Memulai Usaha Baru

1236 Kata
Nita merasa sangat takut dan terkejut bahkan tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat. Teriakan keras dari Dimas membuatnya merasa ketakutan yang lebih dalam. Air matanya pun mengalir deras karena ini adalah pertama kalinya dia mendengar Dimas berteriak seperti itu. Rasa cemas dan kaget mendominasi perasaan Nita saat itu, membuatnya merasa gelisah dan takut terhadap apa yang sedang terjadi. "Mas …," lirihnya masih dengan tubuh yang bergetar. "Sayang, maaf!" seru Dimas terkejut melihat perubahan dalam diri Nita. Dimas langsung memeluknya erat, mencoba untuk menenangkan istrinya itu dan menuntunnya kembali masuk ke dalam kamar. Dimas masih terus memeluk Nita sampai wanita itu benar-benar merasa tenang. "Nita, maafkan, Mas," ucapnya membingkai wajah Nita lalu mengecup bibir ranum istrinya sekilas. Dimas menatap lekat manik indah istrinya yang masih mengembun lalu mengecup kedua mata indah itu. Dan kembali meminta maaf berkali-kali, Nita masih tetap diam namun mencoba menenangkan hatinya yang cukup terkejut. "Sayang, bicara. Tolong, jangan diam saja seperti ini, aku takut jika kamu terus berdiam diri seperti ini. Maafkan aku," tuturnya kembali mengecup kedua punggung tangan Nita bergantian. "Mas," lirihnya dengan sesegukan. "Iya, Sayang. Mas minta maaf, tolong jangan seperti ini, ya. Mas mohon," ucap Dimas memohon karena sudah bersikap kasar pada istrinya itu. "Iya, Mas. Tidak apa-apa, aku hanya merasa terkejut ketika dibentak," lirihnya membuat Dimas semakin merasa sangat bersalah sekali. Dimas mengecup punggung tangan Nita berkali-kali, menunjukkan bahwa dirinya benar-benar merasa menyesal karena sudah bersikap kasar. Padahal, dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia tidak pernah ingin melukai hati istrinya dalam bentuk apapun. Jangankan untuk melayangkan tangan di wajahnya, membentaknya saja sudah cukup membuat hatinya sakit dan terluka. "Sayang, tolong maafkan, Mas. Mas janji, tidak akan bersikap kasar lagi padamu," ungkapnya seraya berjanji di depan Nita. Wajah Dimas yang memelas membuat Nita merasa tidak tega dan langsung tersenyum manis. Sebenarnya, Nita hanya merasa terkejut saja, tidak ada maksud untuk marah pada sikap Dimas. Mengingat, selama ini Nita tidak pernah diperlakukan kasar oleh almarhum kedua orang tuanya, jadi ia pun merasa tidak ingin dikasari oleh suaminya. "Iya, Mas. Gapapa, maafkan aku juga kalau terkesan berlebihan. Baru dibentak segitu saja, aku sudah menangis. Maafkan aku yang cengeng ya, Mas," tutur Nita lembut. "Tidak, Sayang. Sudah cukup, jangan terus meminta maaf atas kesalahan yang tidak kamu perbuat. Aku yang salah disini, aku yang membawa kamu masuk kedalam keluarga yang sama sekali tidak bisa menghargai kamu, aku yang salah karena sudah membawa kamu untuk ikut hidup susah bersama denganku." Nita menggelengkan kepalanya lemah, lalu membungkam bibir suaminya dengan telunjuk indahnya. "Sssttt, jangan bicara seperti itu, Mas. Aku ikhlas hidup bersama denganmu." "Jangan pernah berpikir bahwa aku menyesal karena hidup bersama denganmu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menyesal telah mengenalmu dan hidup bersama denganmu, Mas." "Aku, menikah denganmu karena Allah. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkanmu sekalipun kamu jatuh miskin atau jatuh sakit, Mas. Aku akan tetap berada di sampingmu, menggenggam tanganmu dan kita bersama-sama mewujudkan semua impian kita." "Aku merasa beruntung sekali. Aku memang tidak salah memilihmu untuk menjadi pendamping hidup, Sayang. Aku akan selalu menjagamu dan anak-anak kita kelak sampai kapanpun, aku janji. Bahkan, aku rela menukar nyawaku dengan nyawa kalian nantinya." "Sudah, tidak usah membicarakan nyawa atau kematian, Mas. Aku sungguh tidak suka, sudah cukup aku menderita kehilangan kedua orang tua dan tidak memiliki keluarga lain. Aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku juga," ujarnya sedih. "Aku janji tidak akan pernah meninggalkanmu, Sayang." Keduanya saling berpelukan erat, saling memberikan ketenangan dan kepercayaan bahwa mereka tidak bisa dipisahkan oleh manusia terkecuali maut. "Mas," panggil Nita lembut sambil mengurai pelukan. "Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu?" "Tidak," jawab Nita tersenyum. "Bagaimana tadi di pasar, Mas? Dapat semua yang kita butuhkan dan perlukan?" "Alhamdulillah, dapat. Mas