Setelah pertengkaran yang terjadi kemarin lusa, suasana di rumah mendadak berbeda. Jika sebelumnya masih ada sedikit canda dan tawa walau semuanya palsu, namun kali ini semuanya terasa dingin dan menegangkan. Dirumah, seperti ada dua kubu yang berbeda, perang dingin pun terjadi dan tidak dapat dielakkan.
Sebenarnya, Nita merasa tidak bisa jika seperti ini tetapi ini semua keinginan dari suaminya. Sekarang, mereka benar-benar hidup hanya berdua tanpa memperdulikan tentang Mama dan adiknya. Bagi Dimas, sesekali memberikan sebuah efek jera pada kedua wanita beda generasi itu agar lebih bisa menghargai dan tidak seenaknya lagi.
Sudah dua hari ini, masih berjalan baik-baik saja. Semua terlihat seakan tidak ada masalah namun saling cuek satu sama lainnya. Nita dan Dimas juga sudah mulai memisahkan diri dari segi kebutuhan, baik itu kebutuhan pangan maupun sandang.
Keduanya mengeluarkan semua hadiah pernikahan berupa piring, gelas dan beberapa perabotan rumah tangga lainnya. Dimas juga mengajak Nita untuk membeli kompor agar leluasa menggunakan milik sendiri dan tidak lagi disindir nantinya.
Beruntung, kamar mereka cukup luas karena memang sudah didesain seperti itu sejak dulu. Kamar yang dihuni oleh keduanya itu seperti dua kamar jadi satu dan ya terlihat luas sehingga bisa memasak dan menyimpan barang apapun di dalam kamar. Mereka menganggap bahwa semua ini seperti berada di kos-kosan.
Alhamdulillah, usaha semakin maju membuat keduanya bisa membeli apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan rumah tangga. Jadi, tidak akan ada lagi yang namanya campur tangan Hilda.
Nita bersyukur sekali untuk hal yang satu itu, Dimas sangat mengerti dirinya. Memang selama ini, Nita merasa bahwa semua hidupnya sudah diatur oleh Hilda semenjak menikah. Ia merasa tidak punya ruang sendiri di dalam rumah tersebut.
Ya, memang pada dasarnya tidak baik jika ada dua ratu di dalam satu rumah. Satu sama lainnya tidak akan bisa berdamai, sekalipun memiliki mertua yang baik dan ipar yang peduli tapi tetap saja rasa tidak enak ataupun lelah jika semua dilakukan bersama itu pasti ada. Dan, sekarang sedang dirasakan oleh Nita.
Untuk masalah p********n air dan listrik, setiap bulannya nanti Dimas akan membayar setengahnya dan menyerahkan uang tersebut pada Hilda, selebihnya itu menjadi urusan Hilda dan Lena. Dimas tidak ingin mengambil pusing akan hal itu.
Di dalam rumah sederhana itu, terdapat sebuah televisi dan juga kulkas yang dibeli oleh Nita. Namun, ia sama sekali tidak ada niat untuk membawa semuanya masuk tapi siapa sangka, mertua dan iparnya justru semakin julid.
Pernah sekali waktu, saat Nita membeli bahan makanan untuk suaminya dan menyimpan di dalam kulkas, tiba-tiba keesokan harinya saat akan memasak ada beberapa yang sudah lenyap dan beberapa yang justru sengaja dikeluarkan dari dalam kulkas.
"Ini maksudnya apa sih? Kenapa bahan makanan pada diluar semua," gumamnya melihat semua berserakan di luar kulkas.
"Ya Allah, mana ada ayam, ikan dan daging pula. Alhamdulillah, tidak bau karena dikeluarkan dalam keadaan beku, tapi 'kan tetap saja jadi bikin kerjaan," gerutunya kembali memasukkan barang-barang tersebut ke dalam kulkas.
"Hei, ngapain kamu!" sentak Hilda membuat Nita berjingkrak.
"Masukin bahan makanan yang berserakan di luar."
"Lancang sekali! Punya hak apa kamu masukkan semuanya ke dalam kulkas? Hah?"
"Hah? Apa, gimana? Boleh diulang, Mama?"
"Kamu punya hak apa mau masukin semua itu ke dalam kulkas."
"Loh memang masalahnya apa? Kalau tidak disimpan di dalam kulkas, nantinya bau."
"Tapi, aku tidak sudi kalau kulkas di isi dengan semua bahan yang kamu beli itu."
"Mama sedang bermimpi?"
"Maksud kamu apa? Hah?"
"Mama lupa ini kulkas siapa? Kok bersikap seakan-akan kulkas ini milik Mama sendiri?" tanya Nita dengan berani. Ia merasa, sesekali memang harus berani menghadapi mertuanya itu, sebab Dimas mengatakan bahwa jangan takut jika merasa tidak bersalah.
Mencoba melawan walaupun di dalam relung hatinya yang terdalam tidak tega dan merasa bersalah. Tetapi, Nita juga ingin tahu respon mertuanya seperti apa jika dilawan olehnya.
"Lancang ya kamu, Nita. Sudah berani sombong kamu sekarang–"
"Apa sih, Ma? Siapa yang sombong? Aku cuman bertanya saja, kok. Mama yang tidak terima bukan? Lagian, ini kulkas aku yang beli. Kenapa jadi aku yang tidak memiliki hak atas kulkas ini?"
"Barang ini dibeli menggunakan uang tabunganku, bukan uang Mama atau Mas Dimas. Jika aku maupun, Mas Dimas tidak memiliki hak atas barang ini."
"Kamu lama-lama kurang ajar ya sama suami!" sentak Mama.
"Mama yang membuat aku seperti ini. Aku tidak pernah sedikitpun berniat kurang ajar baik itu pada Mas Dimas atau Mama. Tapi, semakin kesini sikap Mama justru semakin keterlaluan sekali."
"Aku tidak tahu sebenarnya salah apa sampai-sampai membuat Mama sebegitu bencinya padaku. Padahal, selama ini aku memperlakukan Mama dengan sangat baik bahkan menganggap Mama sama seperti orang tua sendiri. Tapi, Mama tidak pernah menganggapku anak atau menantu. Mama selalu menganggap aku musuh dan saingan yang harus disingkirkan."
"Kamu emang sepantasnya disingkirkan, kamu itu gak pantas untuk Dimas!"
"Lalu, menurut Mama wanita seperti apa yang pantas untuk Mas Dimas?"
"Ya wanita yang kaya raya, tidak pelit pada mertua dan tahu diri."
"Oh jadi, karena aku sekarang sudah tidak kaya raya, tidak berpenghasilan bahkan tabunganku habis untuk Mama, lalu membatasi keuangan yang diberikan untuk Mama, dan sekarang menghina bahwa aku tidak tahu dari? Begitu?"
"Loh memang kamu menantu yang tidak tahu diri, kok. Kamu gak terima?"
"Jelas aku tidak akan pernah terima, Ma. Aku selama ini bersikap layaknya anak dan menantu yang baik tapi sama sekali tidak dianggap kebaikanku? Kok bisa Mama bersikap seperti itu? Kok tega?"
"Ma, ingat, masih memiliki anak perempuan yang belum menikah. Apa Mama mau nantinya nasib Lena tidak beda jauh dariku?"
"Kamu memang mengharapkan hal tersebut, 'kan? Makanya, mendoakan yang tidak baik untuk Lena. Cih, kakak ipar macam apa kamu itu, menjijikkan," hina Hilda membuat Nita menggelengkan kepalanya.
Sungguh, tidak menyangka ketika Nita berani melawan maka sifat aslinya keluar begitu saja. Bahkan, terlihat jelas kebencian dari sorot mata Hilda saat menatap lekat Nita. Padahal, wanita muda itu terus menatap dengan sendu dan penuh cinta, tapi sepertinya memang hanya dia yang menghormati dan menghargai tanpa bisa dihormati dan dihargai balik.
"Aku tidak mengharapkan hal itu dan tidak mendoakan hal yang buruk juga. Tapi, Allah itu tidak tidur, Ma. Apa yang saat ini Mama tabur padaku, tidak menutup kemungkinan akan dituai oleh Lena. Mama mau nasibnya sama sepertiku? Mendapatkan mertua yang culas, picik, licik dan suka menjelek-jelekkan menantunya di belakang? Mama gak takut jika Lena memiliki luka yang sama seperti aku?"
"Nita, jangan lancang kamu!"