Layak Ditampar

1283 Kata
Hari ini adalah hari pertama pasangan suami istri itu memulai usaha baru yaitu berjualan pakaian. Keduanya sudah mempelajari banyak hal dari beberapa teman yang ditemui. Ya, untuk merubah sebuah nasib memang harus ada usaha yang luar biasa bukan? Seperti apa yang saat ini mereka lakukan. Beruntung, Nita selama ini bekerja menggunakan laptop jadi ia bisa ikut mengajari suaminya yang ternyata cukup gaptek terhadap teknologi yang satu itu. Maklum, selama ini suaminya bekerja mengandalkan otot bukan otak, jadi ya wajar saja jika tidak terlalu memahami menggunakan laptop. Mereka bekerja sama saling bahu membahu, demi mewujudkan semua mimpi yang dicita-citakan. Nita juga tidak segan-segan mengeluarkan isi tabungannya untuk usaha bersama. Walaupun, awalnya Dimas enggan untuk memulai usaha karena menggunakan tabungan Nita namun dengan rayuan lembut akhirnya mau juga mengikuti saran istrinya itu. Ya, semua ini semata-mata dilakukan demi kehidupan yang lebih baik agar tidak lagi dianggap sebelah mata oleh siapapun itu termasuk keluarga sendiri. Nita merasa yakin sekali, jika dirinya dan suami kembali memiliki banyak uang, mertua dan iparnya itu pasti akan berubah menjadi baik. Bedanya adalah dulu memakai tabungan Nita untuk mengikuti semua keinginan Hilda dan Lena namun kali ini menggunakan hasil dari jualan pakaian di toko online. Satu Minggu sudah mereka berjualan secara online, Alhamdulillah usahanya perlahan mulai naik dan banyak sekali pembeli yang merasa puas dengan pakaian yang mereka jual. Pemasukan jug setiap harinya lumayan banyak, bahkan mereka sudah mulai mengirim hampir tiga puluh paket dalam sehari. Sungguh, ini adalah perkembangan yang sangat pesat sekali. Dimas sendiri merasa tidak percaya jika usahanya akan membuahkan hasil yang luar biasa. Mereka tidak mengambil untung banyak, yang penting pakaian tersebut membuat banyak pembeli semakin penasaran dan kembali membeli dengan jumlah banyak. "Alhamdulillah, paket kita semakin hari semakin banyak ya, Mas," ucap syukur Nita saat mereka baru saja menyelesaikan packing yang akan segera dijemput oleh kurir. "Alhamdulillah, Sayang. Ini semua berkat kerja keras kita berdua, berkat doa kamu juga." "Doa bersama, Mas. Bukan hanya doaku, tapi doamu juga yang menembus langit ketujuh dan langsung didengar oleh Gusti Allah." "Tapi, aku lebih yakin ini doamu yang paling banyak, Sayang. Sebab, doa istri adalah doa yang paling mujarab dari doa siapapun," jelas Dimas merasa bangga pada istrinya. "Terlebih lagi, kamu sekarang sudah mulai rajin puasa lagi, benar-benar mempermudah jalan kita mencari rezeki. Allah, membuka semua pintu rezeki dari segala arah." "Alhamdulillah, Mas. Kita senang dipercaya dalam mencari rezeki oleh Gusti Allah. Semoga, kita juga segera dipercaya untuk diamanahkan momongan ya." "Aamiin." "Halah, mana ada doa dari istri itu manjur. Ada juga doa Mama yang manjur, Dimas. Kamu jangan jadi anak yang durhaka ya karena tidak menganggap doa dari, Mama," sambar Mama merasa tidak terima dengan pujian Dimas pada istrinya itu. "Puasa juga tidak mungkin bisa membuka pintu rezeki untuk kamu kalau tidak ada doa dari, Mama!" sentaknya lagi. Nita melihat mertuanya yang tiba-tiba bicara seperti itu hanya bisa menahan rasa sesak di dalam dadanya. Ia berusaha untuk tidak marah atau terpancing dengan sindiran Hilda. Sebab, jika dibalas maka akan sama saja seperti wanita itu perangainya. Nita menghela nafas berkali-kali dan itu cukup terdengar oleh Dimas yang jaraknya sangat dekat. "Lagian ya, Allah tidak akan mendengar doa dari menantu yang tidak baik pada mertuanya. Zalim, tidak memberikan apa yang diinginkan oleh mertua dan masih banyak lagi," sindir Mama Hilda semakin membuat d**a Nita terasa sesak. Matanya sudah berembun, namun ia berusaha semaksimal mungkin tetap menahan diri agar bulir kristal itu tidak lolos dari mata indahnya. Dimas yang melihat, ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh istrinya. Ia langsung menatap tajam Hilda yang seakan tidak merasa bersalah. "Harusnya, kalau jadi menantu itu–" "Mama, cukup!" teriak Dimas lantang membuat kedua wanita beda generasi itu terlonjak kaget. "Sudah cukup menghina istriku! Jangan lagi menghinanya, sudah! Aku mohon, jaga mulut mama agar tidak selalu menyakiti hati siapapun termasuk, Nita." "Dimas, kamu berani membentak demi wanita itu, hah." "Ma, Nita itu istriku. Sudah seharusnya aku membela, Nita bukan orang lain