juga dapat harga murah dan bisa kita jual lagi dengan harga yang sedikit tinggi." "Alhamdulillah, berarti kita bisa mulai usaha ya, Mas," ucap Nita dengan mata berbinar. "Insya Allah, secepatnya kita akan mulai usaha ini, Sayang. Mas janji, akan berjuang untuk kita." "Iya, Mas. Aku akan ikut membantu." "Tidak usah. Kamu tidak boleh terlalu capek, Sayang." "Loh, gak bisa begitu dong, Mas. Masa aku hanya diam saja tidak ngapa-ngapain," protes Nita tidak terima dengan permintaan suaminya. "Hei, dengarkan dulu Mas bicara sampai selesai," tuturnya lembut. "Iya, maaf. Memangnya, Mas mau bicara apalagi?" "Kamu boleh bantu, Mas. Bahkan, Mas memang sangat membutuhkan bantuan darimu, Sayang," ungkapnya. "Nah, itu butuh bantuan, tapi kenapa Mas minta aku gak ngapa-ngapain?" Dimas tersenyum melihat kebingungan dari wajah istrinya yang cantik itu. Ia menggenggam tangan Nita lalu mengecupnya dengan lembut. Menatap lekat manik mata indah itu dan menyelam di dalamnya. "Mas hanya minta bantuan doa darimu, Sayang. Sama rajin puasa lagi, boleh?" Nita tersenyum mendengar permintaan suaminya yang sederhana itu. Sejak pertama menikah, suaminya itu paling percaya dan yakin dengan doa istri. Menurutnya, doa istri adalah doa yang paling mujarab dan bisa menembus hingga langit ketujuh. Bukan berarti tidak percaya dengan doa dari orang tuanya, tetapi ketika sudah menikah maka doa yang paling mujarab adalah doa istri. "Mas, masa minta bantuan yang seperti itu," kekehnya membalas genggaman tangan kekar itu. "Kalau doa dan puasa, tidak usah diminta pun akan dilakukan, Mas. Aku akan selalu mendoakan disetiap langkah kaki Mas Dimas. Jadi, jangan pernah berpikir kalau aku tidak pernah mendoakan hal yang baik loh." Keduanya tertawa bersama dan terlihat sekali kebahagiaan yang terpancar dari keduanya. Walaupun, sekarang hidup Nita sudah jauh berbeda dari sebelumnya, tapi ia tetap nyaman menjalani semuanya. "Mas, jangan pernah meninggalkanku sampai kapanpun, ya. Aku hanya punya kamu sekarang, tidak ada yang lain," lirihnya dengan tatapan sendu. "Aku berjanji, tidak akan pernah meninggalkanmu sampai kapanpun." "Mas, boleh aku minta sesuatu?" "Boleh, Sayang. Katakan, apa yang kau inginkan?" "Jika nanti ekonomi kita sudah mulai stabil, bolehkah jika kita pindah dan memiliki rumah sendiri?" tanya Nita hati-hati, ia tidak ingin menyakiti hati suaminya atas sebuah permintaan yang seakan-akan menunjukkan bahwa dirinya memang sangat tidak betah dirumah tersebut. Ya, walaupun berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bertahan dan dipaksa betah, namun tetap saja luka pasti akan semakin membesar dan terus menerus disiram yang mengakibatkan luka tersebut tidak akan pernah bisa sembuh. Nita hanya ingin hati dan pikirannya tenang tanpa ada lagi luka yang menggerogoti hidupnya. "Tanpa diminta, aku akan segera membawamu pergi dari rumah yang macamnya seperti neraka ini, Sayang. Doakan aku terus ya, semoga usaha kita maju dan bisa mewujudkan semua mimpi-mimpi kita yang ada." Nita mengangguk dan tersenyum bahagia, walaupun itu baru rencana tapi ia sangat yakin sekali pada suaminya itu. Dimas tidak pernah ingkar janji dan akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menepati semua janji yang pernah terucap olehnya. Nita Khairunnisa, seorang wanita cantik dan memiliki karir yang bagus. Wajahnya yang bulat, dengan hidung mancung, mata bulat dan bulu mata lentik, tidak lupa bibir tipis menambah indah sketsa wajahnya. Wanita itu melabuhkan hatinya pada sosok sederhana, tampan, baik hati walaupun jauh dari kata mapan tetapi wanita itu luluh dengan ketulusan hati Dimas. Nita adalah seorang guru privat kecantikan sekaligus penata rias yang benar-benar terkenal. Setelah menikah, ia berani meninggalkan semuanya demi patuh pada suami. Awalnya memang terasa berat namun lambat laun semuanya seperti biasa aja, hanya kegiatannya yang berbeda. Kalau dulu, kegiatannya adalah bertemu banyak orang dan murid-murid sekolah luar biasa. Namun sekarang, kegiatannya adalah berdiam diri dirumah dengan segala macam pekerjaan yang tidak ada habisnya. Belum lagi, harus menghadapi mertua dan ipar dengan hati yang luas dan lapang. Tidak mudah, tapi ia merasa beban di pundak sedikit ringan jika dipikul bersama-sama dengan suaminya – Dimas. "Semoga usaha kita lancar tanpa hambatan ya, Mas." "Aamiin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN