya sebelum bertindak dan melakukan sesuatu itu pikirkan lebih dulu baik dan buruknya. Kalau semua ini menimpa dirimu, belum tentu kamu sekuat Nita yang masih tetap bertahan dengan suami yang pengangguran dan tidak punya penghasilan seperti ini."
"Aku bisa bangkit seperti ini, memiliki penghasilan dan usaha yang luar biasa juga berkat Nita. Ia yang mendukung aku saat jatuh dan enggan untuk bangkit. Adakah diantara kalian yang mendukung? Tidak. Kalian hanya tahu uang dan minta uang saja."
"Nita yang selama ini selalu mendoakan aku dan mendukung. Bahkan, ia rela mengeluarkan semua isi tabungannya untuk usaha ini. Usaha yang kalian juga rasakan kenikmatannya, tapi kok ya tidak ada bersyukurnya. Kalian malah memusuhi Nita seakan-akan ia adalah saingan paling berat."
"Kamu sejak tadi terus saja membela wanita itu, Dimas–"
"Nita memang pantas dibela, Ma. Nita memang pantas dibanggakan dan aku merasa sangat beruntung memilikinya. Dia lebih bisa menghargai aku daripada kalian," tegas Dimas menatap mama dan adiknya secara bergantian.
"Nita tidak salah apa-apa, Ma. Nita datang ke keluarga ini karena aku yang meminta, aku yang menginginkannya menjadi istri dan hidup bersama. Tapi, kenapa mama terus saja menyakiti hatinya? Kenapa? Apa salah, Nita?"
"Mama tidak pernah bisa melihat ketulusan dari Nita karena sejak awal hanya berpura-pura menerima tanpa ada ketulusan."
"Semua yang ada di dalam diri kalian itu kepalsuan. Kalian hanya menunjukkan hal baik apabila ada sesuatu yang diinginkan, tetapi jika Nita tidak bisa memberikannya maka kalian akan berubah menjadi serigala yang mengerikan."
"Cukup, Dimas! Sudah cukup!" bentak Hilda tidak tahan mendengar semua ucapan Dimas yang menyudutkannya namun membela menantunya.
"Kamu sungguh sudah sangat keterlaluan sekali. Kamu berubah dan seperti bukan Dimas yang kami kenal," lanjut Mama.
"Aku memang sudah berubah. Aku berubah menjadi seorang suami yang harus menjamin ketenangan hati dan pikiran istri agar tidak terus sakit hati karena kalian."
"Mas Dimas keterlaluan!" bentak Lena berlalu pergi sambil menarik kasar tangan Hilda.
Keduanya merasa sakit hati dengan semua ucapan yang dilontarkan oleh Dimas. Tetapi, tidak pernah terpikirkan oleh keduanya bahwa Nita pun seringkali sakit hati karena ulah mereka berdua.
Dimas menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol mama dan adiknya itu, bisa-bisanya mereka memusuhi wanita yang dipilih olehnya dan sudah sangat baik untuknya. Dimas sendiri merasa sangat beruntung memiliki Nita yang tidak banyak menuntut, tetapi mereka justru merasa Nita adalah saingan yang paling berat.
Dimas menghela nafas panjang lalu mengalihkan pandangannya pada Nita yang sejak tadi berada di belakangnya, menonton semua pertikaian yang terjadi barusan. Dimas menatap sendu istrinya yang sudah berderai air mata, ada luka dari sorot mata indahnya itu.
Dimas melangkah mendekati Nita yang masih terus menatapnya dengan bulir kristal yang membasahi pipinya. Dimas langsung merentangkan kedua tangannya, seraya meminta Nita untuk masuk ke dalam dekapannya.
Nita paham akan kode tersebut dan langsung berhambur ke pelukan Dimas. Ia menangis dalam diam dan Dimas mengetahui akan hal itu. Bahunya masih bergetar hebat, menandakan bahwa tangisnya belum usai.
Dimas tetap diam tanpa kata, memberikan ruang dan waktu untuk Nita agar bisa melampiaskan semua rasa sakit dan lukanya itu melalui tangisan. Ia paham betul, istrinya akan kembali tenang dan lega ketika sudah melampiaskan semuanya dalam tangis.
"Kamu ingin menangis?" tanyanya lembut namun tak ada jawaban dari istrinya.
"Menangislah, Sayang. Menangis jika dengan menangis dapat membuat hatimu tenang. Jangan ditahan, karena aku tahu rasanya akan sakit," lanjut Dimas membuat bahu Nita semakin bergetar.
Dimas paham, bahwa istrinya mungkin malu jika harus menangis di ruangan yang menjadi ruang kerja. Tanpa banyak bicara, Dimas langsung menggendong tubuh mungil istrinya itu dan masuk ke dalam kamar. Merebahkannya pelan-pelan di atas ranjang dan seketika tangis Nita pun pecah.
Dimas kembali merengkuh tubuh ringkih istrinya itu, mengusap lembut kepalanya dan beberapa kali memberikan kecupan penuh cinta di puncak kepala Nita. Dimas masih memberikan ruang agar Nita benar-benar melepaskan semua tangisnya.
"Lepaskan semuanya, Sayang," perintah Dimas semakin membuat Nita tergugu dan tangisnya benar-benar terdengar memilukan.
Dimas memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Tangis Nita terdengar sangat menyesakkan d**a, Dimas seakan-akan bisa merasakan sakit dan derita yang selama ini kurang lebih satu tahun setengah Nita rasakan tinggal di rumah yang bagaikan neraka.
Hatinya bergetar dan lidahnya mendadak kelu, Dimas seakan tidak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pada Nita yang sedang tergugu di dalam pelukannya. Ingin rasanya, mengatakan untuk sabar dan tenang menghadapi semua ini, tapi Dimas yakin selama ini Nita sudah cukup sangat bersabar dan tenang dalam menghadapi perangai Mama dan adiknya sehingga merasa bahwa kata sabar tidak bisa lagi diucapkan dengan kata-kata.
"Sayang, maaf karena aku membawamu masuk ke dalam keluarga yang ternyata sama sekali tidak bisa menghargai dirimu. Maafkan suamimu ini yang masih belum bisa menjaga dan membahagiakanmu, Nita."
Dimas berusaha untuk menghibur istrinya dengan harapan tangisnya itu perlahan berhenti, ini justru sebaliknya. Nita semakin tergugu dan menangis histeris mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Dimas. Dimas sendiri jadi merasa bingung dengan keadaan ini, jadi hanya mampu menggelengkan kepalanya samar sambil menghela nafas.
Untung sayang, kalau gak udah aku lepas nih, terus jatuh deh, eh canda sayang, batinnya.