karena sudah menjadi bagian dari hidupku. Jadi, jika Mama menganggap aku anak maka sudah sepatutnya mama juga menganggap Nita anak dan bersikap baik padanya, jangan terus membuatnya sakit hati, kecewa dan terluka atas semua kata-kata mama yang tidak pantas itu." "Hei, wanita itu baru hadir dalam hidup kamu. Tapi, Mama yang sudah mengandung, melahirkan dan merawatmu sampai dewasa lalu sekarang ini balasanmu? Lebih membela dan mengagungkan namanya dibandingkan, Mama? Iya?" "Mama ini seorang ibu dan wanita, tapi kok bisa ya sesama wanita bicara seperti itu. Jika dulu, mama tidak pernah diperlakukan baik oleh nenek, jangan pernah membalasnya pada Nita." "Dimas, jangan lancang kamu!" teriak Mama tidak tertahankan. Hilda benar-benar merasa tidak terima dengan semua kata-kata Dimas yang seakan menyudutkan dirinya itu. Walaupun, apa yang dikatakannya memang benar. Sejak dulu, tidak pernah diperlakukan dengan baik oleh mertua maka menganggap menantunya itu juga harus diperlakukan sama seperti apa yang dirasakan olehnya dulu. "Tega sekali kamu memperlakukan mama seperti ini, Dimas. Kamu bisa-bisanya bersikap seperti anak yang tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih seperti ini. Sungguh, Mama sangat kecewa padamu." "Aku lebih kecewa pada mama," jawab Dimas tegas. Nita merasa tidak enak hati, melihat keributan antara mertua dan suaminya. Apalagi, pemicu keributan itu adalah dirinya. Tidak pernah sedikitpun menyangka bahwa Hilda seakan menganggap dirinya itu adalah saingan yang tidak boleh menang dalam mendapatkan hati anaknya. Padahal, Nita adalah istrinya. Sudah seharusnya memiliki hak untuk dianggap oleh Dimas. Seharusnya, Hilda tidak menganggapnya saingan, tetapi merangkul dan sama-sama mendoakan hal yang baik untuk Dimas tetapi semuanya tidak sesuai dengan apa yang ada di pikiran Nita. "Mas, sudah. Jangan dilanjutkan," lirih Nita menatap suaminya sendu. Ia benar-benar tidak ingin ada keributan seperti ini, hatinya sakit melihat kedua orang yang disayangi berdebat seperti ini. "Jangan sok baik kamu, Nita!" sentak Hilda menatap tajam menantunya. "Dimas berubah seperti ini juga pasti gara-gara kamu! Kamu yang sudah membuatnya menjadi anak durhaka sehingga melawan padaku, ya 'kan?" "Ti-tidak, Ma. Nita sama sekali tidak pernah berpikir untuk melakukan semua itu. Maaf, jika perdebatan ini terjadi karena Nita." "Halah, sok suci!" sahut Lena. "Kamu itu emang dasarnya benalu. Semenjak datang di kehidupan Mas Dimas, kamu merubah semuanya. Kamu merubah Mas Dimas menjadi kasar dan suka membentak pada kami." "Lena, diam kamu! Jangan lancang!" tunjuk Dimas murka. Melihat sikap Mama dan adiknya benar-benar membuat Dimas sangat kecewa. Bagaimana bisa, selama ini ia tidak sadar bahwa istrinya pasti sangat tertekan hidup bersama dengan keluarganya. Tapi, karena ketidakmampuannya mengambil rumah KPR membuat mereka harus tetap bertahan walaupun sakit dan terluka. "Lihat, bahkan Mas Dimas berani membentak ku seperti ini," lirih Lena yang memang sengaja memancing emosi. "Karena mulutmu sungguh lancang, Lena! Kamu itu perempuan, tapi kok bisa bicara seperti itu. Ingat, kamu nantinya akan jadi menantu orang lain dan bagaimana kalau nanti kamu diperlakukan seperti ini oleh mertuaku? Hah?" "Itu tidak akan pernah terjadi, Mas. Karena aku akan menjadi seorang ratu di tangan lelaki yang tepat." "Oh, jadi maksudnya kamu, Mas ini bukan lelaki yang tepat untuk Nita, begitu?" "Ya, bukan begitu tetapi wanita s****l itu yang tidak pantas denganmu, Mas," jawab Lena sinis. Plakkk. Dimas melayangkan tamparan keras tepat di pipi mulus Lena, tindakannya itu berhasil membuat mereka semua terkejut dan membola. Tidak menyangka jika Dimas akan melakukan hal tersebut. "Dimas!" pekik Hilda. "Tega sekali kamu menyakiti Lena seperti ini." "Harus, aku harus melakukannya agar anak kesayangan mama itu tidak lancang. Punya mulut tapi bicara seenaknya saja, sekolah tapi seperti tidak sekolah. Memalukan," hardik Dimas penuh emosi. "Mas, sudah cukup. Aku mohon," ucap Nita dengan suara bergetar. "Dasar perempuan murahan! Ini semua gara-gara kamu!" Plakkk. Dimas kembali melayangkan tamparan pada adik perempuannya itu, ia sungguh merasa tidak terima dengan kata-kata Lena. Seenaknya saja dia menghina Nita seperti itu. "Kamu memang lancang, Lena. Seharusnya, aku tidak cuman menampar tapi juga merobek mulutmu!" teriak Dimas tidak tertahankan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN